Mongabay.co.id

Upaya Kembalikan Lagi Hutan Jati di Muna

Geliat tanam jati mulai kembali di Muna. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Hutan jati Muna, tergerus besar-besaran. Data Dinas Kehutanan Muna 2003, menyebutkan, pada 2001, luas hutan jati di Muna diperkirakan sekitar 34.000 hektar terdiri dari 20.000 hektar jati alam dan  14.000 hektar jati tanaman.

Dari luas hutan jati alam itu, 17.000 hektar rusak, hutan tanaman jati  8.000 hektar rusak. Pada 2005, pohon jati alam hampir punah, tinggal sekitar 1.000 hektar tersisa.

Baca juga: Hutan Jati Muna Tinggal Kenangan

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan,  17  Juni 1999, luasan hutan jati Muna 45.000 hektar. Ia terbagi dalam 36,000 hektar hutan jati alam  dan 9.000 hektar jati tanaman tahun 1911–1993.

Sebagian orang Muna, khawatir hutan jati Muna, bakal tinggal kenangan. Mereka berupaya ikut kontribusi agar hutan jati kembali. Usaha ini, salah satu dilakukan La Ode Rifai, tokoh masyarakat Muna.

Di usia 70 tahun, Rifai berupaya budidaya jati. Dia berharap,  identitas jati Muna, bisa kembali mengantarkan kejayaan tanah kelahirannya itu.

Dia belajar di Balai Benih Institut Pertanian Bogor, dan diaplikasikan di Muna. “Sampai habis-habisan saya belajar dan mendidik anak baru di IPB,” katanya.

Pertengahan Januari lalu, saya datang ke Kabupaten Muna. Tampak geliat pengembangkan jati. Hamparan hijau jati terlihat dari ketinggian.

Ada beberapa daerah di pinggiran Kota Raha,  ibukota Muna, terlihat hamparan hutan jati. Di Desa Wakuru dan Lasehao, jati ada siap panen.

Rifai bilang, jati-jati itu tanaman masyarakat yang memanfaatkan lahan kosong.

Kini, luasan hutan jati di Muna, sudah 8.000 hektar dari hutan tersisa sekitar 1.000 hektar pada 2006.

Rifai memiliki kebun jati di Desa Lambiku, Kecamatan Tampo, Muna. Kebun ini juga jadi laboratorium pengembangan jati. “Baru tiga tahun itu, tapi sudah besar,” katanya, seraya menunjuk tanaman jati yang berjejer.

Saya berkesempatan memasuki area laboratorium Rifai. Ada dua perempuan dan seorang laki-laki baru selesai dari IPB.

Mereka begitu teliti menyemai jati usia seminggu yang tersimpan dalam gelas kaca. Jati dipotong jadi lima sampai 10 bagian untuk jadi tanaman baru.

Prosesnya, dimulai dari memotong pucuk jati kemudian ditanam kembali dalam wadah berisi rumput laut yang sebelumnya telah dicampur sejenis bahan kimia. Dengan teknologi ini pucuk pohon jatipun tumbuh tanpa menanam akar hidup.

“Awalnya kita racik dulu bahan kimia, kemudian kita simpankan pucuk jati. Pucuk ini akan tumbuh sampai bibir botol. Kemudian dipotong lagi pada bagian ruas-ruas bibit pohon jati ini. Dari satu bibit bisa jadi tiga, pasti tumbuh,” katanya.

Dari laboratorium ini, katanya, perlu enam minggu untuk masuk rumah kaca. Dari rumah kaca, perlu empat pekan sebelum pindah lagi polibak.

Sebulan di polibak, bibit-bibit jati siap tanam. Di kebun yang merangkap sebagai laboratorium ini, para pekerja sudah menghasilkan lebih dari 100.000 bibit jati hasil rekayasa.

“Sudah ada yang tertanam sekitar 3.000 hektar.”

 

Jati di Cagar Alam Napabalano yang diklaim berusia 100 tahun. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Geliat mengembangkan Muna sebagai negeri jati, tak saja dilakoni Rivai. Peneliti pertumbuhan jati Muna, Universitas Halu Oleo bernama Husna Faad Maonde, juga melakukan hal sama. Dia persingkat usia panen jati lewat pengembangan pupuk hayati mikoriza.

Di persemaian jati di Kelurahan Kemaraya, Kecamatan Kendari Barat, Husna membuka percakapan dengan luar biasa. “Jangan hilangkan identitas jati Muna,” begitu katanya sembari mengusap muka.

Sembari berjalan memperlihatkan persemaian jati di belakang rumah, perempuan paruh baya ini menerangkan cara lain mengembangkan jati secara cepat. Dia mencampurkan pupuk hayati bernama mikoriza dan bisa mempercepat pertumbuhan jati yang biasa lama.

