Mongabay.co.id

Kala Degradasi Lingkungan Picu Bencana di Jawa Tengah

Banjir di Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini. Bencana seperti banjir dan longsor, salah satu penyebab lingkungan terus terdegradasi. Foto: BNPB

 

Sunaryo, warga Rembang, Jawa Tengah, hanya bisa pasrah, ketika banjir rob di Kaligawe, Semarang,  Selasa, (13/2/18), menyebabkan truknya terjebak macet hingga lima jam. Lokasi itu jadi langganan banjir bertahun-tahun, dan belum ada penyelesaian.

Pengamatan Mongabay, dari depan Terminal Terboyo hingga pertigaan Jalan Nasional Kecamatan Genuk, Semarang,  terendam banjir setinggi lutut orang dewasa.

“Bertahun tahun saya melintas jalan ini, ketika musim hujan selalu banjir. Semoga pemerintah mau bekerja menyelesaikan persoalan banjir,” katanya.

Tak hanya di pesisir Semarang, Brebes, Jateng, juga banjir. Sungai Pemali, meluap dan mengakibatkan dua titik tanggung jebol. Peristiwa itu menyebabkan dua warga tewas, ribuan rumah terendam. Sekitar 19.000 warga tinggal di pengungsian.

Zainal Arifin, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang kepada Mongabay mengatakan, bencana di berbagai daerah di Jateng salah satu karena penataan tata ruang provinsi tak berkelanjutan.

Pembangunan tak memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, hingga menyebabkan degradasi dan pelanggengan krisis ekologi.

“Bencana di Jateng, bukan hanya karena alam, juga degradasi lingkungan, jadi faktor utama bencana,” katanya.

Akhir 2017, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data dari 2.341 bencana di Indonesia, Jateng paling banyak, sekitar 600 kejadian.

Mayoritas bencana seperti banjir, tanah longsor ataupun kekeringan, katanya, tak sepenuhnya fenomena alam, namun memiliki relasi dengan aktivitas manusia yang menyebabkan kondisi lingkungan merosot. Eksploitasi lahan dan hutan, misal, menyebabkan wilayah-wilayah penyangga kehilangan pepohonan, termasuk kawasan karst jadi tambang. Belum lagi, alih fungsi lahan jadi perumahan dan lain-lain.

Ketika musim penghujan seperti saat ini, terjadi banjir dan tanah longsor. Kala kemarau, kekeringan melanda. “Ini menandakan krisis ekologi Jateng makin parah. Merosotnya lingkungan hidup jadi faktor utama membuat banyak bencana.”

Krisis ekologi, katanya, juga ditandai berbagai konflik lingkungan, seperti konflik eksploitasi karst di Pegunungan Karst Rembang, Pati dan Kebumen. Juga konflik pendirian pembangkit listrik batubara di Batang, Cilacap dan Jepara, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Baturraden di Banyumas dan berbagai konflik infrastruktur jalan tol, maupun pencemaran lingkungan di Sukoharjo.

Catatan akhir tahun LBH Semarang selama 2017, terdapat sedikitnya 34 kasus lingkungan di Jateng tersebar pada 18 kabupaten/kota. Jumlah ini terklasifikasi dari sembilan permasalahan utama, paling dominan pencemaran (28%), perizinan 19%, infrastruktur 18% dan alih fungsi kawasan 11%, total 76%.

Selain itu, pemerintah kabupaten/kota bertindak sebagai aktor kasus lingkungan pada 26 kasus, perusahaan (24), dan pemerintah provinsi (8). Data dan fakta ini, katanya, menyiratkan ada yang salah dalam penataan ruang, fungsi pengawasan dan penegakan hukum lemah, bahkan ketegasan pemerintah lemah terhadap perusakan lingkungan.

“Pemerintah dari pusat hingga daerah cenderung tak tegas, bahkan membela dan membiarkan perusakan lingkungan. Bahkan pengawasan dan penegakan hukum tak berjalan,” ucap Zainal.

Pada 2018, katanya, dua legislasi daerah prioritas yaitu revisi perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan perda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Jateng, sedang dikebut. Jadi, katanya, sudah seharusnya pemerintah menunjukkan keseriusan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Di tengah krisis ekologi dan potensi konflik besar ini, katanya, saatnya Pemerintah Jateng, bersama-sama mengatur penataan ruang lebih baik dan cermat.

“Penataan ruang berkelanjutan seharusnya secara adil, terbuka, transparan, melibatkan semua peangku kewenangan, terutama masyarakat yang akan menerima dampak langsung dari pengaturan jangka panjang itu,” katanya.

Terpisah, Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, data nasional, dari Januari-awal Februari 2018, ada 275 bencana di wilayah Indonesia. Ada 30 orang meninggal dunia. Dari 275 bencana, ada 66 orang luka, 153.183 mengungsi, 10.254 rumah rusak.

“Dari wal 2018, 1.315 rumah rusak berat, 2.801 rusak sedang dan 6.138 rusak ringan dan 92 bangunan fasilitas umum rusak,” katanya.

 

 

Dia bilang, longsor paling banyak menimbulkan korban meninggal dunia. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi,  musim hujan berlangsung hingga Maret. Februari jadi puncak penghujan.

Sutopo mengimbau, masyarakat waspada bahaya longsor, terutama di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di Jateng, katanya, wilayah rentan bencana yakni di Banjarnegara, Cilacap, Purwokerto, Purworejo, Pekalongan, Temanggung, Semarang, Karanganyar, Tegal, Wonogiri, Magelang, Purbalingga dan Boyolali.

Untuk potensi longsor di Pulau Jawa, juga meluas, di daerah-daerah topografi pegunungan, perbukitan dan lereng-lereng tebing yang di bawahnya banyak permukiman. Wilayah itu, katanya, memanjang di Jawa bagian tengah hingga selatan.

Sutopo meminta, masyarakat mengenali lingkungan sekitar dan mengetahui tanda-tanda akan longsor. Tanda-tanda itu, katanya, antara lain ada retakan tanah, amblesan tanah, mata air keluar di lereng, air sumur dan mata air tiba-tiba keruh. Lalu, pohon dan tiang listrik miring, tembok bangunan dan fondasi tiba-tiba retak dan lain-lain.

“Kita sama-sama waspada dan mengenali dan menjaga kualitas lingkungan sekitar,” kata Sutopo.

Sarwa Pramana, Kepala Pelaksana Harian BPBD Jateng, mengatakan, hampir semua daerah di Jateng rawan bencana. Ada lima daerah kabupaten dan kota rawan bencana, namun paling rawan Cilacap.

Di sana, katanya,  ada gempa bumi, tsunami, puting beliung, banjir, dan tanah longsor. Daerah rawan bencana lain, adalah Kebumen, disusul Wonosobo, Banjarnegara, dan Karanganyar.

Selama 2017, katanya, di Jateng,  ada 2.463 bencana dengan kerugian Rp87,1 triliun.

“Untuk 2018, bencana besar yakni di Purworejo, Wonosobo, dan Wonoyoso,  serta Banjarnegara.”

Adapun data Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, bencana di Jateng hingga Senin, (12/2/18), tercatat 45 kejadian, yakni, banjir 28 kali, longsor 15 kali dan banjir bandang dua kali.

Foto utama: Banjir di Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini. Bencana seperti banjir dan longsor, salah satu penyebab lingkungan terus terdegradasi. Foto: BNPB

 

 

Exit mobile version