Mongabay.co.id

Susan Herawati: Masalah Nelayan bukan Hanya Cantrang

Nelayan di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Halmahera Selatan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

 “Bagaimana dengan reklamasi, bagaimana dengan tambang, bagaimana dengan pariwisata? Kita melihat, masalah perusakan akibat industri ekstraktif itu masih belum penting. Padahal itu yang paling banyak menyebabkan nelayan-nelayan kita itu beralih profesi.”

Namanya Susan Herawati Romica. Dia Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Sehari-hari Susan kerab bertemu dengan masyarakat pesisir dan mendengarkan beragam masalah mereka.

Baca juga: Penyaluran Asuransi Nelayan Berjalan Lambat, Kenapa Bisa Terjadi?

Sebagai warga yang mendiami wilayah terluar dari negara kepulauan, masyarakat pesisir masih identik dengan kemiskinan, sering luput dari perhatian negara, dan terpinggirkan manakala berhadapan dengan kekuatan modal. Beragam masalah masyarakat pesisir ini jadi isu sehari-hari bagi Kiara.

Baca juga: Terlarang Tetap Marak, Nelayan Tradisional Tanjung Balai Asahan Bakar Kapal Pukat Harimau

Susan gemar membaca buku. Ada ratusan judul buku dikoleksi. Di antara buku favorit itu, ada Arus Balik dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

Sejak bertahun-tahun, Susan memang aktif dalam  aksi-aksi sosial hingga tak heran kala dia ‘tercebur’ aktif di Kiara.

Mongabay mewawancarai Susan, seputar isu kelautan dan masyarakat pesisir dari soal cantrang sampai reklamasi, pada 6 Februari lalu. Berikut petikannya.

 

Soal kontroversi cantrang, menurut anda apa penyebab utamanya?

Aturan main yang mengatur atau kebijakan alat tangkap itu sebenarnya bukan hadir pada tahun 2015 saja. Tahun 1980,  sudah ada aturan main melarang penggunaan alat merusak seperti trawl. Yang menjadi kendala sampai hari ini itu implementasi aturan. Kalau ada yang menggunakan alat tangkap itu sanksi masih belum maksimal. Ini membuat ketidakpastian di tingkat grassroot (akar rumput).

Pro dan kontra hari ini menurut kami dampak dari perjalanan panjang kebijakan alat tangkap yang tidak selesai. Kebijakannya sebenarnya sudah cukup baik, karena berbicara tentang perikanan nelayan pesisir berkelanjutan. Kita ingin anak cucu masih mendapatkan ikan.

Sayangnya mitigasi atau pergantian alat tangkap masih belum maksimal. Artinya, masih banyak kebocoran di situ. Ini yang kemudian jadi gejolak baik di tingkat nasional maupun akar rumput.

 

Susan Herawati Romica, Sekjen Kiara. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Maksud banyak kebocoran?

Ternyata pemerintah atau KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan-red) belum mempunyai skema cukup jelas tentang pergantian alat tangkap. Pergantian alat tangkap yang dimaksud KKP itu hanya mengganti alat tangkap. Padahal, kalau bicara alat tangkap itu tidak bisa hanya dilihat sebagai alat. Di dalam alat tangkap itu juga ada tradisi, kebiasaan, rantai produksi.

Padahal (yang diatur) di dalam UU itu ada kapal-kapal yang mengubah tradisi. Biasanya, menangkap berapa, kemudian berubah. Itu kan juga harus ada adaptasi luar biasa. Analisanya, juga harus tajam  dan sistem harus disiapkan benar.

 

Apakah Kiara melihat ada ketidakadilan dalam kontroversi pelarangan cantrang?

Kami melihat porsi cerita atau suara dari nelayan tradisional masih belum naik ke atas. Artinya, kontroversi dari kebijkan alat tangkap ini yang selalu di-highlight adalah isu cantrang. Sebenarnya banyak sekali nelayan tradisional di bawah 10 GT masih menggunakan alat tangkap sederhana, ingin laut dikelola dengan cara berkelanjutan. Ini yang kemudian menjadi hidden transcripts. Ada sekelompok masyarakat kecil yang sebenarnya berjuang untuk mendapatkan laut yang bersih.

