Mongabay.co.id

Potret 5 Tahun Kebijakan Konservasi Hutan APP dari Pantauan Organisasi Lingkungan

Penggalian kanal gambut oleh PT Muara Sungai Landak yang bisa merusak ekosistem gambut dan melepaskan emisi karbon ke atmosfir. Lokasi: 109°17'26.84 E 0°8'27.92" N, Foto EoF, 21 Nov 2015; bawah - Tumpukan kayu hutan alam yang ditebangi PT MSL sedang disusun memakai ekskavator. Foto EoF

“Desember 2017, Associated Press (AP)  merilis laporan Asia Pulp and Paper (APP) maupun Sinar Mas yang memiliki kendali terhadap 27 pemasok yang mereka klaim ‘independen.’ Laporan AP menemukan, keterkaitan antara pemasok dan Sinar Mas. Modus gunakan berbagai struktur kepemilikan, diduga untuk menghindari pengelolaan komitmen keberlanjutan atau meminimalisir tanggung jawab perusahaan. AP juga menyebutkan, keterkaitan APP dan Muara Sungai Landak, yang  membabat hutan di Kalimantan Barat.  

APP mengakui keterhubungan dengan para pemasok tetapi membantah kalau keterkaitan dalam struktur  kepemilikan untuk hindari pelaksanaan komitmen mereka. Perusahaan ini mengklaim, mitra pemasok punya standar tinggi yang sama, terlepas dari kepemilikannya. APP berdalih, dengan ada hubungan kepemilikan, ada dengan bagian pembiayaan,  pengadaan mapun teknis, malah sebagai penguat kelancaran pelaksanaan kebijakan konservasi hutan mereka. Namun, anak usaha Sinar Mas ini membantah kalau mereka terkait dengan Muara Sungai Landak, meskipun dalam laporan AP menemukan si pemilik perusahaan merupakan dua karyawan di Sinar Mas Forestry.”

 

 

Cerita 27 pemasok ini hanya bagian dari sekian banyak contoh yang disebutkan oleh  organisasi masyarakat sipil sebagai ‘jauh panggang dari api’ atas pelaksanaan lima tahun komitmen konservasi hutan APP. Mereka menilai, APP belum berada pada jalur tepat dan kemajuan komitmen belum memadai.

Bertepatan dengan lima tahun Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy) APP,  gabungan organisasi masyarakat sipil seperti, WWF, Auriga, Forest Peoples Programme, Walhi Riau, Weatland International, Hutan Kita Institute (HAki), Jikalahari, Titian, Rainforest Networks, menyoroti banyak kelemahan dari pelaksanaan komitmen itu.

Pertama, soal ketidakcukupan pasokan dari hutan tanaman dan keterlibatan dalam deforestasi. Dalam komitmen itu, menegaskan perusahaan berhenti gunakan kayu dari hutan alam, tetapi Sinar Mas Group (SMG) atau APP justru menggalang pendanaan dan mengurus perizinan membangun pabrik bubur kertas baru yang potensial meningkatkan konsumsi kayu sebesar 84%.

Hutan tanaman milik APP belum pernah memproduksi kayu sebanyak itu. Perhitungan kelompok masyarakat sipil menunjukkan, konsesi-konsesi itu takkan mampu memenuhi, kecuali bila tanpa prinsip-prinsip kelestarian.

Bila pasokan kayu tersendat, khawatir APP kembali menghabiskan hutan alam, dan memperparah dampak lingkungan dan sosial.

Poin kedua, menyoroti kelambanan resolusi konflik terhadap masyarakat. Menurut kelompok masyarakat sipil dalam pernyataan bersama mereka,  APP menyatakan telah menyelesaikan lebih 42% konflik dengan masyarakat tetapi tak disampaikan ke publik berapa jumlah seluruh konflik, berapa banyak yang selesai, dan bagaimana penyelesaian.

“Padahal, informasi-informasi itu telah berulang kali diminta kelompok masyarakat sipil ke APP. Dari pengalaman kelompok yang masyarakat terkena dampak kehadiran APP di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, hanya sedikit dari ratusan konflik selesai,” tulis pernyataan itu.

