Mongabay.co.id

Menanti Nasib Baik Berpihak Pada Petani, Mungkinkah?

Pagi pertengahan Januari 2018, udara dingin menyelimuti pemukiman Desa Jabong, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Selepas ayam jago berkokok, seperti biasa Usep bergegas ke sawah. Bagi lelaki 54 tahun ini, menjadi petani merupakan garis hidup yang patut disyukuri, meski terkadang nasib baik tak selalu menghampiri.

Belakangan, muncul kekhawatiran dalam diri Usep dan para petani di desanya. Peralihan sawah menjadi komplek hunian dan pabrik, menganggu pikiran mereka. Apalagi sejak Jalan Tol Cipali diresmikan 2016 lalu. Kegelisahan akan kehilangan tanah terus terlintas di benak Usep.

“Semenjak Tol Cipali beroperasi, banyak kabar beredar. Katanya, akan ada pembebasan lahan untuk kawasan industri baru di Subang,” jelasnya, membuka perbicangan.

Usep patut gusar akan keterancaman mata pencahariannya. Sebab, jarak sawahnya seluas 50 bata atau 700 meter persegi itu, hanya 5 kilometer dari pintu Tol Cipali. “Saya mah ingin pertanian terus berlanjut. Istilahnya, untung atau tidak tani tetap jalan. Kalau sawah hilang, saya tidak punya keahlian lain untuk menghidupi keluarga,” ujarnya.

 

Baca: Dilema Reforma Agraria Ditengah Konflik Agraria

 

Berdasarkan pantauan, di beberapa wilayah di Kabupaten Subang, memang sudah ada peralihan kepemilikan tanah. Di Kecamatan Kalijati dan Kecamatan Purwadadi, misalnya, sudah berdiri pabrik-pabrik baru. Menurut Herdiana (37) warga setempat, pembangunannya sudah terlihat lima tahun terakhir.

Di wilayah pesawahan beririgasi juga terjadi alih fungsi lahan. Dalam rencana pola ruang (RTRW) Provinsi Jawa Barat, wilayah tersebut direncanakan sebagai pertanian lahan basah (persawahan), namun kini menjadi pemukiman dan industri. Padahal, data Dinas Pertanian Jawa Barat menyebutkan, Kabupaten Subang merupakan tiga besarnya lubung padi Jawa Barat.

 

Petani membajak sawah di Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, belum lama ini. Akibat pembangunan kawasan industri, keberadaan sawah mengalami penyusutan di beberapa daerah di Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kehadiran industri di pedesaan telah memakasa warga menyesuaikan diri dengan ritme industrial. Tercatat, sekitar 2.381,97 hektar lahan di utara Jawa Barat tengah dikembangkan menjadi 10 kawasan industri baru.

Sepanjang 2017, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) merilis laporan, konflik agraria terjadi di sejumlah wilayah Indonesia dengan lahan yang disengketakan mencapai 520.491 hektar. Jumlah tersebut mengalami lonjakan dua kali lipat dari tahun sebelumnnya.

“Dari tahun ke tahun, persoalan agraria semakin timpang. Kami lihat, kebijakan reforma agraria masih lambat dan mangkrak. Sejauh ini arah (kebijakan) mulai tidak sesuai dengan tujuan reforma agraria,” kata Sekjen KPA Dewi Kartika, baru-baru ini. Sederhanannya, reforma agraria dipahami sebagai proses distribusi tanah berkeadilan.

 

Baca juga: Begini Asa Petani Kertajati di Negara Agraris Ini

 

Agraria telah diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA). Walau begitu, pada praktiknya seringkali tidak dijalankan sesuai aturan. Reforma Agraria, menurut Pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001, merupakan proses kontinyu untuk menata kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemamfaatan sumber daya agraria dengan tujuan mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain, pemberlakuan Undang-undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan produk hukum turunannya menimbulkan tumpang tindih aturan. Hingga, penyelesaiannya pelik dan sering berujung ketidakjelasan.

Di sektor infrakstruktur, peralihan tanah atas nama pembangunan begitu mudah. Seperti terjadi di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka pada 2016 lalu. Lahan produktif masyarakat diubah untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.

“Agraria juga tak lepas dari persoalan struktural yang lahir dari keputusan pejabat negara. Semisal, penerbitan izin, tukar guling lahan serta izin konsesi lahan. Hal itu, menimbulkan penguasaan lahan oleh perusahaan, pengusaha perkebunan dan agribisnis semakin luas,” ujarnya saat dihubungi via telepon.

“Dan ujung konflik agraria adalah kedaulatan pangan. Bila urusan distribusi tanah tak kunjung terselesaikan, sulit mewujudkan ketahanan pangan,” lanjut Dewi.

 

Lahan pertanian ini berada dekat pertambangang gas di Desa Cidahu, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Soal Nawa Cita

Terbaru, kenaikan harga beras yang diikuti dengan keputusan impor hingga 500.000 ton, merupakan indikator rapuhnya ketahanan pangan nasional. Padahal, data Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan produksi padi 2017 mengalami peningkatan menjadi 81,38 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dari 79,17 juta ton di 2016. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim tidak ada impor selama dua tahun terakhir

Sementara laporan Kementerian Perdagangan dan BPS menunjukan, pemerintah masih melakukan impor pangan dalam jumlah yang signifikan pada 2017.

Menurut Dewi, kedaulatan pangan sering dijadikan legitimasi bahwa impor pangan menjadi salah satu jalan untuk menyediakan cadangan pangan atau agar krisis pangan teratasi. “Bukan soal dari mana padi itu diproduksi untuk memastikan cadangan pangan. Soal produksi dari mana itu, bukan konsensi pemerintah saat ini,” tambahnya.

 

Warga berteduh di sawah miliknya yang berhadapan dengan pembangunan Bandara BIJB di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, awal September 2017. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla memang menempatkan Reforma Agraria dalam skema pembangunan prioritas yang dikemas dalam program Nawa Cita. Salah satunya adalah kedaulatan pangan.

Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai, program dengan tema kedaulatan pangan telah menyimpang dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan hakikat kedaulatan pangan. Program yang dijalankan tak ubahnya adalah ketahanan pangan yang dikemas dengan slogan kedaulatan pangan.

Bhima Yudhistira dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, dibukanya impor 500 ribu ton beras membuktikan bahwa data yang selama ini dimiliki pemerintah terkait produksi padi tidak kredibel.

“Ini bukti kegagalan Kementerian Pertanian dalam menjaga pasokan dan produksi beras di tingkat petani,” kata Bhima sebagaimana dikutip dari Katadata.com.

Barangkali, tanpa upaya politik taktis perubahan kesejahteraan petani hanyalah ilusi. Persoalan ini juga mencerminkan kegagalan konsep pangan nasional yang menjadikan swasembada sebagai tolok ukurnya. Reforma Agraria, menjadi keniscayaan bagi petani yang menggantungkan nasib dan hidupnya di negara agraris, Indonesia.

 

 

Exit mobile version