Mongabay.co.id

Ketika Uni Eropa Bakal Hapus Biofuel dari Sawit, Apa Kata Mereka?

Taman Nasional Tesso Nilo, sebagian juga jadi kebun sawit. Akankah masalah 'keterlanjuran' ini selesai dengan aturan turunan UU Cipta Kerja? Foto:

Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Bagaimana moratorium perkebunan sawit atasi masalah macam ini? Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

Parlemen Uni Eropa kembali membuat geger dunia perkelapasawitan. Mereka mengesahkan rancangan proposal energi dengan menghapus minyak sawit (crude plam oil/CPO) sebagai bahan dasar bahan bakar berkelanjutan (biofuel) pada 2021. Keputusan ini terkait produksi sawit yang disebut-sebut sebagai penyebab deforestasi.

Para politisi Uni Eropa pada 17 Januari 2018, mendukung   Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources” dalam pemungutan suara di Prancis, kala itu.

Laporan itu menyebutkan, dalam ketentuan bahan bakar energi terbarukan ada pembatasan bahan bakar dari makanan dan tanaman yang diduga penyumbang deforestasi, yakni sawit. Ia sejalan dengan komitmen Eropa pakai energi terbarukan setidaknya 35% dari keseluruhan energi Eropa pada 2030.

Keputusan ini masih belum memiliki konsekuensi hukum. Dokumen itu akan diajukan terlebih dahulu kepada pemerintah masing-masing negara dan Komisi Uni Eropa. Dalam pertemuan itu ada 492 orang setuju, 88 menolak dan 107 abstain.

Bahasan itu jelas bikin gusar produsen sawit, Indonesia dan Malaysia. Mah Siew Keong, Menteri Komoditas dan Industri Perkebunan Malaysia, dalam ciutan twitter-nya mengatakan, pemungutan suara di parlemen Uni Eropa yang melarang biodiesel sawit tak hanya diskriminasi, juga menandai hari hitam untuk perdagangan bebas. Dia mengecam perang dagang dengan Eropa kalau sampai proposal itu disahkan.

Keong pun mengirimkan surat kepada 27 Menteri Energi Uni Eropa dengan melampirkan fakta dan menunjukkan kekecewaan atas putusan parlemen Uni Eropa.

Baik Indonesia maupun Malaysia menganggap, industri biji-bijian Eropa pun membutuhkan lahan cukup besar dan menyebabkan permasalahan lingkungan.

Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan, langkah parlemen Uni Eropa menunjukkan ketidakadilan pada mekanisme perdagangan minyak sawit.

Gapki mengklaim, deforestasi itu terjadi di seluruh negara. Di Indonesia, dia menilai, pengertian deforestasi belum satu suara.

Dia contohkan, efisiensi dan produktivitas sawit, lima kali lipat lebih efisien dalam penggunaan lahan kalau dibandingkan dengan minyak nabati kedelai untuk hasil sama.

Apalagi, katanya, pembukaan lahan– penggunaan lahan untuk perkebunan baru–legal secara hukum.

Pada Desember lalu, Kementerian Perdagangan membuat paper position  kepada kantor komisaris dan Menteri Perdagangan Uni Eropa guna menjawab proposal itu.

”Tapi (proposal) kan baru disetujui parlemen, belum menjadi kebijakan eksekutif. Kita perlu lihat bagaimana sikap Komisi Eropa atas putusan itu,” kata Iman Pambagyo, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan.

Pemerintah, katanya, sedang membahas langkah yang akan diambil sebelum ada keputusan dari Komisi Uni Eropa.

Data Badan Pusat Statistik, menyebutkan, periode 2013–2016 ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa turun 42,84%, dari US$649 juta pada 2013 jadi US$150 juta pada 2016. Nilai ekspor biodiesel Indonesia ke UE paling rendah pada 2015, sebesar US$68 juta.

 

Deforestasi

Herry Purnomo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor mengatakan, Indonesia perlu mengakui ada deforestasi di Indonesia. Dia menduga,  sikap parlemen Uni Eropa ini karena respon Indonesia terlalu defensif.

”Saya sampaikan kepada Pak Darmin Nasution (Menteri Koordinator Perekonomian-red)  ada tiga hal. Akui saja fakta bahwa memang terjadi deforestasi, tapi sampaikan proses perbaikan yang sedang dilakukan dan janji perbaikan kepada Uni Eropa,” katanya yang juga ambil bagian dalam pembuatan kertas posisi kepada Parlemen Uni Eropa oleh Kemenko Perekonomian.

Pemerintah Indonesia, sedang melakukan kebijakan-kebijakan perbaikan (corrective meassure) dengan hasil masih dalam proses.. Hal itu, katanya, tertuang dalam upaya perbaikan yang sudah disampaikan, seperti fakta berapa perusahaan yang sudah mendapatkan hukuman atas pembakaran lahan, izin dibekukan atau pencabutan izin, dan aturan pemulihan gambut.

Menurut Herry, pemerintah harus mengambil langkah dengan mengajak dan mengundang pemerintah Uni Eropa hingga mereka memahami dunia sawit di Indonesia.

”Bahwa masalah ini tak semudah yang dibayangkan mereka. Ini sangat kompleks dan menganggap pemerintah mahakuasa. Kalau mereka mau lestari, mari bersama,  yang jelek diperbaiki bersama.”

