Mongabay.co.id

Ketika Tambang Nikel Hadir, Batubara Ancam Laut dan Udara Kabaena

Batubara, setelah dari kapal tongkal disimpan di bibir pantai. Kala, kemarau dan angin kencang debu beterbangan. Ketika hujan, air beserta batubara jatuh ke laut. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Warga di Desa Mapila, Pulau Kabaena, Bombana,  khawatir laut dan udara tercemar hingga mengancam kehidupan dan lingkungan mereka. Belakangan setelah ada tambang nikel, kapal tongkang membuang sisa batubara ke laut. Air laut mulai berubah warna kehitaman. Batubara pun ditumpuk begitu saja di tepian laut, kala pengangkutan, terutama musim kemarau, debu-debu beterbangan cemari udara sekitar.

 

Jumat di penghujung Januari lalu, laut Bombana, Sulawesi Tenggara, begitu tenang. Angin sejuk menampar wajah kala saya menikmati laut di Kelurahan Kasipute, Bombana. Hempasan ombak biru tak pernah berhenti memukul beton pelabuhan.

Kasipute jadi tempat pelabuhan penyeberangan laut antarkabupaten. Setiap hari, puluhan warga berdiri menunggu kapal. Begitu juga saya, menunggu Kapal Cantika menuju Pulau Kabaena, masih wilayah Bombana.

Jarak Pulau Kabaena dengan Kasipute sekitar 38 mil atau dua jam dengan kapal Cantika. Pulau ini seluas 873 kilo meter persegi dan dihuni sekitar 31.000 jiwa dengan beragam suku. Banyak potensi sumber alam juga di Pulau Kabaena, salah satu nikel.

“Disana itu ada PT SSU,” kata Badar, dari atas kapal Cantika menunjukkan crane menjulang tinggi di Desa Mapila, tempat perusahaan nikel itu berada.

Nikel, menyedot daya tarik investor tambang. Tercatat sejak 2008, ada terbit 20 izin usaha pertambangan (IUP) baik oleh pemerintah kabupaten maupaun Sulawesi Tengara. Salah satu izin dipegang SSU alias PT Surya Saga Utama.

SSU menguasai sebagian tanah Kabaena untuk mendirikan pabrik smelter atau pemurnian nikel. Perusahaan ini mengantongi IUP seluas 1.500 hektar lebih berlokasi di Desa Mapila, Kabaena Utara. Perusahaan ini akan membangun pabrik smelter dengan kapasitas besar.

Dalam membangun smelter dan mengoperasikan tungku pemurnian nikel, perusahaan Rusia ini diduga merusak lingkungan. Batubara sebagai bahan bakar, sering jatuh ke laut–dekat pemukiman warga. Masyarakat Desa Mapila khawatir, terlebih sebagian dari mereka nelayan.

Saya naik Kapal Cantika menuju Desa Mapila dengan titik awal di Kasipute, berlabuh di Kelurahan Sikeli, Kabaena Barat. Tempat ini seperti kota kecil di Pulau Kabaena. Suasana lebih baik dari beberapa wilayah Kabaena.

Dengan membayar sewa Rp150.000, sudah bisa sampai di Pulau Kabaena. Waktu itu ombak sedikit tak bersahabat. Banyak penumpang Kapal Cantika mual karena ayunan kapal begitu keras.

 

Pelabuhan khusus atau jetty milik PT SSU. Di sekitar ini, air laut tak sejernih di bagian lain karena tongkang-tongkang sering membersihkan kapal hingga sisa-sisa batubara jatuh ke laut. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Jam menunjukkan pukul 10.00, kala saya sampai di Sikeli. Ketika kapal memasuki Pelabuhan Sikeli, saya bertemu pengemudi ojek yang menawarkan jasa mengantar dengan sepeda motor ke tujuan Mobil angkutan umum sangat susah di sini.

Dari Sikeli,  saya melanjutkan perjalanan menuju Desa Mapila, biaya ojek begitu mahal, Rp100.000. Jarak dari Sikeli ke Mapila sekitar 40 kilometer. Jalur sangat ekstrim dengan jalan hanya pengerasan batu. Saya berkali-kali meminta istirahat.

“Mau kerja di tambang ka? tanya Anto, tukang ojek yang mengantar saya.

“Saya hanya jalan-jalan,” jawabku.

Pertanyaan Anto ini karena biasa orang baru datang membawa barang ke Mapila adalah pekerja tambang. Begitu saya datang, anggapan mereka sama.

Sekitar satu jam perjalanan sampailah saya di Desa Mapila. Saya ke rumah warga bernama Ridwan. Dia nelayan dari Bone, Sulawesi Selatan, orang Bugis. Dia datang di Mapila sejak 1990.