 

Kebun akasia PT BAP, anak usaha APP di OKI. KLHK lakukan sidak dan mencabut akasia perusahaan pada Februari 2017. Foto: KLHK

 

Dalam kasus yang mencapai kesepakatan pun, masih saja ada ganjalan mengenai kualitas dan pelaksanaan kesepatkaan itu. Banyak juga komunitas yang kehilangan lahan, hutan, dan sumber pencaharian bahkan tak mengetahui ada komitmen perusahaan.

Ketiga, kelambanan restorasi dan pertukaran konsesi gambut terdegradasi dengan tanah mineral yang potensial mengganggu hutan alam dan wilayah kelola masyarakat.

Menurut mereka, pada 2014, setahun setelah deklarasi FCP, APP menyatakan komitmen merestorasi satu juta hektar ekosistem di Indonesia.

Rencana ini, menurut mereka tanpa disertai rencana jelas dan tolok ukur kemajuan dalam pelaksanaan. Pemasok kayu APP, dinilai menyebabkan kerusakan besar di banyak daerah prioritas pemulihan gambut. Dengan begitu, pembangunan hutan tanaman dengan pengeringan gambut harus setop, dan segera pemulihan.

Perusahaan ini juga dilihat, tak memiliki rencana kelola gambut berkelanjutan, baik untuk aktivitas ekonomi tanpa pengeringan lahan gambut ataupun pemulihan dengan vegetasi alami.

Mereka juga menilai, opsi pertukaran lahan (landswap) sebagai kompensasi pada tanah mineral oleh pemerintah berpotensi meningkatkan deforestasi maupun konflik dengan masyarakat.

Poin keempat, mengenai ketidakuratan menginformasikan hubungan dengan pemasok kayu dan kurang transparan mengenai hal-hal kunci pelaksanaan FCP.

Mereka menilai, sebelum dan sesudah pengumuman FCP pada 2013, APP tak menyampaikan informasi utuh ke parapihak mengenai hubungannya dengan 27 perusahaan pemasok. APP menyebut mereka sebagai “independen”, dengan menyembunyikan hubungan setidaknya dengan 25 perusahaan. Saat kebakaran 2015, APP memakai klaim “independen” itu untuk berkelit dari tanggung jawab atas kebakaran besar di areal konsesi sekitar pabrik baru di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Tak hanya terhadap Muara Sungai Landak, APP uga menyembunyikan hubungan sejak 2013 dengan PT. Bangun Rimba Sejahtera di Bangka Belitung.

“Sejak pengumuman FCP APP telah mengelabui parapihak mengenai informasi penting terkait pelaksanaan FCP, seperti kapasitas sesungguhnya OKI mill. Pada kenyataan, membangun pabrik berkapasitas jauh lebih besar tanpa bukti meyakinkan akan ada pasokan memadai secara berkelanjutan.”

Perilaku APP ini, sebut pertanyaan bersama itu, sungguh memperbesar jurang kepercayaan dengan kelompok masyarakat sipil, termasuk yang telah bekerjasama dengan APP dalam pelaksanaan FCP.

Poin lain yang jadi sorotan adalah pemantauan independen minim.

Sejak komitmen rilis, tak ada verifikasi independen terhadap kemajuan pelaksanaan. Sementara APP justru terus menerus menyampaikan klaim sepihak kemajuan-tanpa-verifikasi melalui kampanye pemasarannya.

 

Masalah hulu sampai hilir

Tak hanya pertanyaan bersama organisasi masyarakat sipil, pada 12 Februari lalu, Walhi nasional dan daerah merilis laporan bertajuk,”Selembar Kertas dan Jejak Kejahatan Korporasi.” Dalam laporan itu, Walhi menyebut, implementasi FCP oleh grup perusahaan HTI masih belum memadai.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi menyoroti, kegiatan hilir grup perusahaan ini. Dia sebutkan, PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) ditengarai jadi penyebab pencemaran Sungai Ciujung, Serang,  Banten.

Ia jadi dasar masyarakat sekitar lapor kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2014. IKPP dianggap mencemari sungai di sepanjang Kecamatan Kragilan hingga Muara Tengkurak di Kecamatan Tirtayasa. Sebanyak 17 desa di lima kecamatan terdampak pencemaran.

Dia bilang, pasokan bahan baku IKPP dari tiga provinsi, yakni, Sumatera Selatan,  Jambi dan Riau. Yang lain, ternyata pasokan bubur kapur sebagai pengikat serat dari Sumatera Barat.