Di sisi lain yang luput dari perhatian kita adalah, mekanisme transisi para pekerja perikanan. Taruhlah satu kapal besar di bawah 30 GT itu memperkerjakan 20 ABK. Bisa dibayangkan ketika masa transisi dua tahun mereka tidak dapat pekerjaan. Banyak sekali yang berganti pekerjaan, terlilit utang dan terjebak kemiskinan struktural.

 

Pemerintah tidak siap menghadapi dampak lanjutan ini?

Mereka tidak menyiapkan, mereka tidak menganalisa sampai sana. Jadi hanya sebatas alat tangkap saja diganti, kalau untuk 30 GT mereka tidak menyelesaikan mekanisme transisinya.

Hari ini, yang jadi gejolak adalah kapal-kapal yang besar ini sudah kadung mengajukan agunan ke bank. Kalau mereka mau ganti tidak bisa lagi mengajukan ke bank karena sudah punya utang dan yang dilarang adalah alat produksi.

Bagaimana orang bisa berproduksi, bagaimana orang bisa mendapatkan penghasilan kalau alat produksi yang dilarang. Ini yang tidak disiapkan karena asumsinya adalah kapal-kapal 30 GT itu adalah yang dianggap mampu. Kapal-kapal juragan. Iya, sebagian memang dimiliki juragan, tapi sebagian ada juga yang kepemilikan kolektif. Artinya, hasil urunan beberapa nelayan. Ini yang tidak dianalisa.

 

Apakah jumlahnya banyak?

Temuan kami cukup beragam dan menarik. Untuk ini, Kiara telah mengadakan riset khusus. Kami menemukan, kebijakan ini belum melihat disparitas geografis. Masyarakat pesisir beragam sekali. Ini yang menjadi tantangan sebenarnya. Artinya, memang ada beberapa kasus sangat khas seperti kapal yang dimiliki kolektif tadi, lalu mereka yang sudah kadung pinjam.

 

Kalau soal satgas cantrang?

Saya masih belum mendengar bentuknya seperti apa, tugasnya bagaimana, apakah itu bisa berjalan efektif atau tidak. Karena begini, resistensi masyarakat di beberapa titik itu kuat. Saya tidak yakin juga mereka bisa diterima dengan baik dan itu bisa menghalangi tugas mereka. Itu kenapa terlihat bisa tidak jalan.

 

Cantrang bisa jadi mewakili persoalan nelayan di Jawa, kalau di luar Jawa?

Sebenarnya ada sekelompok masyarakat di Sumatera Utara yang berjuang melawan trawl. Itu perlu dilihat secara seksama, karena ketika kemarin Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikan) menemui kawan-kawan yang berdemonstrasi di depan istana dan kemudian ada statemen bahwa masa transisi tidak ada batas waktu, itu blunder sebenarnya. Karena pernyataan itu dianggap sebagai legitimasi penggunaan alat cantrang seterusnya.

Tekanan di beberapa titik termasuk di Sumatera Utara, malah lebih bahaya karena para juragan trawl ini punya potensi mendekati DPRD untuk melakukan hal sama, melakukan pelegalan terhadap trawl. Ini hal-hal yang tidak kita antisipasi. Makanya, tidak heran kemarin 5 Februari ribuan nelayan tradisional Sumatera Utara, turun ke depan DPRD.

 

Isu lingkungan lain yang perlu disorot selain penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan?

Ini sebenarnya sedikit aneh karena kita punya mimpi mengelola wilayah pesisir berkelanjutan. Misi dari Permen KP nomor 2 (2015) dan 71 (2016) sebenarnya sudah mencoba ke arah sana. Tapi ada persoalan besar yang tidak diselesaikan oleh negara yaitu industri ekstraktif yang masih berada di pulau pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ngomongin pengelolaan pesisir berkelanjutan tapi kok cuma alat tangkap saja yang mereka urus. Bagaimana dengan reklamasi? Bagaimana dengan tambang? Bagaimana dengan tourism? Kita melihat, masalah perusakan akibat industri ekstraktif itu masih belum penting. Padahal itu yang paling banyak menyebabkan nelayan-nelayan kita itu beralih profesi. Visi perikanan berkelanjutannya masih belum jelas.

 

Untuk reklamasi kasus selain di Jakarta?

