Mongabay.co.id

Kabupaten OKI Ingin Kembali Bebaskan Kawasan Hutan untuk Masyarakat, Alasannya?

Danau yang mengering di lahan gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Setelah membebaskan 8,7 ribu hektar kawasan hutan yang tersebar di lima kecamatan pesisir timur, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) pada 2018 ini, kembali mengusulkan 161 ribu hektar pembebasan kawasan hutan yang diperuntukan masyarakat. Apakah upaya ini tidak merusak tatanan ekologi?

Bupati OKI Iskandar, melalui staf ahli bidang Pembangunan Fahrurozi, mengatakan pihaknya tengah mempersiapkan program pembebasan kawasan hutan di wilayah barat OKI. Nantinya, difungsikan untuk pembangunan fasilitas umum dan pemukiman masyarakat. ”Seperti di kawasan hutan tutupan. Bahkan, ada tiga desa yang wilayahnya dalam kawasan hutan, sehingga mereka tidak dapat melakukan pembangunan,” kata Fahrurozi, Rabu (31/01/18), seperti dikutip dari globalplanet.com.

Dijelaskan Fahrurozi, Pemerintah OKI membaca peluang program yang dapat diusulkan kepada pemerintah pusat guna mengupayakan pembebasan kawasan. Salah satu yang diusulkan adalah program tanah objek reforma agraria (TORA). “Kita percepat usulannya, agar kawasan hutan dapat dikukuhkan menjadi lahan areal penggunaan lain (APL) sehingga dapat digunakan masyarakat,” terangnya.

Fernando dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Palembang, dikutip dari sumber yang sama, mengapresiasi rencana tersebut yang tanggap memanfaatkan program pusat. “Di Sumatera Selatan, OKI yang tercepat mendukung program agraria nasional untuk kepentingan masyarakat. Program TORA ini kiranya dapat segera dimanfaatkan. Tahapan pembebasan kawasan hutan, usulannya dilakukan kepala daerah ke Kementerian LHK. Tahun ini, batas usulan hingga Juli 2018,” jelasnya.

Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten OKI, Pratama Suryadi, mengatakan pihaknya bersama BPKH akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang program TORA ini. “Agar menjadi kabar baik dan didukung penuh masyarakat,” tuturnya.

 

Danau yang mengering di lahan gambut. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Perlu kajian

Edwin Martin, peneliti dari BP2LHK Palembang, mengaku terkejut usulan Pemerintah OKI untuk membebaskan kawasan hutan, yang diperuntukan bagi pemukiman masyarakat dan infrastruktur. “Pembebasan lahan di kawasan hutan seluas 8,7 ribu hektar yang lalu saja perlu kita kaji, sekarang mengusulkan yang baru,” katanya yang dihubungi Jum’at (02/2/2018).

Menurut Edwin, Kabupaten OKI yang diliputi persoalan ekologi, seperti kebakaran dan banjir, sudah menjadi perhatian nasional dan internasional dengan tergetnya merestorasi lahan dan hutan yang rusak. “OKI beberapa puluh tahun lalu merupakan daerah yang sebagian besar hutan. Akibat kegiatan HPH, disusul pemberian konsesi ke sejumlah perusahaan, ditambah aktivitas pertambakan udang dan ikan, hutan pun habis. Hutan tersisa di pesisir timur kini mau dihabiskan lagi. Ini kan aneh,” katanya.

Seharusnya OKI mengusulkan wilayah yang rusak dijadikan kawasan konservasi atau dihutankan kembali. “Hati-hati, ini menyangkut masa depan lingkungan,” ujarnya.

 

Baca: Sebagian Hutan Lindung di Pesisir OKI Diserahkan Kepada Masyarakat, Berkah atau Ancaman?

 

Sebagai informasi, luas Kabupaten OKI sekitar 1.923.347 hektar. Berdasarkan data 2012, kawasan hutannya sekitar 920 ribu hektar, berupa hutan produksi (622 ribu hectare), hutan produksi rakyat (160 ribu hektar), hutan lindung (105 ribu hektar) dan hutan suaka alam (4,2 ribu hektar).

Saat ini, hutan produksi seluas 585 ribu hektar, izinnya diberikan untuk hutan tanaman industri (HTI) oleh Menteri Kehutanan tahun 2004 lalu, sementara hutan lindung dan hutan suaka mengalami kerusakan, seperti pembukaan lahan ilegal oleh masyarakat untuk pertambakan udang dan ikan, pertanian, dan lainnya. “Termasuk pula hutan lindungnya, yang umumnya berada di pesisir timur, sudah berkurang saat pembebasan kawasan hutan seluas 8,7 ribu hektar. Jika usulan 161 ribu hektar disetujui, bukan tidak mungkin hutan lindung di pesisir timur itu habis,” ujar Edwin.

Dengan fakta tersebut, Edwin mempertanyakan apakah usulan tersebut berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang merupakan dasar pembuatan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten OKI.

“Berdasarkan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 15 ayat 1, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah. Pasal 19 ayat 1 menyebutkan guna menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan KLHS,” kata Edwin.

Jika dilihat faktanya, hari ini masyarakat di Kabupaten OKI mengalami berbagai bencana ekologi seperti kebakaran dan banjir. “Penolakan atau penundaan oleh pemerintah pusat terkait pemekaran Kabupaten Pantai Timur, salah satunya mungkin juga menjaga kondisi ekologi di sana karena dengan pembentukan kabupaten baru akan terjadi pula pembangunan infrastruktur dan pemukiman,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version