Dengan begitu, katanya, penghancuran bentang alam di ekosistem esensial bukan hanya di gambut, juga di karts.

IKPP, salah satu perusahaan grup APP yang fokus produksi kertas dan pulp dari grup Sinarmas. Ia didirikan 1976 melalui skema joint venture.

Dalam laporan rantai IKPP Walhi Sumsel pada 2017, memperlihatkan, Unit Manajemen IKPP Perawang Mill memproduksi pulp dan kertas dari kayu bersumber dari skema Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan non-LEI.

Sumber non-LEI, berupa kayu HTI akasia dan eucalyptus dari PT Arara Abadi di Riau dan kayumixed hardwood maupun HTI perusahaan lain.

Dia juga menyoroti soal praktik buruk korporasi itu ternyata difasilitasi dan dilegitimasi kebijakan negara, salah satu tukar-menukar lahan (landswap).

 

Konsesi PT BMH, pemasok APP, yang terbakar berulang. Ia berada di lahan gambut. APP menyatakan, menghentikan dulu BMH sebagai pemasok, selama penanganan kasus oleh pemerintah. Foto: Lovina S

 

Alin mengatakan, kebijakan landswap, merupakan pelanggaran hukum karena dengan kebijakan itu terjadi tukar guling kawasan dengan memberikan konsesi di areal lain. Hal itu, katanya, sama seperti negara melakukan pemulihan atas nama keterlanjuran dan melanggengkan impunitas.

“Kami juga menyorot, kebijakan ini akan mendesain konflik baru,” katanya.

Dia merasa aneh, satu sisi pemerintah berkomitmen selesaikan konflik agrarian, tetapi sisi lain malah bikin kebijakan berpotensi menbuat konflik baru.

Berdasarkan informasi, katanya, obyek lahan areal landswap itu di Kalimantan Tengah dan Papua. “Kami khawatir justru akan menimbulkan konflik baru,” ucap Alin.

Menurut dia, sebaran konsesi HTI termasuk APRIL, banyak bersinggungan dengan banyak desa. Di konsesi HTI APP, misal, ada 600 lebih desa bersinggungan dengan areal kerja mereka.

“Kami khawatirkan areal obyek landswap ini, bersingunggan juga dengan desa. Dengan landswap ini, negara justru menciptakan bencana ekologis baru. Desa bukan hanya kesatuan administratif, juga kesatuan ekologis.”

Dia bilang, kalau negara tak mau dibilang sedang melakukan kejahatan lingkungan atau pelanggaran HAM, hendaknya menjalankan kewajiban konstitusi dengan memutus rantai impunitas terhadap bisnis yang melakukan kejahatan lingkungan dan pelanggaran HAM.

Demi kepentingan penyelamatan hutan alam dan wilayah kelola rakyat terlindungi, dia mengusulkan, moratorium berbasis capaian minimal 25. “Dengan tujuan membenahi carut marut tata kelola hutan dan sumber alam Indonesia,” katanya.

Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau menyebut, penguasaan tanah oleh APP mencapai 2,6 juta hektar di lima provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dari lima provinsi itu, sebagian besar perusahaan APP di Riau.

Penguasaan lahan mereka, katanya, tak dibarengi tanggungjawab terhadap konsesi. Hal ini dapat terlihat dari realisasi penanaman perusahaan perkebunan kayu ini dari 2011-2015, hanya mampu 2.115.924,27 hektar atau 45,97% dari rencana tanam, hingga mereka terus menyasar hutan alam.

“Juga kegagalan mereka dalam mengawasi konsesi terhadap kebakaran. Kegagalan mereka limpahkan biaya lingkungan kepada negara dan publik. Kami menduga kuat, ini modus landbanking bisnis kebun kayu,” katanya.

Riau, katanya, wilayah dengan banyak konsesi HTI. Dua grup besar seperti RAPP dan APP menguasai 2,4 juta hektar.

“Khusus Riau, sebagian besar HTI dikembangkan di lahan gambut, Sinar Mas atau APP itu 45% dari total pemasok dan lahan mereka sendiri itu di gambut. APRIL mendekati 70% HTI di lahan gambut.”