“Kalau yang dilakukan sama Pak La Ode Rivai itu temuan Balai Benih IPB, saya sendiri pengembangan jati saya campur pupuk hayati bernama mikoriza,” katanya.

Metode tanam jati ini, katanya, belum dikembangkan luas di Muna, baru di Lasalimu, Buton dan Mawasangka, Buton Tengah. “Di sana ada 10 hektar. Berhasil,” katanya.

Menariknya,  proses menanam jati dengan mikoriza sejak 2001 ini, pertama dilakukan dalam lingkungan Universitas Halu Oleo Kendari. Lalu lanjut ke Pulau Buton.

“Sudah besar-besar sekarang. Di Buton katanya luar biasa.”

Profesor bidang ilmu kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo ini dalam menanam jati memberikan pupuk hayati itu di awal pembibitan. Ibarat bayi, jati diberi imunisasi melalui mikoriza.

“Prosesnya mulai jati disemai atau kecamba, ukuran daun empat lembar dan diberikan sekali seumur hidup. Prosesnya pun cepat. Hasilnya beda dengan tanpa mikoriza,” katanya.

Untuk tak gunakan mikoriza, jati berdiameter tujuh cm, pakai pupuk hayati ini bisa 23 cm dalam satu bulan. Penggunaan mikoriza sendiri,  katanya, karena jati Muna 40 tahun baru panen. Dengan mikoriza, katanya, 15 tahun bisa panen.

Dia cerita, pertama kali temuan itu kala magang di IPB. “Itu tahun 1980-an. Penelitian saya soal mikoriza, saya dapatkan bahwa mikoriza ini bisa jadi bahan pengembangan jati seperti pupuk. Disatukan dengan inang, hasilnyapun luar biasa,” katanya.

Dengan temuan ini, Husna, ingin mendukung pembangunan kehutanan berkelanjutan dan konservasi tanaman tropis terancam punah di Sulawesi.

Saat menyampaikan orasi ilmiah 31 Oktober 2016, Husna memaparkan persoalan serius Sultra yakni, kerusakan hutan. “Lahan kritis Sultra mencapai 885.000 hektar. Secara nasional, terdapat 60 jenis pohon tropis jadi obyek restorasi dan konservasi, enam jenis di antaranya ada di sini dan satu jenis endemik Sultra, dan terancam punah,” kata Mantan Dekan Fakultas Pertanian UHO ini seperti dikutip dari Kendari Pos.

 

Bibit jati. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

***

Bisa dibilang, jati merupakan jati diri Muna. Ia ada sejak masa kerajaan.

Rifai mengatakan, budidaya jati masa Kerajaan Muna, namun baru dikenal luas pada 1901. Saat itu, jati Muna telah dikembangkan modern oleh kolonial Belanda.

“Mereka (Belanda) datang mengolah jati. Setelah itu, kembali ke daerah mereka. Tahun berikutnya, datang lagi menanam kembali. Saya tak tahu persis yang pasti ratusan tahun lalu. Orang-orang tua kita dulu memang sudah menanam jati,” katanya.

Belanda datang ke Muna membawa pekerja dari Pulau Jawa. Mereka ditempatkan di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Bangunsari, Kecamatan Lasalepa. Di wilayah ini, Belanda bersama para pekerja Jawa budidaya jati.

“Sudah tahu semua. Ceritanya, dulu Jawa ini tahu cara menanam jati, waktu itu kurang masyarakat sini kemauan tanam jati, maka dibawa dari Jawa.”

Upaya Rifai, kembangkan jati sebagai bagian dari usaha mengembalikan hak kelola tanah masyarakat.

“Yang tanam masyarakat yang punya kebun. Kita hanya menyiapkan sebagai program pemberdayaan masyarakat. Inilah yang saya bilang, jati milik masyarakat. Lahan mereka, hasil pun milik mereka,” katanya.

Sejak memulai pembibitan hingga kini, Rifai mengklaim sudah sekitar 3.000 hektar lahan jati baru di Muna. Masyarakat, katanya, tak perlu menunggu lama seperti menanam jati biasa.

Dia membandingkan, kalau jati lokal baru panen belasan sampai puluhan tahun, hasil rekayasa genetik panen usia tiga tahun. Masyarakat, katanya, bisa panen bertahap.

Kan ada tebang tunda. Dari satu hektar lahan, tak menebang semua, pertama 250 pohon dulu. Menunggu sampai panen habis lagi, terus panen lagi, kemudian panen lagi. Hasilnya tak langsung habis. Terus bekas penanaman lagi sudah bisa lagi ditanami jati. Begitu terus.”

 

Foto utama:  Geliat tanam jati mulai kembali di Muna. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version