Ridwan juga punya kebun jagung yang dia kerjakan usai pulang melaut.

“Bagaimana batubara, masih adakah di SSU,” tanya saya.

“Tambah parah. Banyak sekali itu, sudah tiga gunung (tumpukan-red) di jetty. Baru sekarang mereka (SSU) buang-buang batubara di laut,” katanya, tampak khawatir.

“Baru bahaya itu kan,” timpalnya, seraya bertanya.

“Iya.”

Ridwan, satu dari 800 warga yang mendiami Desa Mapila. Dulu, warga Mapila, bergantung hidup dari laut baik sebagai nelayan maupun pembudidaya rumput laut. Kini, terpecah, sekitar 50% penduduk sebagai buruh di tambang SSU.

Mapila dihuni kebanyakan Suku Bajo, disusul Kabaena asli, Buton, Muna, sisanya Bugis. “Sebagian juga kerja di tambang,” kata Ridwan.

“Kita takut kalau lama-lama begitu bisa menyebar sampai di luar dan tak saja di pesisir,” katanya.

Lalu datang tetangga ke rumah Ridwan, bernama Eto. Pria ini mantan pekerja tambang di Desa Pongkalaero, Kabaena Selatan. Pongkalaero ke Mapila sekitar dua jam dengan roda dua.

Wajah Eto tampak lesu. Sejak 2017, dia belum punya kerja setelah keluar dari perusahaan tambang di Pongkalaero. Sudah tiga kali dia memasukkan lamaran kerja di SSU sebagai mekanik, tetapi belum ada panggilan.

“Tidak menentu juga, kadang kita mendaftar jadi mekanik tapi kerja angkat batu. Karena lain didaftarkan lain dikasi kerja. Sudah begitu di sini. Banyak orang sini kerjanya begitu,” katanya.

 

Air laut berubah warna, dan polusi udara 

Sudirman, Kepala Desa Mapila, mengatakan, pencemaran lingkungan di wilayah itu, mulai terasa  sejak ada pertambangan SSU. Terutama di pesisir laut Mapila, air tak sejernih dulu lagi. Air laut, katanya, sudah dua warna, ada hitam dan kecoklatan. Warna hitam dari batubara dan coklat kekuning-kuningan karena ore nikel jatuh di laut. Pemandangan seperti itu terlihat jelas di Dusun Malandahi, Desa Mapila.

“Beberapa penduduk yang bermukim di pesisir pantai, sudah tak nyaman lagi beraktivitas karena air laut tercemar,” katanya.

“Kemarin saya dapati lagi buang batubara di laut,” ucap Sudirman.

SSU, katanya,  seakan tak peduli lagi lingkungan. Di jetty atau pelabuhan khusus SSU, kapal tongkang pemuat batubara tak segan-segan membuang batubara ke laut. Setiap pekan kegiatan itu pasti terlihat.

“Saya bilang kalian tidak sadar kalau itu merusak lingkungan. Saya marah.”

Perjalanan menuju Desa Mapila, Pulau Kabaena, harus ekstra hati-hati karena jalan rusak dan harus melewati beberapa anakan sungai. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Pembuangan batubara itu, saat pencucian kapal tongkang. Petugas kapal menyemprotkan air dengan kapasitas besar ke arah batubara yang menempel di besi kapal. Batubara jatuh ke laut hingga air jadi warna hitam.

“Kadang kapal tongkang pemuat batubara juga memuat ore nikel. Jadi harus dibersihkan,” katanya.

Sebelumnya, tak hanya batubara yang merusak lingkungan di Desa Mapila, bekas penambangan atau galian perusahaan langsung mengalir ke laut kala musim penghujan. Sekarang, belum tuntas masalah itu, muncul persoalan baru.

“Masalah lain bukan saja pada proses pencucian tapi penampungan batubara juga sangat dekat dengan bibir pantai. Begitu hujan turun, langsung ke laut dan mencemari lingkungan. Ini lama kelamaan mengancam juga.”

Tak saja mencemari laut, batubara SSU juga popusi udara. Kalau angin kencang dan alat berat pengangkut batubara beroperasi, tak ayal debu berterbangan di dekat pemukiman.

Kala kami masuk pelabuhan khusus,  seorang pemilik warung yang sedang menidurkan anak bercerita, kalau debu sudah menjadi pemandangan biasa. Katanya, sebagian warga adalah pekerja tambang.

“Kadang kalau angin kencang debu sampai sini. Kita tidak tahu bagaimana antisipasinya. Paling hanya tutup hidung,” kata Rahman, pemilik warung. Jarak warung dan pemukiman dengan penampungan batubara sekitar 100 meter.