Riko mengatakan, saat pembalakan liar besar-besaran tahun 2008, hampir sebagian besar pemasok mereka jadi tersangka.  Pun saat dua Gubernur Riau dan bupati ditangkap KPK karena suap pemberian izin lahan, katanya, juga terkait perizinan perusahaan APP dan APRIL.

“Kalau kita flashback lagi tahun 2013-2015, sebagian besar perusahaan mereka itu tersangka kebakaran hutan dan lahan. Sebagian sudah ada dibekukan dan dicabut izin. Sebagian besar konflik mereka juga mereka akui.”

Untuk APP, katanya, mereka menganggap kemampuan dalam mengelola kawasan hanya 40% karena konflik dan berada di kawasan lindung.

“Ini belum berbicara mereka melakukan komitmen nol deforestasi dan pembenahan. Dalam kebijakan perundang-undangan Indonesia saja, seharusnya merka hanya boleh menanam 70% di hutan tanaman pokok. Fakta lapangan, hampir 100% mereka landclearing.”

Kalau disoroti lebih dalam, katanya, terkait berapa persen kawasan konservasi terjaga, berapa persen tanaman mereka bagikan kepada masyarakat, perbaikan rencana kerja usaha dan tata kelola, masih minim.

Penyelesaian konflik perusahaan dengan warga, katanya, juga sangat lamban. “Ini persoalan sehari-hari kita lihat di lapangan. Mereka sampaikan ada progres, tapi untuk penyelesaian tapal batas, misal, penyelesaian konflik, sekat kanal dijaga dalam laporan yang diterima, saya pikir komitmen mereka itu komitmen kosong saja.”

Riko mendorong, perusahaan taat peraturan perundang-undangan Indonesia dengan memperbaiki kinerja dan tanggungjawab mereka.

Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi juga bicara. Dia bilang, memasuki tahun kelima komitmen hutan APP-Sinar Mas Group, di lapangan menunjukkan, komitmen tak lebih hanyalah bagian dari pencitraan industri guna mendapatkan banyak sorotan dari masyarakat global.

“Tewasnya Indra Pelani, pemuda tani Tebo Jambi di konsesi PT WKS menunjukkan wajah militeristik industri kebun kayu ini. Hingga lima tahun komitmen FCP, konflik APP di Jambi tidak mampu selesai. Bagaimana APP bisa mengatakan mereka mampu selesaikan konflik jika bukan hanya klaim untuk menangguk profit lebih besar lagi?” katanya.

Dia mengatakan, APP komitmen tahun 2013 akan menghormati hak-hak masyarakat. Pada 2015, sekuriti di anak usaha mereka melakukan kekerasan dengan membunuh petani Indra.

Industri HTI, katanya, sangat mengganggu bahkan menghilangkan akses dan hak masyarakat mengelola hutan. Kondisi ini, katanya, memicu konflik berkepanjangan warga. Perlawanan masyarakat di Jambi, katanya, memuncak dari 2007.

“Bukan hanya akses juga menghilangkan areal pertanian masyarakat. Ditambah intimidasi, kriminalisasi, intimidasi bahkan pembunuhan.”

Rudiansyah sangsi dengan komitmen perusahaan ini karena fakta di lapangan, selama lima tahun berjalan belum terlihat ada perubahan baik.

“Dalam proses penyelesaian konflik, kesan kami,  mereka hanya kejar target untuk dialog. Ketika masuk dialog, mereka anggap itu sudah resolusi konflik.”

Faktanya, kata Rusdiansyah, implementasi sampai menjawab perjanjian itu tak pernah jalan baik. “Di sinilah kita lihat, yang dilakukan perusahaan-perusahaan HTI terutama APP, belum terimplementasi dengan baik.”

Salah satu komitmen, APP akan studi high carbon stock dan high conservation value (HCS/HCV) dengan mengutamakan free prior inform concent (FPIC). Namun, katanya, dokumen yang harusnya diberikan ke komunitas, di Jambi,  tak pernah terjadi.

“Artinya studi pihak ketiga itu punya pandangan perspektif mereka. Tidak pernah partisipatif.”

Selain itu, dari 38 anak perusahaan yang diteliti, katanya, APP memang tak lagi membuka lahan di hutan alam tetapi ada indikasi perusahaan akuisisi perusahaan lain yang di dalamnya ada kayu alam.

Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel mengatakan, selama lima tahun komitmen berjalan, tak ada perubahan mendasar dari korporasi untuk lebih maju pada upaya penghormatan HAM dan keberlanjutan lingkungan.

Dia contohkan, terkait putusan bersalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dalam kebakaran hutan dan lahan di Sumsel. Hingga kini,  meski sudah vonis bersalah, belum ada eksekusi terhadap BMH dan tak ada ketegasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Seharusnya, kata Hadi,  ketika ada putusan banding, lakukan evaluasi ke perusahaan-perusahaan, misal, tak lakukan penanaman kembali di lahan bekas terbakar.

“Temuan KLHK, lahan bekas terbakar ditanami kembali, lalu mereka cabut akasianya. Harusnya bukan akasia yang dicabut tetapi izin.”

Di Ogan Komering Ilir, Sumsel, katanya, sudah ada pabrik APP dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sudah tiga kali amandemen. Pada 2014, APP mengatakan kapasitas hanya 2 juta ton, berubah jadi 2,8 juta ton.

“Dengan pabrik ini sebenarnya salah satu periode penghancuran hutan Indonesia. Kalau dulu di Riau, Jambi. Sumsel, ini penghancuran hutan-hutan terakhir Indonesia.”

Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur mengatakan, penguasaan hutan di Kaltim oleh industri rakus lahan mengkhawatirkan. Dari 42 perusahaan HTI dengan luasan 1,590.184 hektar atau hampir setara Bangka Belitung, lebih 50% dikuasai dua grup APP dan APRIL.

“Situasi ini akibatkan konflik tenurial makin meluas. Komitmen presiden menyelesaikan konflik melalui skema kemitraan, bakal makin melanggengkan penguasaan hutan dan tanah,” katanya.

 

San Afri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, dan Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mencabut akasia PT BAP, anak usaha APP pada awal 2017. Foto: KLHK

 

Di Kaltim, katanya,  dominan tanah mineral. Dari 8,3 juta hektar hutan Kaltim, 5,9 juta hutan produksi baik HPH maupun HTI. Seluas 1,6 juta HTI hanya dikuasai 42 perusahaan, 50% atau 762.000 hektar dikuasai APP dan APRIL.

“Dalam dua tahun terakhir ini, APP lebih konsisten akuisisi beberapa perusahaan HTI mati suri di Kaltim, baik karena izin terlantar karena di hutan alam, terhambat konversi dan konflik. Ada 408 desa di 1,6 juta HTI dan ini cenderung meningkat,” katanya.

Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat mengatakan, pasca korsup KPK sektor kehutanan dan perkebunan, belum ada perbaikan dan penindakan untuk pelanggaran praktik pengelolaan industri kebun kayu di sana.

“Pemerintah harus segera review semua izin kebun kayu di Kalbar. KPK harus segera melanjutkan tanggungjawab melakukan penindakan atas praktik pengembangan industri kebun kayu dari penyalahgunaan wewenang pejabat negara, dan kerugian negara yang ditimbulkan.”

Pengembangan HTI, katanya, berorientasi pada peningkatan produktivitas lahan kritis. Riset di Kalbar menunjukkan, pengembangan HTI selalu berorientasi ke hutan alam yang masih baik.

“Izin HTI diberikan di hutan-hutan bagus dan wilayah-wilayah yang tak pernah mempedulikan gambut dan habitat satwa dilindungi. Tak pernah beri izin dalam konteks merehabilitasi lahan-lahan rusak,” katanya.

Di Kalbar,  katanya, ada 1,9 juta hektar HTI, penanaman baru 300.000-400.000 hektar.

“Kita sebut landbanking, dengan tujuan mengakumulasi lahan seluas-luasnya supaya bisa ke bank dapat kredit sebanyak mungkin, bukan buat nanam pohon,” katanya.

Praktik yang terjadi, ketika izin HTI dapat, kata Anton, mayoritas perusahaan langsung landclearing besar-besaran. Mereka memanen sebelum menanam. “Persemaian, pembibitan dan lain-lain itu proses ke sekian.”

Setelah bersih lahan, kayu dikumpulkan, bawa ke Sumatera. “Kalbar itu basis pengembangan raw material, pabrik di Prawang, Riau.”

APP, katanya, mau bangun dua pabrik kayu di Kalbar. Anton nilai itu ancaman serius. “Ketika tak ada mills saja, HTI ada 1,9 juta hektar. Bisa dibayangkan kalau dua mills di Kalbar, bagaimana?”