Setelah itu, katanya, bisa secara bersama-sama menyusun peta jalan menuju perbaikan sawit di Indonesia, misal, penyelesaian legalitas lahan.

 

 

Parlemen Eropa menyamaratakan semua sawit Indonesia, padahal banyak produk telah bersertifikat. Jika itu diterapkan kepada produk yang tak bersertifikat, katanya, tak masalah.

”Kalau nge-banned berbasis negara itu tidak dibenarkan. Boleh saja ngebanned product by product saja,” kata pria juga peneliti CIFOR ini.

Eep Saefulloh, peneliti Sawit Watch mengatakan, perkebunan sawit besar, tentu saja menyebabkan deforestasi. ”Jika kita berbicara petani kecil hanya perlu satu atau dua hektar, jika perkebunan besar mencakup lintas desa dan kecamatan. Apa itu bukan deforestasi?”

Apalagi, katanya, banyak pencaplokan lahan tak hanya pada non hutan, termasuk kawasan hutan.

Meski demikian, kata Eep, langkah perbaikan sudah terjadi, seperti ada sertifikasi sukarela Rountable Sustainable on Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), sertifikasi wajib dari pemerintah sebagai upaya mengajak perusahaan berlaku adil.

Walaupun, katanya, meskipun sudah ada beragam standar itu, implementasi di lapangan masih banyak masalah.

 

Prediksi konsumsi biofuel

Sebuah laporan berjudul Driving deforestation: The impact of expanding palm oil demand through biofuel policy yang dikeluarkan Regnskogfondet (Rainforest Foundation Norway) dan Cerulogy memproyeksi,  permintaan global untuk biofuel berbasis sawit pada 2030 akan naik enam kali lebih tinggi. Kondisi ini berpotensi mendorong penhancuran hutan tropis di Asia Tenggara.

Laporan ini memprediksi,  permintaan biofuel itu bakal mengakibatkan pembukaan hutan 45.000 kilometer persegi  dan pelepasan karbon tambahan sekitar tujuh miliar ton emisi CO2 dalam setahun di  Indonesia dan Malaysia pada 2030.

”Sudah dipahami bahwa industri sawit di Asia Tenggara secara endemik terkait penggundulan hutan dan pengeringan gambut, namun mendat biofuel yang diadopsi atas nama mitigasi perubahan iklim terus mendorong permintaan minyak sawit lebih tinggi,” kata Chris Malins, pakar kebijakan biofuel juga menulis laporan ini dikutip dari Mongabay.com.

Dengan kebijakan Indonesia, Tiongkok dan industri penerbangan, dan melihat kebijakan yang ada, dapat mendorong konsumsi jadi 45,6 juta ton pada 2030.

”Mendekati tahun 2020, banyak kebijakan biofuel yang sedang dinilai ulang dan dinegosasi ulang.  Jadi ini tepat untuk

melihat skenario terbaik dan terburuk untuk dampak kebijakan biofuel tentang deforestasi di Asia Tenggara untuk dekade berikutnya,” ujar Malins.

Di Indonesia, mendorong peningkatan konsumsi biodiesel dalam negeri dengan meminta penggunaan bio minimum dalam biofuel, atau minyak sawit, 30% dari semua diesel dalam negeri pada 2020. Standar ini, naik sebesar 20% (B-20).

Kebijakan itu, dinilai sebagai target paling ambisius di dunia biodiesel. Jika tercapai, konsumsi biodiesel tahunan Indonesia akan meningkat jadi 18,6 juta ton. Sedangkan Tiongkok, target pencampuran biodiesel minimal 5%, terjadi kenaikan konsumsi 9 juta ton.

Lonjakan permintaan lain dengan permintaan dari UN’s International Civil Aviation Authoritu (ICAO) yang mengusulkan penggunaan biofuel untuk pesawat penumpang. Targetnya,  pada tahun 2050, bahan bakar jet bersumber dari bahan bakar nabati.

Skenario ini berpotensi memerlukan 18 juta ton bahan bakar penerbangan berbasis sawit pada 2020.

Nils Herman Ranum, kepala kampanye dan kebijakan Rainforest Foundation Norway menyebutkan, dari perkiraan itu sektor penerbangan dan Indonesia jadi konsumen biofuel berbasis sawit terbesar pada 2030.

Dengan kebijakan biofuel Indonesia, Tiongkok dan industri penerbangan ini, katanya, permintaan sawit untuk  biofuel pada 2030, meningkat enam kali lebih tinggi dari sekarang atau setara 67 juta ton. Angka ini, melampaui produksi global komoditas saat ini, sekitar 65 juta ton pertahun.

Saat ini, Uni Eropa sebagai pengimpor minyak sawit terbesar kedua di dunia, setelah India. Uni Eropa sedang proses mengadopsi Renewable Energy Directive yang diajukan untuk bisa berlaku pada 2020-2030.

Malins menyebutkan,  dengan reformasi kebijakan biofuel UE bisa mengurangi permintaan minyak sawit dunia 3 juta ton. Tak hanya itu, akan menghindari penebangan hutan hingga 3.000 kilometer persegi.

 

Keterangan foto utama: Beginilah nasib Taman Nasional Tesso Nilo, hutan dengan pepohonan itu hilang berganti kebun-kebun sawit. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version