Mongabay.co.id

Strategi Konservasi Orangutan Harus Perhatikan Segala Hal, Mengapa?

Tampak dokter hewan (atas) dari OIC menyiapkan dosis bius untuk orangutan yang akan dievakuasi. Tak selamanya evakuasi berjalan mulus, pastinya dibutuhkan stamina dan dan kesabaran untuk melakukan itu semua. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

Deforestasi tetap menjadi ancaman utama kehidupan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) selain perdagangan liar. Butuh kepedulian bersama menjaga primata Indonesia ini tetap lestari.

Berdasarkan   Population and Habitat Viability Assessment   (PHVA) Orangutan 2016, diperkirakan hanya terdapat 57.350 individu orangutan kalimantan yang hidup di habitat seluas 181.692 km persegi. Luasan ini mencakup Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sarawak – Malaysia. Di Kalimantan Barat, diperkirakan terdapat sekitar 20.330 individu terdiri dari Pongo pygmaeus pygmaeus (4.520 individu) dan Pongo pygmaeus wurmbii (15.810 individu).

“Dalam menangani perdagangan primata dilindungi, Pemerintah Indonesia sangat konsisten dan menjadikan hal tersebut sebagai prioritas Indikator Kinerja Kementerian,” ucap Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Republik Indonesia, Bambang Dahono Adji, pada diskusi peringatan Hari Primata di Pontianak Kalimantan Barat 30 Januari 2018.

Baca: Naik Status, Perlindungan Orangutan Kalimantan dan Habitatnya Harus Serius

Albertus Tjiu, Manajer Program Kalimantan Barat, WWF-Indonesia, menyebutkan, Kalimantan memiliki tiga sub-spesies orangutan, yakni Pongo pygmaeus pygmeus, Pongo pygmaeus wurmbii, dan Pongo pygmaeus morio. “Distribusi orangutan, berapa besaran populasinya, dan Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) melindungi orangutan harus dilakukan,” ungkapnya.

 

Kejora yang sedang belajar keterampilan hidup di Sekolah Hutan di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Foto: BOSF/Indrayana

 

Kalimantan Barat telah memiliki SRAK 2007-2017, selanjutnya SRAK harus direvisi untuk digunakan 2018-2028. Soal periode ini, ada perdebatan, apakah harus sepanjang 10 tahun atau dipersingkat 5 tahun. “Di Kalimantan Barat, Pongo pygmaeus pygmaeus berada di hulu Sungai Kapuas, yang mayortias berfokus di dua taman nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Sedangkan Pongo pygmaeus wurmbii berada di Kabupaten Ketapang dan sekitarnya,” tambahnya.

Berdasarkan laporan UNEP dan Universitas Liverpool serta Lembaga Kemitraan Kelangsungan Hidup Kera Besar (GRASP), konversi besar-besaran Kalimantan untuk pembangunan lahan sawit akan membuat kehidupan orangutan terancam punah.

Laju deforestasi di Kalimantan, dinilai menjadi di antara yang tertinggi di dunia lebih dua dekade, dan 56 persen dari hutan dataran rendah tropis yang dilindungi diperkirakan telah hilang antara periode 1985-2001. Laporan tersebut selanjutnya mengatakan, jika deforestasi di Asia Tenggara terus berlanjut, sebanyak 75 persen dari hutan asli akan hilang pada 2030.

 

Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah merupakan habitat orangutan liar kalimantan. Foto: Dok. Taman Nasional Sebangau

 

Terkini

“Kita juga punya masalah besar dalam hal tempat pelepasliaran. Shelter bertambah, tapi mau dilepaskan kemana?” tukas Suci Utami, dari Forum Orangutan Indonesia (FORINA). Menentukan kawasan pelepasliaran tidak semudah menetapkan satu titik di peta, perlu survei komprehensif mulai ketersediaan pakan, satwa apa saja yang ada di dalam kawasan tersebut, hingga ancaman dan kemungkinan konflik.

Suci mengatakan, berdasarkan analisis PHVA Orangutan 2016, populasinya menurun dari PHVA sebelumnya. Prakiraan populasi 2016, berdasarkan informasi dari cakupan survei lebih luas. Sementara prakiraan sebelumnya, berdasarkan cakupan survei terbatas. Populasi minimum untuk dapat mempertahankan viabilitas (minimum viable population) di Kalimantan berada pada 200 orangutan < 1 persen probabilitas kepunahan dalam 100 tahun. Serta, < 10 persen probabilitas kepunahan dalam 500 tahun.

Analisis PHVA orangutan dilakukan lintas organisasi seperti FORINA, Orangutan Foundation-United Kingdom, International Union for Conservation of Nature (IUCN) SSC Primate Specialist Group, IUCN SSC Conservation Breeding Specialist Group dan didukung Iembaga beserta praktisi pemerhati konservasi orangutan.

Dari PHVA orangutan tersebut, diperkirakan terdapat 71.820 individu orangutan tersisa di Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang meliputi Sabah dan Sarawak. Jumlah tersebut berada pada areal seluas 17.460.600 hektar dengan populasi tersebar dalam 52 meta populasi. Hanya 38% saja yang diprediksi lestari (viable) dalam 100 hingga 500 tahun ke depan.

“Kalau kita lihat di Kalimantan Tengah, ada tersisa populasi orangutan. Seluruh provinsi di Kalimantan sepertinya ada. Yang menjadi pertanyaan, di Kalimantan Utara,” tambahnya.

