Mongabay.co.id

Lahan Adat di Kaltim Terus Terancam, Kala Melawan Berhadapan dengan Aparat

Perdebatan masyarakat adat Bentian dengan oknum TNI, terkait penggusuran lahan untuk perkebunan sawit. Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

Rusmadi dan masyarakat adat Paser di Desa Busui, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur,  menolak pertambangan PT. Tunas Muda Jaya (TMJ). Mereka protes karena perusahaan beroperasi di tanah ulayat.

Pada pertengahan Januari 2018, warga aksi ke pertambangan, dan menginginkan perusahaan setop penggusuran paksa di tanah leluhur mereka. Aksi mereka untuk bertemu pimpinan perusahaan dihalangi aparat TNI dan Polri.

“Konflik hak ulayat masyarakat adat Bukit Kandarayan, banyak kejanggalan, kepala adat yang awalnya menolak pertambangan, tiba-tiba melarang masyarakat protes,” kata Rusmadi kepada Mongabay pekan lalu.

Dia cerita, konflik bermula pada 2 November 2017, dua warga Kampung Busui, yakni Krisno dan rekan mendatangi kantor TMJ untuk bertemu pimpinan perusahaan, karena ada penggusuran.

Ketika tiba, keduanya malah berhadapan dengan belasan Brimob. Mereka bahkan diintimidasi Brimob, dengan memaksa warga menyerahkan lahan. Kalau menolak akan diborgol, dengan alasan menghalangi aktivitas perusahaan. Keduanya, memilih kembali ke kampung.

Beberapa hari kemudian, kata Rusmadi, warga mendapat informasi dari kepolisian, bahwa perusahaan bersedia mengganti tali asih lahan Rp32 juta per hektar atas lahan warga yang tergusur. Warga tegas menolak, dari awal warga mau perusahaan angkat kaki dari tanah ulayat.  Pada pada 22 November 2017, TMJ menggusur habis lahan warga.

“Perusahaan beralasan dalam penggusuran sudah clean and clear serta sudah memiliki izin lahan. Perusahaan tak mau tunjukkan ke warga dokumen perizinannya,” katanya.

Wargapun pun surati perusahaan agar menghentikan panggusuran pada 28 November 2017. Surat tak digubris. Sampai pertengahan Januari 2018, perusahaan bertemu masyarakat, namun permintaan penghentian penggusuran tak dipenuhi.

Perusahaan hanya bersedia turun lapangan uji GPS guna memastikan posisi lahan masyarakat yang merupakan ahli waris.

“Keputusan perusahaan membuat posisi warga menuntut hak atas lahannya terkatung-katung,” katanya. Mongabay berusaha menghubungi perusahaan untuk konfirmasi, tetapi tak ada respon.

Ketut Bagya Yasa, advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim meminta Presiden menyikapi konflik lahan masyarakat adat dan TMJ ini. “Jangan biarkan masyarakat adat dihabisi di tanah sendiri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral jangan mengabaikan UU Minerba,” katanya.

Margaretha Setting Beraan, Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim kepada Mongabay mengatakan, memenjarakan dan menekan masyarakat adat sebagai pemilik lahan merupakan modus perusahaan untuk membungkam warga yang melawan. Aparat, katanya, lebih memihak laporan perusahaan ketimbang keberatan warga.

Masyarakat adat, katanya, dibuat takut bersuara memprotes cara negosiasi lahan yang tak adil hingga pasrah menghadapi perampasan lahan oleh perusahaan.

“Zaman sekarang harusnya cara kekerasan tak boleh lagi, sudah masanya perusahaan berubah menjalankan bisnis lebih bermartabat,” katanya.

 

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

Melawan, ditangkap

Selain kasus di Paser, AMAN Kaltim juga mendampingi dua warga adat Bentian, yakni Abraham dan Budi. Mereka ditahan Polres Kutai Barat karena menolak perkebunan sawit PT. Borneo Citra Persada Jaya (BCPJ) di Kampung Suakong, Kecamatan Bentian Besar, Kutai Barat.

Charles, warga Kampung Suakong kepada Mongabay mengatakan, saat ini kedua warga di dalam tahanan, padahal mereka hanya berupaya mempertahankan diri ketika aparat TNI menodongkan senjata.

