Mongabay.co.id

Nyamuk Berkembang Cepat Kala Suhu Jambi Naik, Mengapa? (Bagian 2)

Pertumbuhan nyamuk makin cepat dengan makin tinggi suhu udara. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Jefri harus istirahat sebulan, hanya karena gigitan nyamuk.  Hasil tes darah menunjukkan dia positif malaria. Belantara hutan di Makekal Hulu, Merangin, Jambi,  tak sedingin dulu. Nyamuk malaria berkembang begitu cepat.

Sukmal Fahri, akademisi Kesehatan Lingkungan di Sekolah Tinggi Kesehatan Harapan Ibu (Stikes HI) Jambi, menghabiskan banyak waktu meneliti demam berdarah. Tesis dan disertasi, mengungkap hubungan ledakan populasi nyamuk akibat peningkatan suhu.

Perkembangbiakan nyamuk yang belum pernah ditemukan di daerah pegunungan, katanya, justru di ketinggian 1.000 mdpl di Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Jambi. Kata Sukmal, nyamuk mulai beradaptasi  karena suhu pegunungan tak lagi dingin.

“Di Kolumbia ditemukan penderita DBD di ketinggian 1.200 mdpl. Berarti ada nyamuk, ada penderita, ada nyamuk.”

“Di Kerinci juga ditemukan DBD.”

Suhu, katanya,  bukan lagi pembatas untuk perkembangbiakan nyamuk.

Secara general,  suhu di Indonesia naik 0,1 derajat celsius dalam waktu 10 tahun terahir. Suhu memanas berpengaruh pada percepatan tumbuh kembang nyamuk. “Ada percepatan masa inkubasi intrinsik.”

Pemanasan suhu membuat siklus hidup nyamuk dari telur jadi kupa dan dewasa berlangsung singkat. “Sebelumnya, masa bertelur nyamuk 12 hari, karena peningkatan suhu hanya perlu tujuh hari,” katanya.

Perkembangan nyamuk juga dipengaruhi resistensi nyamuk. Sukmal mencontohkan, nyamuk akan hidup kembali setelah beberapa menit disemprot obat nyamuk. “Semakin bertambah kuat resistensinya terhadap racun, juga menyebabkan siklus berkembangnya cepat,” katanya.

Peningkatan suhu juga memicu peningkatan serang inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA), TB paru. Sukmal bilang, basil paru berasal dari iklim tropis. “Basil akan akan adaptasi, efeknya bagi pengobatan yang tak tuntas akan lebih resisten.”

 

Picu hama

Dalam kondisi tertentu, pemanasan suhu juga memicu muncul hama. “Jika suhu pas sesuai, hama tertentu bisa saja meledak.”

Nurhayati,  warga Muara Kumpeh, Muaro Jambi, tak bisa menikmati hasil panen menggembirakan. Tahun ini,  padi dia terserang hama, hingga putih tanpa isi, seperti serangan beluk.

“Hewan itu kecil-kecil panjang. Bunga dihisap, jadi padi gak ada isi.”

Meski demikian, musim penghujan hasil agak lebih baik dibanding kemarau panjang. “Kalau kemarau, paling 40 kaleng—satu kaleng 10kilogram. Kalau sekarang kayaknya lebih banyak,” kata perempuan yang sudah 20 tahun bertani ini.

 

Perubahan suhu makin panas, membuat hama tertentu lebih berkembang dan mengancam produksi tanaman pangan. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Tutupan hutan

Fazriyas, Dosen Manajemen Kehutanan Universitas Jambi mengatakan, kalau fungsi ekologi ekonomi hutan lebih tinggi dibanding fungsi ekonomi. Sebab,  hutan bisa memperbaiki iklim (amelorasi iklim).

Dia bilang, pohon bisa menurunkan suhu. Suhu dalam wilayah hutan satu hektar cenderung lebih rendah 27 derajat fahrenheit atau tiga derajat celsius lebih rendah dibanding suhu rata-rata di wilayah sekitar yang tak berhutan. Kondisi ini, katanya, karena hutan bisa memodifikasi suhu secara alami.

Dalam siklus hidrologi, setiap pohon berukuran 50 atau lebih yang tumbuh dalam hutan, bisa menyerap empat sampai lima drum air. “Bayangkan seandainya 1.000 pohon di hulu ditebang, berapa drum air yang tak terkendali dari hulu,”  katanya.

Proses fotosintesis pohon menyerap Co2 yang dilepaskan kendaraan dari pembakaran bahan bakar fosil. Pohon juga mampu melepas uap air sampai 4.000 liter. “Maka, kita di bawah pohon sejuk, adem.”

Tutupan hutan yang lebat, bisa menangkal kebisingan dengan mereduksi tujuh desibel (dB) setiap jarak 30 meter. Hutan juga berperan mengurangi pencemaran udara seperti H2SO4 dan lain-lain.

Secara ilmiah, kata Fazriyas, hutan bisa jadi rekayasa lingkungan untuk mengendalikan erosi, polusi air, sebagai habitat satwa, sampai mengurangi kadar partikel debu 40-50%. “Daya tarik pohon juga punya nilai estetika tinggi. Hijau tumbuhan juga bagus buat kesehatan mata,” kata Fazriyas, yang juga manajer Warsi ini.

Berkurangnya tutupan hutan, akan berpengaruh pada perubahan suhu.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.863/Menhut-II/2014, menetapkan luas kawasan hutan Jambi 2.098.535 hektar. Ironisnya, hutan di Jambi terus menyempit,

Pembabatan hutan di Jambi terjadi begitu liar dan tak terkendali. Banyak hutan berubah fungsi jadi hutan tanaman industri, perkebunan sawit, karet dan lahan pertambangan. Belum lagi kerusakan akibat pembalakan dan perambahan.

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, tutupan hutan di Jambi tersisa 900.000 hektar. Dalam rentang 2012-2016 Jambi, kehilangan tutupan hutan 189.125 hektar, setara delapan kali lapangan bola setiap jam.

Berkurangnya tutupan hutan tak hanya terjadi di kawasan hutan produksi, hutan konservasi pun ikut digerogoti illegal logging juga perambahan.

Dia bilang, taman nasional di Jambi, mulai dari Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Duabelas terjarah, bahkan sampai hutan restorasi dan hutan lindung.

Menurut Fazriyas, pada 2007, laporan State of the World’s Forests, Food and Agricultural Organization (FAO) menempatkan Indonesia pada urutan kedelapandari 10 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,87 juta hektar dalam waktu 2000–2005, hingga menempatkan pada peringkat kedua dari 10 negara, dengan laju kerusakan tertinggi dunia.

Dia bilang, pemerintah provinsi perlu menata ulang izin penguasaan hutan. Banyak kawasan hutan atau gambut digunakan tak semestinya. Di Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur dan Barat, di gambut, justru banyak kebun sawit. Rencana tata ruang wilayah Jambi, katanya, perlu disusun ulang.  (Selesai)

 

Keterangan foto utama: Pertumbuhan nyamuk makin cepat dengan makin tinggi suhu udara. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version