Mongabay.co.id

Mengenaskan, Orangutan ini Mati Ditembus 130 Peluru

Setelah kasus kematian orangutan tanpa kepala di Kalimantan Tengah mencuat, kini terjadi lagi kematian yang tak kalah tragis. Satu individu orangutan jantan di Desa Teluk Pandan, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim), tewas akibat 130 butir peluru yang bersarang di tubuhnya.

Sempat dirawat intensif selama 40 menit, namun pada pukul 01.55 Wita, orangutan usia 5-7 tahun ini, tidak tertolong nyawanya, Selasa (06/2/2018). Penyebab kematiannya telah dibuktikan dengan hasil rontgen dan nekropsi di RS Pupuk Kaltim, Bontang.

Direktur Centre for Orangutan Protection (COP) Hardi Baktiantoro, mengatakan hasil nekropsi yang dilakukan drh. Felisitas Flora SM, menunjukkan luka-luka yang ada itu disebabkan senapan angin. “Hasil rontgen menunjukkan ada 130 peluru bersarang di tubuh orangutan tersebut. Nekropsi yang dilakukan petugas hanya bisa mengeluarkan 48 butir peluru. Kami tidak sanggup mengambil semuanya karena ada yang di mata, dada bagian dalam, hingga tulang dada bagian kanan.”

Hardi menjelaskan, sejak proses evakuasi, pihaknya bersama petugas Taman Nasional Kutai dan kepolisian, melihat orangutan tersebut sudah tidak berdaya. Meski disorot cahaya, orangutan itu tidak menunjukkan respon. “Dapat dipastikan, kondisinya buta dan kritis. Dia tertidur dan terbangun, sudah lemah,” ujarnya.

Baca juga: Polda Kalteng Tangkap Dua Orang dalam Kasus Pembunuhan Orangutan Tanpa Kepala

Kepala BKSDA Kaltim, Sunandar Trigunajasa, mengatakan pelaku kejahatan harus ditemukan. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Polres Kutim dan Balai Gakum untuk menindaklanjuti kasus ini. “Segala upaya akan ditempuh, dimulai dari pengembangan informasi masyarakat sekitar. Di sekitar TN Kutai memang ada perkebunan sawit, dan juga banyak kebun masyarakat termasuk kebun nanas,” terangnya baru-baru ini.

Kapolres Kutai Timur, AKBP Teddy Ristiawan sangat berharap adanya informasi masyarakat dikarenakan saksi sangat minim. “Kami sangat mengharapkan peran aktif masyarakat untuk mengungkap kasus ini.”

Senada, Kabak Ops Polres Kutim, Budi Heryawan menegaskan, kasus kematian orangutan ini merupakan kejahatan luar biasa. Ini menyangkut nama baik negara. “Ini merupakan tindak pidana, harus dituntaskan kasusnya,” jelasnya.

 

Peluru di tubuh orangutan sebanyak 130 butir inilah yang membuat orangutan malang ini mati. Foto: Centre for Orangutan Protection

 

 

Masalah

Dede Nurhidayat, Bidang Pengendali Ekosistem Hutan TN Kutai, menjelaskan ruang jelajah orangutan yang tersebar membuat pihaknya kesulitan memantau dengan jumlah petugas yang minim. Terlebih, TN Kutai terbagi tiga wilayah administrasi yakni Kutai Timur, Bontang, dan Kutai Kartanegara. “Luas TN Kutai itu 192 ribu hektar, kalau dibandingkan dengan jumlah kami akan tidak sebanding. Tapi kami selalu memantau,” kata dia.

Dede mengklaim, dengan jumlah petugas yang sedikit pihaknya telah maksimal bekerja. Kami memiliki site monitoring dengan kualitas kerja yang baik dan meningkat setiap tahun. TN Kutai memiliki peta titik-titik rawan yang memungkinkan terjadinya konflik orangutan dengan manusia.

“Sebenarnya, di Teluk Pandan tempat orangutan itu ditemukan tidak terlalu padat, meski ada penduduk. Tapi, memang berdekatan dengan kebun nanas dan kebun sawit. Adanya perkebunan inilah yang menarik orangutan keluar sarang. Meski begitu, bukan masalah orangutan saja yang dihadapi, kebakaran hutan juga selalu kami pantau,” ujarnya.

Dede menuturkan, tewasnya orangutan ini dikarenakan bebasnya membawa senapan angin. Setelah kejadian ini, senapan angin akan dilarang dibawa masuk ke kawasan TN Kutai. Apapun alasannya. “Bukan dilarang kepemilikannya, tapi tidak boleh masuk TN Kutai,” katanya.

 

Kekerasan terhadap orangutan terus terjadi. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelaku kejahatan satwa liar dilindungi ini. Foto: Centre for Orangutan Protection

 

CEO BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) Jamartin Sihite menyayangkan kejadian tersebut. Dia menegaskan, senapan angin seharusnya tidak boleh beredar sembarangan, apalagi untuk berburu di kawasan lindung. “Tegakkan keadilan, ungkap kasus dan kendalikan senapan angin. Untuk hal ini, kami berharap pemerintah tegas karena dengan adanya senapan angin, muncul bentuk kekejaman manusia terhadap satwa. Kasus ini buktinya,” jelasnya.