“Ketika terjadi keributan, aparat TNI menodongkan pistol.  Warga kaget dan berusaha membela diri dengan merebut pistol hingga jatuh. Perusahaan mempidanakan keduanya,” katanya.

Konflik bermula ketika penggusuran lahan paksa oleh perusahaan BCPJ. Kala itu, masyarakat memprotes penggusuran paksa perusahaan, karena tak pernah ada penyerahan lahan oleh warga. Lalu, pada 27 Juli 2017,  para pewaris lahan mendatangi perusahaan untuk mempertanyakan janji perusahaan mediasi.

Sampai sekitar pukul 12.00 siang, warga bertemu mandor lapangan. Selang dua jam, perusahaan datang menggunakan mobil strada putih, dan berhenti hanya berjarak dua meter dari warga. Keluar seorang anggota Kopassus dan satu lagi berpakaian loreng dengan menodongkan pistol api ke warga. “Apa ribut-ribut di sini?” kata anggota TNI itu.

Seketika warga panik dan berusaha menenangkan. “Sabar Pak, Sabar Pak. Kenapa begini Pak?” kata seorang warga.

Warga panik mencoba mengambil pistol api, hingga pistol terjatuh. Kejadian itu sudah ada media dengan pihak aparat TNI dan bersepakat tak memperpanjang. Perusahaan justru memperpanjang kasus dengan melaporkan warga hingga ditahan. Kini, sudah tiga kali persidangan.

“Perusahaan tak mau bermusyawarah. Yang ada pemerasan dan perampasan serta manipulasi. Pemaksaan penyerahan hak masyarakat adat untuk memberikan lahan dan mengadu domba masyarakat dengan aparat,” kata Charles.

Sejak kehadiran BCPJ pada 2015,  sering merugikan warga. Pada 8 November 2015, warga melayangkan surat penghentian penggarapan dan penggusuran.

Kepala Adat Kampung Suwankong, pernah memanggil perusahaan untuk memediasi, namun tetap menemui jalan buntu. Perusahaan tetap menggarap lahan ulayat warga hingga kepala kampung adat mendenda perusahaan 300 gantang (guci) namun tak dibayar perusahaan.

Pada 6 Juni 2017,  warga kembali datang ke kantor BCPJ, perusahaan berjanji mediasi di Kecamatan Besar, namun tak kunjung dilakukan.

Hingga warga mendatangi barak perusahaan 27 Juli 2017 untuk menanyakan kelanjutan mediasi dan berujung penangkapan dengan tuduhan pengeroyokan.

Pada 18 Januari 2018, warga melaporkan persoalan ke Pemerintah Kutai Barat. Dalam pertemuan itu, Asisten I Bupati Kubar terkejut dengan cara perusahaan melakukan kekerasan dan intimidasi.

Menurut Pemda Kubar, jika perusahaan ingin beroperasi harus ada sosialisasi dan membangun kesepakatan dengan masyarakat.

Kala tak ada kesepakatan, perusahaan tak bisa memaksakan kehendak. Hasil dari pertemuan itu, Pemda Kubar membuat tim verifikasi terutama bekerja sama dengan Badan Pertanahan (BPN), Dinas Perkebunan, dan Dinas Lingkungan Hidup. Pemda juga berencana mengunjungi warga.

Margaretha meminta,  aparat bersikap adil menghadapi konflik antara perusahaan dan warga adat.  Dia berharap, aparat keamanan, jadi penegak keadilan dan mungkin saja mediator antara keduanya.

“AMAN Kaltim akan mendampingi masyarakat mengadukan kasus ini ke Komnas HAM,” kata Setting.

Mongabay menghubungi nomor kontak PT. Borneo Citra Persada Jaya,  Selasa, (6/2/18) dan humas PT Fangiono Agro Plantations, induk perusahaan di Jakarta, tak juga ada respon. Kami juga sudah meninggalkan surel perusahaan tetapi belum mendapat balasan sampai berita ini terbit.

Keterangan foto utama: Perdebatan masyarakat adat Bentian dengan oknum TNI, terkait penggusuran lahan untuk perkebunan sawit. Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

 

 

Exit mobile version