Dia mendesak, APP dan pemerintah transparan menjelaskan seputar pembangunan pabrik ini.

 

Apa kata APP?

APP mengeluarkan rilis menjawab pernyataan dari kalangan organisasi masyarakat sipil yang menyoroti lima tahun komitmen mereka. Dalam keterangan di website APP menyebutkan,  soal kebun kayu APP tak memenuhi pasokan berkelanjutan buat pabrik, mereka, sudah bikin proyeksi pasokan berkelanjutan kayu dengan dukungan The Trust Forest Trust dan Ata Marie dan menggunakan metodologi yang sudah terverifikasi oleh Rainforest Alliance.

Hasilnya, mereka dinyatakan punya cukup pasokan kayu. Mereka mengklaim, dalam lima tahun ini sudah mencapai hasil signifikan, terjadi peningkatan efisiensi, mengurangi kebocoran dan kehilangan kayu.

Mengenai, pantauan deforestasi masih terjadi pada konsesi pemasok, mereka mengakui. Bagi mereka, deforestasi di konsesi pemasok merupakan isu penting. Mereka menyatakan terbuka bekerja bersama dengan berbagai organisasi yang konsern buat perbaikan.

APP juga tetap membantah ada hubungan dengan Muara Sungai Landak. Taka da bisnis atau hubungan antar keduanya.

” Jika ada karyawan kami yang terlibat dalam bisnis lain, karena konflik kepentingan yang melanggar kode etik bisnis kami dapat terjadi, kami akan melakukan tindakan disipliner yang dapat mencakup pemutusan hubungan kerja.

Soal gagal memperlihatkan perkembangan dalam penyelesaian konflik sosial di konsesi pemasok, APP membenarkan meskipun tetap mengklaim kalau sampai akhir 2017, 43% konflik yang terindentifikasi di konsesi pemasok mereka sudah ada penyelesaian.

Mereka bilang, untuk penyelesaian konflik, perusahaan sudah membangun kelompok kerja multipihak   guna meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, pemerintah dan melibatkan konsultan sebagai mediator dalam proses resolusi konflik.

Perusahaan juga menjawab tudingan tak membuat perkembangan cukup dalam restorasi gambut. Mereka bilang, komitmen restorasi mereka sudah memenuhi aturan gambut pemerintah.

Mengenai hubungan ‘independen’ dengan para pemasok, katanya, APP, tak pernah berusaha menyesatkan para pemangku kepentingan soal hubungan dengan para pemasok. Pada tahun 2013-2014, perusahaan menetapkan penilaian independen terhadap hubungan APP, tak hanya pemasok, juga beberapa perusahaan lain yang diajukan LSM–yang diduga memiliki hubungan dengan APP.

Penilaian itu, tulis keterangan resmi, mencakup tak hanya hubungan kepemilikan, juga kemungkinan pengaruh bisnis dan ekonomi APP terhadap perusahaan-perusahaan itu.

APP menyatakan, tak ada keterkaitan kepemilikan dengan 29 pemasok pihak ketiga yang diumumkan dalam penilaian itu. Keduapuluh sembilan pemasok itu juga berkomitmen penuhi FCP.

Untuk pemantau independen, mereka bilang, sejak rilis komitmen konservasi hutan, APP berusaha melibatkan pemangku kepentingan, melalui penilaian independen atas kemajuan FCP oleh Rainforest Alliance. Juga konsultasi publik, diskusi kelompok terarah dan kelompok kerja–merupakan bagian dari proses pengembangan ISFMP (Integrated Sustainable Forest Management Plan). Lalu, ada Independent Observer (IO), dimana para pemangku kepentingan termasuk LSM diundang untuk mengamati pelaksanaan FCP.

 

Foto utama: Penggalian kanal gambut oleh PT Muara Sungai Landak yang bisa merusak ekosistem gambut dan melepaskan emisi karbon ke atmosfir. Lokasi: 109°17’26.84 E 0°8’27.92″ N, Foto EoF, 21 Nov 2015; bawah – Tumpukan kayu hutan alam yang ditebangi PT MSL sedang disusun memakai ekskavator. Foto EoF

 

Salah satu pemasok APP di Riau. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

Exit mobile version