Contoh paling besar ada di Manado, lalu Teluk Benoa. Evaluasi Kiara terhadap pesisir dan kelautan tahun 2017 mencatat, ada kenaikan reklamasi 100%. Kalau tahun 2016, ada 17 titik, akhir 2017 ada 37 titik wilayah pesisir yang direklamasi di seluruh Indonesia.

 

Dampak terhadap nelayan?

Banyak. Mulai dari ekosistem berubah, misal, membangun Teluk Benoa, pasir yang diambil dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ini meninggalkan luka atau kerusakan berganda. Hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Rata-rata nelayan kita kan tradisional tidak mungkin jauh melaut, paling di bawah 12 mil. Karena hasil tangkapan menurun padahal harus bertahan hidup menyebabkan mereka beralih profesi.

 

Perburuan paus seperti di Lamalera, bagaimana menghadapi isu semacam itu?

Di Lamalera itu masyarakat adat sudah menjalankan tradisi turun temurun. Mereka nggak pernah banyak menangkap paus. Ada waktunya. Itulah cara mereka melakukan konservasi ala mereka. Ini yang tidak dilihat oleh negara. Konservasi yang ditawarkan negara malah rata-rata bukan hanya memberangus kearifan masyarakat adat tapi membuat mereka kehilangan wilayah tangkap.

Seharusnya kita belajar dari masyarakat Lamalera karena mereka punya upaya konservasi luar biasa. Tidak banyak kok yang mereka tangkap kalau dibanding komitmen negara ini untuk menghentikan pembunuhan parimanta atau paus. Bukan dengan cara melarang atau membatasi mereka, harusnya pengawasan total atau penuh terhadap laut Indonesia.

Saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri di Muara Angke ada satu kapal besar menurunkan ratusan hiu. Itu ditangkap di seputar laut Indonesia. Kenapa masyarakat adat Lamalera yang menangkap untuk hidup mereka sendiri saja disoal? Itu nggak lebih dari 20 paus yang mereka tangkap selama satu tahun. Sedangkan untuk industri, sudah luar biasa. Tidak ada pengawasan serius soal ini.

 

Kapal pukat harimau yang dibakar nelayan tradisional di Sumatera Utara. Nelayan kesal karena lingkungan laut mereka rusak karena penggunaan alat tangkap yang merusak. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana kalau soal pengembangan pariwisata bagi lingkungan dan nelayan?

Di Nihiwatu, hotel paling mahal di Sumba, konon terbaik di dunia, itu dulu adalah wilayah tangkap nelayan. Karena ada Nihiwatu mereka tidak bisa lagi menangkap ke sana. Bahkan untuk di pinggir-pinggir saja mereka tidak boleh. Kemudian di Mandalika, Gilisunut, NTB, ada 109 keluarga terusir karena mau dibangun sarana tourism.

Sebenarnya ini wilayah tangkap nelayan, wilayah sandar mereka. Karena ada pariwisata mereka tidak bisa lagi ke sana. Hingga harus melaut lebih jauh lagi.

 

Apa keadilan perikanan yang mau dicapai Kiara, melalui apa?

Kami percaya ada tiga hal yang harus dimiliki nelayan. Mereka harus berdaulat atas laut. Hari ini,  ada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dengan perda akan didorong di 33 provinsi. Analisa kami, perda ini rata-rata kalau tidak tambang, pariwisata, ya reklamasi. Itu tidak berangkat dari nelayan.

Artinya, rencana zonasi ini mencederai kedaulatan nelayan atau masyarakat pesisir. Yang dibutuhkan masyarakat pesisir adalah mereka bisa mengakses laut. Karena itukan open access. Open access bukan berarti investasi masuk lalu mereka dipinggirkan.

Yang penting, memutus rantai industri ekstraktif, mengembalikan kedulatan laut sebesar-besarnya ke masyarakat pesisir. Kalau mereka sudah mencapai kedaulatan, mereka didorong untuk mandiri. Koperasi-koperasi nelayan itu penting hidup. Bukan hanya memutus rantai ketergantungan terhadap tengkulak juga mendorong kemandirian dan tata kelola yang dibangun dari masyarakat untuk masyarakat. Kalau dua hal itu sudah dapat, mereka akan sejahtera.

 

Foto utama: Nelayan di Pulau Daga, Kepulauan Widi, Halmahera Selatan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version