 

Evakuasi orangutan sumatera yang dilakukan OIC di Aceh Selatan Juni 2017 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dilihat dari luasan habitat, populasi orangutan di Pulau Sumatera lebih padat karena habitatnya mengecil, dibandingkan Kalimantan. Di Kalimantan Barat, terdapat enam metapopulasi untuk Pongo pygmeus. Namun jika dilihat secara bentang alam yang metapopulasinya terbagi dengan Sarawak dan Sabah, kemungkinan orangutan Kalimantan akan selamat hingga 500 tahun ke depan. “Kita sendiri juga belum tahu, populasi sebenarnya berapa. Ini hanya berdasarkan luasan habitat,” terangnya.

Baca: Konservasi Orangutan Masih Hadapi Kendala. Apa Saja?

Metode kampanye penyelamatan orangutan juga menjadi hal yang penting untuk dikaji. Suci mengambil contoh tagar #saveprimata. “Setengah pakai bahasa Inggris. Apakah masyarakat paham makna ini sepenuhnya?” katanya. Dia mengaku tertampar dengan kejadian photoshoot Luna Maya dengan orangutan di Bali Zoo. Masyarakat bisa salah arti dengan foto tersebut.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sadtata Noor, mengakui banyak keterbatasan untuk melakukan penyadartahuan terhadap masyarakat. “Saya pikir, kita harus lebih berani membuka pikiran kita, mengevaluasi diri. Bisa jadi, banyaknya hal yang kita lakukan tidak berjalan efektif,” ungkapnya.

Bisa jadi, program yang dilakukan selama ini masih menyasar permukaan, belum menyasar hal mendasar. Contoh kecil, sebagian anak muda entah mengapa, suka berfoto dengan hewan buruan. “Bangga jika bisa berburu, bangga jika bisa berfoto dengan hasil buruan dan bangga menyebarkannya di media sosial. Mengapa mereka tidak bangga menjadi pelaku konservasi?,” tukasnya.

Baca juga: SRAK Orangutan: Antara Harapan, Kenyataan dan Catatan Penting di 2015

Di Kalimantan Barat, BKSDA mempunyai tantangan dalam upaya konservasi orangutan. Masih banyak perburuan, perdagangan bahkan menjadikan orangutan sebagai makanan. Kajian-kajian terkait maraknya perburuan juga penting dilakukan untuk mengungkap, apakah perburuan ini merupakan budaya, atau untuk kepentingan ekonomi saja.

Adanya hukum adat yang mengatur perburuan ilegal, dapat menjadi salah solusi. Hukum adat bersifat ‘membumi’ sehingga bisa dipahami oleh masyarakat. “Selaku perpanjangan tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di daerah, BKSDA berharap agar dokumen SRAK yang akan disusun, harus menjadi kerja besar bersama para pihak,” tegasnya.

 

Tampak anggota tim HOCRU-OIC melakukan evakuasi orangutan sumatera. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Kebun sawit

Kondisi orangutan sumatera (Pongo abelii) juga tak jauh dari ancaman. Yayasan Orangutan Sumatera Lestari –  Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) mencatat, jumlah evakuasi orangutan sumatera yang keluar dari habitatnya di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) setiap tahunnya terjadi.

Berdasarkan data OIC, sepanjang 2017 ada 23 orangutan di Aceh dan Sumatera Utara yang diselamatkan. Rinciannya, 15 orangutan dievakuasi dan delapan individu diselamatkan melalui penyitaan. Bila dilihat dari 2012-2017, di Sumatera Utara telah dievakuasi 43 individu. Sementara di Aceh, dengan rentang tahun yang sama dilakukan evakuasi 47 individu orangutan.

“Untuk Sumatera Utara, yang tertinggi dalam proses evakuasi dan penyitaan terjadi di 2013. Sedangkan evakuasi tertinggi di Aceh pada 2012, dan penyitaan tertinggi pada 2016. Pastinya, resque yang dilakukan tim HOCRU OIC tidak akan menyelesaikan persoalan, jika habitat orangutan tidak dijaga,” jelas Panut Hadisiswoyo, Direktur YOSL-OIC, saat memaparkan kondisi terkini orangutan sumatera, Selasa (06/2/2018).

 

 

Populasi orangutan sumatera saat ini, menurut Panut, sekitar 14.100 individu yang tersebar di kawasan konservasi di Sumatera Utara dan Aceh. Mulai dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kawasan Ekosostem Leuser (KEL), Suaka Margasatwa Rawa Singkil, dan hutan lindung dekat KEL. Hampir 80 persen berada di KEL dan lebih dari 45 persen berada di kawasan TNGL

“Sekarang populasinya semakin terancam karena pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit,” ungkapnya.

 

Peta persebaran orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan borneo (Pongo pygmaeus). Sumber: FORINA

 

Berdasarkan data OIC, penyelamatan orangutan di Sumatera Utara dan Aceh, beberapa kali dilakukan di perkebunan sawit perusahaan. Di wilayah PT. Bahruni (3 kali), PT. Sisirau (7 kali), PT. MPLI (2 kali), PT. Prima (3 kali), dan PT. Raya Padang Langkat (1 kali). Selebihnya, evakuasi dilakukan di lahan pertanian sebanyak 61 kali.

Dengan laju kerusakan hutan sekarang ini, diperkirakan dalam kurun waktu 100 tahun, kepunahan orangutan sumatera akan terjadi sebesar 10 persen. “Setiap tahun, 10 hingga 30 individu orangutan dikirim ke pusat karantina SOCP. Artinya, jika separuhnya tidak bisa diselamatkan, akan ada individu lain yang nasibnya tidak kita ketahui, hilang dari hutan,” jelasnya.

 

 

Exit mobile version