Mongabay.co.id

Resmi, Sumatera Selatan Miliki Perda Perlindungan dan Pengelolaan Gambut

Kanal di lahan gambut. Beberapa tahun lalu kanan dan kiri kanal ini terbakar, saat ini mulai kembali hijau. Foto: Taufik Wijaya

Sumatera Selatan (Sumsel) resmi memiliki peraturan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Inilah perda gambut pertama di Indonesia. Bisakah peraturan ini melancarkan proses restorasi gambut yang dicanangkan pemerintah?

Persetujuan perda (peraturan daerah) diputuskan dalam rapat paripurna DPRD Sumsel, Jalan POM IX, Palembang, Jum’at (09/2/2018). Hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dan Ketua DPRD Sumatera Selatan M. Giri Ramanda N. Kiemas.

“Alhamdulillah, akhirnya Perda Perlindungan dan Pengelolaan Eksosistem Gambut disetujui,” kata Syafrul Yurnardy, ketua tim penyusun naskah akademik perda gambut tersebut, usai rapat paripurna.

Perda tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut merupakan inisiatif DPRD Sumsel. Dalam penyusunan draftnya, DPRD Sumsel meminta bantuan Pemerintah Sumsel. Pemerintah Sumsel meminta TRG Sumsel serta Biro Hukum dan HAM Pemprov Sumsel membentuk tim penyusun naskah akademik yang dipimpin Prof. Dr. Robiyanto Susanto, selaku ketua Tim Ahli TRG Sumsel. Saat naskah akademik diproses, Robiyanto meninggal dunia yang posisinya digantikan Syafrul Yurnardy, karena posisinya sebagai ketua Tim Ahli TRG Sumsel. Naskah akademik ini yang kemudian dikaji dan dibahas DPRD Sumsel hingga menjadi perda.

 

Baca: Akankah Sumatera Selatan Menjadi Provinsi Pertama, yang Menerapkan Perda Perlindungan Gambut?

 

Bagaimana tanggapan sejumlah pihak dengan hadirnya perda gambut tersebut?

“Adanya perda merupakan satu prestasi luar biasa Pemerintah Sumsel dalam mendukung restorasi gambut. Ini membuktikan Sumsel peduli dengan persoalan lingkungan hidup,” kata Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang kepada Mongabay Indonesia, Jum’at (09/2/2018).

Namun, kata Yenrizal, yang lebih penting adalah bagaimana penerapannya di lapangan. “Adanya perda bukan berarti persoalan gambut selesai. Berbagai persoalan terkait akan selesai jika semua pihak benar-benar bekerja melindungi dan memperbaiki gambut, baik pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat. Perlu pengawasan dan dukungan semua pihak.”

 

Kanal di lahan gambut ini mulai menghijau yang sebelumnya terbakar, Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Seringguk Umang, warga Desa Cengal, Kabupaten OKI, yang dihubungi Mongabay Indonesia, Jum’at (09/2/2018), menyambut baik ditetapkannya perda tersebut. “Kami senang ada peraturan yang melindungi gambut. Kerusakan gambut sangat menyusahkan kami, banjir saat penghujan dan kebakaran ketika kemarau. Tapi juga, peraturan tersebut tidak menyusahkan hidup kami dan menjaga peninggalan Sriwijaya yang banyak ditemukan di Cengal ini,” katanya.

Edi Rusman, warga Desa Perigi Talangnangka, OKI, yang juga dihubungi, berharap perda tersebut menyeimbangkan kepentingan masyarakat dengan pemerintah. “Kepentingan pemerintah menyelamatkan gambut, jangan lupakan pengelolaan yang berpihak masyarakat. Perda ini harus mendorong percepatan soal kawasan gambut yang dilindungi dan direstorasi, dan usaha pertanian atau perikanan yang tidak merusak ekosistem gambut.”

Sebelumnya, saat masih menjadi raperda, Ketua DPRD Sumsel M. Giri Ramanda N. Kiemas, kepada media mengatakan pihaknya mendorong lahirnya perda tersebut dapat mengatur pengelolaan kawasan gambut sehingga mencegah kerusakan dan kebakaran.

 

Kanal di lahan gambut. Kanal digunakan untuk mengubah bentang gambut dari ekosistem lahan basah menjadi kering. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Berkelanjutan

Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin saat menyampaikan pendapat akhir dalam rapat paripurna tersebut menyatakan sangat diperlukan aturan terkait upaya pelestarian dan pemanfaatan lahan gambut secara berkelanjutan.

Dijelaskan Alex, dampak dari kerusakan ekosistem gambut sangat besar bagi lingkungan hidup. Misalnya banjir, kekeringan, hingga perubahan iklim. Sementara lahan gambut di Sumsel kian terancam akibat berbagai aktivitas manusia, seperti perambahan, alih guna lahan, penebangan, serta kebakaran.

Adanya regulasi berupa peraturan daerah ini, merupakan upaya perlindungan dan pemanfaatan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan, yang melibatkan peran masyarakat sekitar secara optimal. “Perda juga mendorong pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, sehingga dampak kerusakan lingkungan hidup dapat diminimalisir atau diatasi,” terangnya.

Sebagai informasi, luas gambut di Sumatera Selatan hampir mencapai 1,3 juta hektar. Sebarannya di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seluas 768.501 hektar, Musi Banyuasin (Muba) seluas 340.604,48 hektar, Banyuasin seluas 252.706,52 hektar, Musi Rawas seluas 34.126,00 hektar, serta Muara Enim seluas 24.104,00 hektare.

Pada kebakaran 2015, sekitar 700 ribu hektar terbakar. Badan Restorasi Gambut (BRG) kemudian menetapkan sekitar 600-an ribu hektar gambut di Sumsel direstorasi, baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan. Sementara, perubahan atau alih fungsi lahan gambut di Sumsel paling banyak terjadi pada 2000-2005, sekitar 2.318,2 hektar per tahun.

 

 

Exit mobile version