Mongabay.co.id

Ketika Suhu Jambi Terus Naik, Apa Penyebabnya? (Bagian 1)

Suhu Kota Jambi, dalam beberapa tahun ini terus alami peningkatan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Panase pleng-plengan, rumongso ora betah (panas sekali, serasa tidak tahan).” Bujang menggerutu, wajah memerah banjir keringat. Dia sesekali mengipaskan topi lusuh. Mandor proyek penimbunan tanah perumahan itu harus berjibaku menahan terik mentari.

Rabu, 24 Januari, awan berjalan pelan di bawah langit Kota Jambi yang sedang biru cerah. Panas datang begitu cepat di ujung pagi. Pukul 02.00, suhu Kota Jambi 33,0 derajat. Ini bukan suhu tertinggi yang pernah terjadi.

Pada 25 April 1998, Kota Jambi pernah dilanda panas ekstrem hingga 36,4 derajat. Kejadian ini berulang September 2016. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jambi, mencatat panas udara Kota Jambi 35,4 derajat celcius, sama persis kejadian April 1983.

Suhu rata-rata Kota Jambi meningkat. Data BMKG Jambi 1983 menunjukkan suhu rata-rata  satu tahun 26,8 derajat celcius. Pada 1984 turun menjadi 26,2, dan kembali meningkat 0,2 derajat pada 1985.

Tahun 1997,  suhu Kota Jambi,  lebih panas, rata-rata 26,9 derajat. Panas udara terus naik sampai 27,2 derajat pada 1998. Pada 1999, turun jadi 26,7 derajat. Empat tahun terahir suhu rata-rata Kota Jambi kembali meningkat. Pada 2013 suhu rata-rata 26,8 derajat, 2014 naik 26,9, dan 2015 kembali naik jadi 27,0 derajat. Puncaknya,  pada 2016, suhu rata-rata tembus 27,3 derajat.

“Periode 2012-2016, suhu tertinggi 11 September 2016, sampai 35,4 derajat celsius,” kata Arif Marufi, analis iklim stasiun klimatologi BMKG Jambi.

Kenaikan suhu tak hanya terjadi di Kota Jambi, juga di Muaro Jambi. Sejak 2011-2016,  suhu di Muaro Jambi, cenderung meningkat.

BMKG mencatat,  pada 2011 suhu rata-rata 26,5 derajat. Pada 2012 suhu lebih panas 0,2 derajat, dan bertahan hingga 2013.

Pada 2014, suhu rata-rata Muaro Jambi 26,8 derajat celcius, naik jadi 27,0 derajat celcius pada 2015. Kabupaten yang kaya gambut ini mengalami peningkatan suhu rata-rata 0,2 derajat setiap tahun. Pada 2016, suhu di Muaro Jambi tercatat 27,2 derajat.

Pasca kebakaran hebat 1997,  Muaro Jambi, pernah panas ekstrem sampai 36,0 derajat pada 25 April 1998. Panas ekstrim berulang pada 9 Maret 2002, dan 28 September 2008.

Daerah pegunungan Kerinci yang dikenal paling dingin di Jambi juga mengalami peningkatan suhu. Pada 2009 suhu rata-rata yang 22,1 derajat meningkat menjadi 22,5 pada 2010. Kemudian turun pada titik 22,3 derajat pada 2011.

Namun, rentang waktu 2012-2016 suhu rata-rata Kerinci secara perlahan terus meningkat. Catatan BMKG tahun 2012 suhu rata-rata 22,4 derajat, naik 0,1 pada 2013 dan 2014. Pada 2016 naik 0,3 derajat, pada titik 22,9 derajat.

Kerinci juga pernah dilanda panas hingga 32,5 derajat pada 24 April 2014. Suhu ekstrem bergerak naik turun, di Kecamatan Sitinjau Laut, Kerinci pernah mencapai titik terendah hingga 10 derajat pada 18 dan 19 Juli 1986, berulang 11 Oktober 1991, 11 April 1992 dan 18 Mei 1996.

 

 

Penyebabnya adalah…

Arif mengatakan,  peningkatan suhu dipengaruhi banyak faktor, seperti alih fungsi hutan jadi pemukiman dan lain-lain, sumbangan faktor global seperti El-Nino hingga hujan sedikit turun, efek suhu naik.

Kebakaran hebat pada 1997 dan 2015, sebagai pemicu kenaikan suhu di Jambi, langsung dan tak langsung. “Lepasan karbon dioksida saat kebakaran bertahan sampai 100 tahun di atsmosfer,” katanya.

Saat ini,  rata-rata suhu di Jambi, pada kisaran 26-28 derajat celsius, rata-rata maksimal 30-32 derajat. “Maksimal absolutnya 36,4 derajat yang pernah terjadi di Kota Jambi.”

September 2015, Stasiun Klimatologi BMKG Jambi,  mencatat tak ada hujan sama sekali di Jambi. “Awan hujan sama tak ada. Agustus sampai September langit biru, dan udara kering sekali,” kata Arif.