Di pelabuhan khusus batubara SSU, tampak puluhan tenaga kerja beraktivitas. Ada yang istirahat, ada pula membereskan besi bekas. Di sisi utara jetty ada dua alat berat sedang beroperasi di tumpukan batubara.

“Biasa mi kita tidak pakai masker,” kata Andri, pekerja SSU.

Dia terlihat melintasi tumpukan batubara kala alat berat bekerja. Andri tak tahu kalau debu batubara bisa berbahaya bagi kesehatan.

 

Bahaya batubara

Erni Yusnita, dari Universitas Gadjah Mada lakukan penelitian soal dampak pertambangan batubara terhadap manusia menuliskan dalam halaman blog pribadinya, bahwa polusi batubara kepada manusia sangat berbahaya.

Bahaya itu, kalau air tercemar batubara dikonsumsi  manusia bisa menyebabkan penyakit kulit seperti kanker kulit. Limbah itu, katanya, mengandung belerang, merkuri, asam slarida, mangan, dan asam sulfat.

Selain itu, debu batubara dapat membawa penyakit infeksi saluran pernafasan, jangka panjang bisa kanker paru-paru, darah atau lambung. Bahkan disinyalir dapat menyebabkan kelahiran bayi cacat.

Penelitian Universitas Harvard dengan pemodelan atmosfer GEOS-Chem, yang dipublikasi Greenpeace pada 2015, menyatakan, partikel polutan dari pembakaran batubara menyebabkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia. Mereka menderita stroke, jantung siskemik, kanker paru-paru, penyakit pernafasan dan kardiovaskular lain serta penyakit paru obstruktif kronik.

Berbagai lembaga kesehatan internasional macam World Health Organization (WHO), World Medical Associaton mencatat, batubara sebagai bahaya kesehatan nomor satu di dunia. Proses, mulai dari penambangan hingga penggunaan batubara untuk pembangkit listrik berisiko terhadap lingkungan lokal, terutama karena karbondioksida akibat pembakaran, yang juga pengaruhi perubahan iklim.

“Batubara juga sumber utama polusi udara,” kata Ahli Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto.

Data WHO 2014 dan International Energy Agency 2015 menyatakan,  polusi udara menyebabkan 3,7 juta kematian dini pertahun akibat serangan jantung, stroke, penyakit paru kronis, kanker paru-paru dan gangguan pernapasan pada anak-anak.

Dia contohkan, PLTU batubara mengandung racun berupa acrolein, aluminum, antimony, arsenic, barium, beryllium, cadmium, carbon monoksida, chromium, cobalt, hydrogen chloride, hydrogen fuolride, lead, manganese, merkuri, methyl hydrazine, nikel, nitrogen dioksida, PM 2,5, selenium,  dan sulfur dioksida.

 

Langgar amdal

Walau kegiatan di pelabuhan khusus SSU di Bombana ini terang-terangan, Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara, baru tahu kalau ada pembuangan batubara di Pesisir Mapila.

Aminoto Kamaluddin, Kepala Bidang DLH Sultra mengatakan, kegiatan itu sangat melanggar dan membahayakan. Selain mengancam biota laut juga lingkungan masyarakat sekitar.  Aminoto bilang, SSU melanggar analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Penyimpanan batubara saja yang ada izin. Ini diatur juga dalam amdal. Kalau ikut buang ke laut, itu sudah pelanggaran. Ini tidak benar,” katanya.

SSU,  katanya,  harus mematuhi segala aturan untuk menjaga lingkungan. Jangankan membuang ke laut, penyimpanan batubara saja diatur dan harus dalam gudang yang telah dibangun.

“Aturannya begitu, simpan di pinggir laut juga tidak bisa.”

Dihubungi terpisah, SSU tampak lepas tangan. Anwar, Humas SSU mengatakan, proses bongkar muat batubara sudah ditangani pihak ketiga. Jika dalam proses ada pelanggaran, katanya, menjadi kewenangan perusahaan pihak ketiga.

“Kami tidak tahu soal itu. Silakan ke PBM (perusahaan bongkar muat-red) dan TKBM (tenaga kerja bongkar muat-red) saja.”

Keterangan foto utama: Batubara, setelah dari kapal tongkal disimpan di bibir pantai. Kala, kemarau dan angin kencang debu beterbangan. Ketika hujan, air beserta batubara jatuh ke laut. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Suasana Desa Mapila. Sebagian besar warga melaut. Setelah ada perusahaan tambang nikel, sebagian jadi buruh. Kala sore dan malam hari, hanya orang-orang yang punya mesin genset yang bisa menikmati penerangan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version