Berdasarkan data Forum Orangutan Indonesia (Forina) 2017, di Kalimantan Timur terdapat perkebunan sawit seluas 3.447.230 hektar yang dikelola 322 perusahaan. Sebanyak 279.359 hektar atau delapan persennya adalah habitat orangutan. Populasi orangutan di Kalimantan Timur berdasarkan Population Habitat and Viability Analysis 2016 sebanyak 2.920 individu. Di dalam kawasan TN Kutai, terdapat 1.911 individu berdasar inventarisasi Balai TN Kutai .

 

Hasil rontgen menunjukkan, sebanyak 130 butir peluru bersarang di tubuh orangutan jantan malang ini. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Call Center

Terkait maraknya konflik manusia dengan satwa liar, tak terkecuali orangutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mengeluarkan dua surat edaran untuk para pemangku kepentingan di daerah. Mereka juga mengerahkan 74 Balai Besar Taman Nasional dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia sebagai call centre.

Surat edaran itu, ditujukan kepada para pihak, terutama pemerintah provinsi dan kabupaten, kapolda, pangdam, pemegang izin bidang kehutanan, perkebunan dan Pertambangan. “Kasus orangutan, betapa penggunaan lahan yang masif menjadi faktor peningkatan konflik manusia dengan satwa liar,” ujar Direktur Jenderal KSDAE, Wiratno dalam konferensi pers di Media Center KLHK, Kamis (1/2/2018). Menurutnya, ancaman utama kehidupan orangutan terindikasi dari banyaknya konversi dan fragmentasi habitat, terutama untuk pertanian dan ekspansi kelapa sawit.

Surat Edaran itu tertanggal 29 Januari 2018 yakni Surat Edaran Nomor SE.4/KSDAE/KKH/KSA.2.1/2018 Tentang Kerja Bersama Perlindungan dan Penyelamatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) serta Surat Nomor SE.5/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2018. Berbarengan dengan keluarnya surat edaran ini, diaktifkan juga sejumlah nomor call center untuk memudahkan masyarakat melapor jika terjadi konflik dengan satwa liar. “Termasuk jika masyarakat melihat, mengetahui, adanya indikasi perdagangan, pemerliharaan satwa liar tanpa izin, kematian satwa, satwa yang ditemukan terjerat, sakit dan sebagainya.”

Call center ini kata Wiratno juga bisa untuk melaporkan berbagai bentuk gangguan di kawasan konservasi seperti illegal logging, perambahan, dan sebagainya. “Silakan lapor dan dicek secara rutin berfungsi atau tidak nomornya,” ujarnya. Ia juga meminta masyarakat melaporkan jika nomor-nomor di call center tak berfungsi.

Wiratno juga menyampaikan pihaknya telah bekerja sama dengan sejumlah pihak di Direktorat Penegakan Hukum KLHK, jajaran Kepolisian RI pada tim cyber crime, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Hal ini, kata dia, untuk mengawal proses hukum perburuan dan perdagangan satwa liar, juga penyiksaan satwa yang dilindungi maupun tidak. Selain itu dia juga berencana minta bantuan manajemen sejumlah kantor media sosial seperti Facebook Indonesia dan toko daring.

“Saya ingin ketemu dan minta mereka untuk memblok atau menutup akun yang menjual beli satwa liar. Hal ini mengingat, banyak orangutan yang diperjualbelikan melalui media sosial yang cukup marak,” terangnya.

 

Di lokasi inilah orangutan yang ditembus 130 peluru ditemukan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Peneliti orangutan Sri Suci Utami Atmoko berharap adanya surat edaran dan call center ini bisa efektif melindungi orangutan, karena surat ditujukan ke berbagai pihak. “Seharusnya surat edaran dikeluarkan sejak terbitnya Permenhut,” ujar Suci kepada Mongabay Indonesia.

Suci mengatakan, surat ini positifnya tidak hanya menlindungi individu orangutan yang jelas status konservasinya, tetapi juga habitatnya. “Itu yang penting karena konflik terjadi selalu, terkait adanya singgungan habitat.”

Aturan yang berlaku selama ini dinilai tidak efektif karena habitatnya tidak dilindungi. Apalagi, mengingat 80 persen sebaran orangutan kalimantan berada di luar kawasan konservasi sehingga banyak kepentingan yang tumpang tindih. Selain itu, kata Suci, hal penegakan hukum juga belum terlihat signifikan.

Di bagian E nomor 5 dari surat edaran ini, menurut dia, ditekankan pelaksanaan preventif dan represif sesuai kewenangan dan peraturan perundangan. Surat edaran ini lebih bersifat transisi. “Maka tetap harus ada penyelesaian yang konstruktif serta harus ada keberlanjutan advokasi dan sosialisasi di daerah,” terangnya.

Indonesia memiliki tiga spesie orangutan yakni orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Berdasarkan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan 2016, menunjukkan populasi orangutan Kalimantan hampir 80 persen tersebar di luar kawasan konservasi. Diperkirakan, jumlah orangutan sumatera sekitar 14.630 individu dan 57.350 individu orangutan Kalimantan. Sementara, jumlah orangutan tapanuli diperkirakan tak lebih dari 800 individu yang hidup pada tiga populasi terfragmentasi di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara.

 

 

Exit mobile version