Aktivitas manusia yang menyebabkan polusi kendaraan dan rumah tangga, juga dianggap memicu pemanasan suhu. Pada 2013,  BMKG di Bali, pernah meneliti pengurukan besaran sumbangan karbon dioksida dari aktivitas manusia. Hasilnya, saat perayaan Nyepi di Bali, karbon dioksida (CO2) di Denpasar turun 33%, dan di Negara turun 80%. Produksi Nitrogen Oksida (NO2)  hasil dari pembakaran bahan bakar fosil juga turun 33%.

“Saat Nyepi semua aktivitas berhenti, saat itu produksi karbon berkurang. Artinya,  aktivitas manusia punya dampak pada peningkatan gas rumah kaca. Itu mempengaruhi peningkatan suhu,” kata analisis klimatologi BMKG Jambi ini.

 

 

Pelepasan emisi dari kendaraan berbahan bakar fosil juga jadi penyebab perubahan iklim. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Produksi karbon tinggi

Bambang Irawan,  peneliti CRC    sekaligus Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi mengatakan, dalam sejarah perubahan iklim, perubahan suhu terjadi naik turun. Ada masa suhu bumi memanas dan terjadi pencairan es di kutub. Di masa berbeda suhu menurun hingga titik terendah.

Semua perubahan karena faktor alam. Setelah revolusi industri, katanya, perubahan iklim terjadi karena faktor manusia.

Secara sigfikan terjadi peningkatan suhu dari awal revolusi industri hingga sekarang, rata-rata 0,6-0,7 derejat selsius–dibandingkan awal revolusi industri. Penyebabnya, diduga dari penggunaan bahan bakar fosil dan kerusakan hutan.

Menurut Bambang, penggunaan transportasi cenderung mempengaruhi peningkatan suhu. Kandungan karbon terlepas dari pembakaran mesin akan tersimpan di atmosfer di wilayah tertentu. Kondisi ini menyebabkan suhu di titik padat transportasi cenderung lebih tinggi.

Pengaruh tidak langsung lainnya, adalah hutan sebagai salah satu komponen penting dalam ekosistem penyimpanan karbon. “Begitu terjadi kerusakan hutan, atau kebakaran hutan dan lahan, pelepasan karbon ini yang kita percaya akan meningkatkan suhu rata-rata di bumi dan beberapa lokasi di Jambi,” katanya.

Hasil penelitian CRC di Jambi, terkait perubahan iklim dan suhu, belum bisa memastikan pasti penyebab peningkatan suhu. Menurut Bambang, perubahan suhu dipengaruhi banyak faktor. Jadi belum bisa dipastikan kalau penyebab utama peningkatan suhu karena perubahan hutan jadi lahan terbuka.

“Karena iklim, suhu tidak bisa kita batasi dengan wilayah teritori, tetapi sebagai akademisi saya ercaya bahwa kerusakan hutan, kebakaran hutan dan lahan, perlahan akan mempengaruhi perubahan iklim dan peningkatan suhu rata-rata.”

Untuk mengurangi peningkatan suhu terjadi begitu cepat, bisa dengan pengurangan emisi karbon di udara atau efek rumah kaca. “Caranya bisa dengan mengurangi emisi karbon dari transportasi, penataan kawasan hijau yang mampu menyerap karbon.”

Penelitian CRC di Jambi pada 2013, menujukkan pelepasan karbon dari aktivitas masyarakat di Jambi sekla rumah tangga, tercatat lebih tinggi dari nasional, baik dari transportasi maupun makanan.

Pelepasan karbon, katanya, berhubungan dengan kesejahteraan. Makin kaya seseorang, cenderung melepaskan karbon lebih banyak dibanding penduduk miskin.

“Orang kaya ini mobil tidak satu, bisa dua, tiga dan seterusnya, orang lebih kaya cenderung makan lebih bervariasi, ini yang kita hitung.”

Dari aktivitas rumah tangga, penduduk miskin di Jambi rata-rata melepas karbon 0.7052 ton, rata-rata penduduk miskin nasional 0.4593 ton.

Untuk penduduk ekonomi menengah di Jambi, 1.8725 ton, dibanding rata nasional 1.1179 ton. Penduduk kaya di Jambi, 2.4781 ton dan rata-rata nasional 1.7228 ton.

“Kalau rata-rata orang paling kaya di Jambi dibanding paling kaya nasional, pelesapan karbon Jambi, lebih rendah.”

Jambi, katanya, tak memiliki transportasi umum memadai juga dianggap sumber masalah. “Di Jerman orang lebih suka naik kereta atau dibanding mobil sendiri. Banyak juga pakai sepeda.”

Jumlah kendaraan di Jambi meningkat 100.000 lebih setiap tahun. Data Dinas Pendapatan Daerah Jambi  Juli 2017, tercatat kendaraan di Jambi mencapai 1.818.179, terdiri dari  1.615.116 motor dan 208.881 mobil. Kota Jambi mendominasi 106.227 mobil dan 650.330 motor.

“Kalau bicara tentang suhu, harus banyak hal harus diperbaiki, dari sektor industri, transportasi, penggunaan bahan bakar fosil harus dikurangi. Hutan yang menjadi peyerap karbon juga harus diperbaiki.” (Bersambung)

 

Keterangan foto utama: Suhu Kota Jambi, dalam beberapa tahun ini terus alami peningkatan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version