Mongabay.co.id

Mau Tahu Informasi Perizinan sampai Peta Wilayah Adat di Papua? Bisa Buka Laman Ini

Sumber foto dari Matapapua

 

Masyarakat sipil resah karena pengelolaan hutan dan lahan di Papua, banyak beralih ke investor tanpa diketahui masyarakat. Konflik lahan dan sumber daya alam tak terelakkan. Akses data dan informasi masyarakat minim.

Koalisi masyarakat sipil terdiri dari Yayasan Pusaka, Papuan Forest Watch, Perkumpulan AEER (Aksi, Ekologi, dan Ekonomi Rakyat) bersama dengan masyarakat pada tingkat tapak menyusun perangkat Web Geographic Information System (WebGIS), dengan nama,  matapapua.org. Sitem ini berisi informasi dan peta perizinan kehutanan, perkebunan, tambang, dan data masyarakat adat di Papua.

”Rezim ini mengatakan mendukung keterbukaan informasi publik, apalagi sektor tata kelola lahan, mereka akan transformasi lebih transparan, realitasnya berbeda,” kata Franky Yafet Leonard Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka, saat peluncuran matapapua.org, di Jakarta, awal pekan ini.

Kini, Papua jadi sasaran bagi para pemodal untuk ekspansi industri ekstratif, dan berpotensi mencaplok lahan-lahan masyarakat. Terlebih, yang terjadi selama ini, investor di tanah Papua seringkali tak melibatkan masyarakat. Kondisi ini, katanya, membuat masyarakat tergusur dari ruang hidup mereka.

WebGIS ini berfungsi meluaskan informasi kepada publik berisi informasi penting yang banyak tak diketahui masyarakat, terutama orang Papua.

Matapapua ini, berisi kumpulan data-data pemerintah dan jejaring masyarakat sipil lain di Papua, diambil selama advokasi. ”Orang Papua seringkali tak tahu menahu jika wilayah telah dibebani izin. Karena minim informasi publik,” kata Angky, sapaan akrabnya, seraya berharap, melalui peta ini bisa membantu masyarakat adat Papua melindungi hak-hak mereka.

Dia contohkan, salah satu konflik antara warga adat dengan perusahaan sawit PT Nabire Baru. ”Kami jadi korban alam dan ruang hidup rusak karena pembalakan hutan demi perkebunan sawit yang berakibat banjir besar di pemukiman kami April 2016,” kata Gunawan Inggerugi, warga Suku Besar Yerisiam Gua, Nabire.

Dia bilang, masyarakat tidak dilibatkan kalau akan ada investasi di wilayah mereka. Dia sadar saat hutan sudah dibabat kayunya, lalu berakhir dengan jadi kebun sawit.

Charles Tawaru dari Papua Forest Watch mengatakan, hingga kini diprediksi 50-65% areal di Papua dan Papua Barat, sudah dikelilingi investasi. Ironisnya, di tengah kekayaan alam melimpah, Papua masih menduduki peringkat teratas penduduk miskin di Indonesia.

 

Lahan konsesi Korindo di Papua. Foto: dari screenshot video investigasi

 

Pemetaan Sosial

Dari pemetaan yang dihimpun matapapua.org, terlihat terjadi tumpang tindih wilayah tambang dan perkebunan namun luasan masih tahap analisa lebih mendalam.

Angky mengatakankonsesi pertambangan paling besar menguasai lahan, sekitar 9 juta hektar, menyusul logging atau pembalakan kayu 6-7 juta hektar dan perkebunan 2,1 juta hektar. ”Tapi, izin pembalakan kayu belum update.”

Data yang terangkum dalam WebGIS ini mencakup pelepasan kawasan hutan, pertambangan, termasuk kontrak karya. ”Sebenarnya yang tak terinformasi dan tak diketahui banyak tambang yang izin dari kawasan hutan,”  katanya.

Meski status clean and clear, katanya, hanya penanda administratif dimana kewajiban belum selesai, tetapi tak melihat status kawasan hutan.

Ke depan, mereka akan melengkapi berbagai data di dalam WebGIS ini, seperti izin lingkungan, izin prinsip dan izin lokasi dari pemerintah daerah.

Kini, setiap orang yang membuka peta bisa mengakses lima jenis peta, yakni peta sosial, kawasan hutan, konsesi, demografi dan administratif.

Nantinya, perangkat WebGIS matapapua.org akan jadi media informasi partisipatif yang diperbaharui sesuai kondisi lapangan, baik sistem geografis dan perubahan sosial.

Tak hanya itu,  rencananya website ini mengakomodasi masyarakat yang hendak melaporkan data ataupun temuan pada tingkat tapak.

 

 

Pengakuan masyarakat adat

Pemetaan ini, katanya, juga mendukung program pemerintah dalam merealisasi kebijakan satu peta yang sedang diupayakan. ”Kami sudah mempresentasikan ke Dirjen Planologi. Ini juga berisikan peta-peta yang hubungannya dengan kawasan hutan dan tanah masyarakat,” kata Angky.

Menurut Charles, peta ini tak hanya menunjukkan keberadaan masyarakat adat, juga memberikan informasi dasar tentang wilayah dan potensi sumber alam di wilayah mereka.

Hal ini menunjukkan, betapa banyak masyarakat adat hidup di wilayah-wilayah hutan di Papua. ”Ini diharapkan mampu mempercepat pemetaan wilayah adat di masing-masing wilayah segera mendapat pengakuan pemerintah.”

Papua, katanya,  memiliki aturan Otonomi Khusus Papua yang mengakui keberadaan masyarakat adat Papua. ”Memang ada, namun belum ada implementasi perda masyarakat adat yang jalan di kabupaten dan kota,” katanya.

Selain itu, katanya, perlindungan wilayah masyarakat adat sulit berjalan karena belum ada peta sendiri. Padahal, pengakuan sekaligus melampirkan peta jadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Organisasi masyarakat sipil, bersama Badan Registrasi Wilayah Adat telah memetakan dan mengajukan usulan pencadangan perhutanan sosial ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

 

 

Exit mobile version