Mongabay.co.id

Opini: Menagih Utang Konstitusi soal Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Masyarakat adat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/Mongabay Indonesia

 

Amanat pembentukan hukum pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-haknya sudah ada sejak awal pembentukan republik ini. Diskursus mengenai pengakuan masyarakat adat penting sebagai suatu entitas bangsa setidaknya dapat terlihat dalam pembahasan-pembahasan BPUPKI.

Dalam kesempatan rapat perumusan UUD 1945, Muhammad Yamin mengemukakan, persekutuan-persekutuan rakyat telah membuktikan mampu mengurus tata negara dan hak-hak atas tanah.

Persekutuan-persekutuan rakyat itu dapat ditemukan dengan nama desa, nagari, marga dan dusun, kampong, lembang, wanua dan lain-lain. Mereka telah menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan jauh sebelum Indonesia berdiri, berdasarkan pada tertib hukum sendiri dan dipengaruhi kuat oleh pandangan hidup dan nilai-nilai sosial.

Persekutuan-persekutuan rakyat inilah yang dimaknai sebagai suatu entitas masyarakat (hukum) adat.

Dalam penjelasan II Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan:

“Dalam territoir negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan lain-lain. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan karena itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

Selanjutnya, dalam amandemen UUD 1945 kembali menegaskan pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat adat. Ia terlihat dari ketentuan beberapa pasal.

Pasal 18B ayat dua, misal, menyatakan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU.

Selanjutnya, Pasal 28I, ayat tiga dikatakan, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras perkembangan zaman.

Lalu, Pasal 32 ayat I dan II dikatakan: pertama, negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Kedua, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Meski keberadaan telah diakui konstitusi, sejak kemerdekaan Indonesia hingga kini, belum ada UU khusus mengatur mengenai masyarakat adat beserta hak asal-usul.

 

Pendeta Haposan Sinambela, memperlihatkan kemenyan miliknya. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

Babak baru

Diskursus masyarakat adat kembali berkembang ditandai dengan kelahiran suatu gerakan Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) sebagai cikal bakal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Dalam ragam diskusi dan advokasi hak-hak masyarakat adat, APHAMA merumuskan istilah masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu. Serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri.

Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) I tahun 1999, dirumuskan empat penanda utama masyarakat adat sebagai pembeda dari entitas masyarakat lain. Yaitu, pertama, memiliki sejarah asal usul sama (genealogis).

Kedua, memiliki wilayah adat (teritoral). Ketiga, memiliki hukum adat, dan keempat, memiliki lembaga adat tersendiri.

Sejak itulah,  desakan pengakuan masyarakat adat melalui UU  terus-menerus disuarakan oleh masyarakat adat di nusantara bersama gerakan pendukungnya.

Salah satu bentuk perjuangan melalui regulasi. Pada periode DPR 2009-2014, pertama kali sejak Indonesia merdeka, politik legislasi RUU terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat (RUU PPHMA) diakomodir dalam program legislasi nasional.

Sayangnya, hingga masa sidang paripurna DPR RI periode 2009-2014, berakhir, RUU PPHMA gagal jadi UU.

Menurut Pansus RUU PPHMA DPR kala itu, kegagalan pengesahan ini karena pemerintah tak serius dalam rapat-rapat pembahasan mendalam terhadap beberapa topik yang memerlukan kesepahaman dan kesepakatan substansi.

Wujud ketidakseriusan pemerintah dengan mengirimkan orang-orang yang tak berkompeten mengambil keputusan dalam pembahasan RUU PPHMA.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kala itu, tak berani mengambil momentum sebagai pahlawan masyarakat adat seiring dengan kegagalan penetapan RUU PPHMA jadi UU.

 

Nawacita vs politik penguasaan sumber alam

Dalam Nawacita Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, disebutkan tegas komitmen pemerintah tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Komitmen ini tercermin dalam enam poin.

Pertama, meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimama diamanatkan TAP MPR RI No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Kedua, melanjutkan proses legislasi RUU terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir, berlanjut hingga ditetapkan sebagai UU, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana usulan DPR, AMAN, dan berbagai komponen masyarakat sipil lain.

Ketiga, memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan sumber daya alam, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012.

Keempat, satu mendorong inisitaif berupa penyusunan (rancangan) UU soal penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat pengingkaran peraturan perundang-undangan sektoral hak-hak masyarakat adat selama ini.

Kelima, membentuk komisi independen yang diberi mandat khusus presiden untuk bekerja intens mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal berkaitan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

Keenam, memastikan penerapan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, terutama mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat jadi desa.

Meski RUU Masyarakat Adat, sudah masuk tahap pembahasan di DPR. Inisiatif ini justru hadir dari usulan DPR. Dari 50 RUU yang masuk program prioritas legislasi nasional 2017,  tak satupun usulan RUU dari pemerintah bersentuhan langsung dengan isu-isu kerakyatan dan pengelolaan sumber daya alam.

Tampaknya politik kolonialisme pengelolaan sumber daya alam masih hendak dilanggengkan oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Dari 40 kasus masyarakat adat hasil Inkuiri Nasional Komnas HAM beberapa tahun lalu, nasibnya tak jelas hingga kini.

Padahal,  temuan-temuan Inkuiri Nasional tegas, menyebutkan,  ada pelanggaran hak-hak asasi masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hal itu, seharusnya bisa jadi argumen kuat bagi pemerintah dalam mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-undang.

Tak dapat dipungkiri, pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dengan segala keberagaman seharusnya dipandang sebagai langkah memperkuat integrasi dan keberlanjutan Indonesia sebagai bangsa yang besar.

Pengakuan itu sendiri, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat sebagai suatu entitas warga negara sebagaimana dimandatkan konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa.

Penulis adalah Pengurus Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

 

Foto utama: masyarakat adat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version