Mongabay.co.id

Koneksi Bisnis Lemah Sebabkan Industri Perikanan dan Kelautan Anjlok?

Peningkatan ekonomi nasional dari sektor kelautan dan perikanan belum maksimal tercapai dalam empat tahun terakhir. Ada hambatan seperti koneksi bisnis dari sektor tersebut belum terjalin dengan kuat. Bahkan, koneksi bisnis yang ada saat ini masih lemah, walau pasokan ikan sudah tersedia dengan melimpah.

Fakta tersebut diakui Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, pekan lalu. Berbagai upaya mewujudkan peningkatan ekonomi dari sektor kelautan dan perikanan sudah dilakukan semaksimal mungkin dalam empat tahun. Salah satu simpulnya, adalah dengan merebut kembali kedaulatan laut Indonesia dari orang asing.

“Ikan sudah banyak, keluhannya orang yang nangkep ikan susah cari pasar. Sedangkan di satu posisi kita belum ada bahan baku. Kalau kapal asing masih jalan kita tidak punya bahan baku,” ungkapnya.

Mengingat masih ada kelemahan yang signifikan, Susi berharap Pemerintah, badan usaha milik Negara (BUMN), dan stakeholder kelautan dan perikanan untuk bisa melakukan koordinasi sebaik mungkin dalam bisnis dan investasi sektor tersebut. Koordinasi menjadi sangat penting, karena itu akan bisa mewujudkan akselerasi bisnis dan investasi.

baca : Amanat Inpres : Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Harus Segera Dimulai. Ada Masalah Apa?  

 

Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susi, pihak yang perlu segera melakukan akselerasi itu, diantaranya adalah BUMN seperti PT Perikanan Nusantara (Perinus) dan Perum Perindo. Kedua BUMN itu, diharapkan bisa segera meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia yang bergerak dalam sektor kelautan dan perikanan.

Tak hanya dua BUMN perikanan, Susi menyebut, demi keberlangsungan bisnis dan investasi sektor perikanan dan kelautan, dia juga meminta bantuan kepada PT Pelni untuk bisa menyediakan transportasi pengangkutan dan pengiriman produk kelautan dan perikanan di seluruh Indonesia. Terutama untuk pulau-pulau terluar di Indonesia.

“Seminggu tiga kali, paling tidak dari Merauke atau dari Timika (Papua), (kapal) Pelni selalu kosong pulangnya. Sementara kapal-kapal ikan di Timika dan Merauke nungguin dua minggu sekali untuk angkut ikannya,” jelasnya.

Dengan adanya rute yang bisa membantu pengangkutan dari pulau ke pulau, akan memangkas biaya dan waktu. Untuk itu, dia meminta Pelni untuk membantu optimalisasi pemanfaatan fasilitas transportasi milik Negara untuk pengangkutan produk kelautan dan perikanan.

Melalui kemudahan yang diharapkan bisa diberikan Pelni dan BUMN lain, Susi berharap, bisnis dan investasi di Indonesia bisa terus membaik. Tetapi, agar bisa berjalan selaras, dia meminta semua pihak terkait untuk melakukan perbaikan dalam menggenjot perekonomian di sektor yang dipimpinnya itu.

baca : Pembangunan Industri Perikanan Bakal Mandek Tahun Depan, Benarkah?

 

Kapal-kapal nelayan berukuran 2 sampai 5 GT di Solor Timur, yang biasa dipergunakan untuk pukat dan memancing ikan cakalang dan tuna, namun juga sering digunakan untuk pemboman karang. Foto: Ebed de Rosary

 

Hal lain yang disoroti Susi dan harus diperbaiki, seperti memperbaiki sistem logistik dan transportasi produk perikanan, mengubah pola pikir pengusaha yang berorientasi pada usaha perikanan yang berkelanjutan, menyiapkan dukungan permodalan bagi nelayan dengan bantuan perbankan, dan menyiapkan pengusaha perikanan yang inovatif dan mampu mengolah diversifikasi produk perikanan.

baca : Ketelusuran Data dan Konsep Berkelanjutan Harus Ada dalam Industri Perikanan, Seperti Apa?

 

Diversifikasi Usaha

Salah satu lini bisnis dan investasi kelautan dan perikanan yang ada di Indonesia, adalah industri surimi yang saat ini sedang mengalami penurunan akibat sulitnya pengusaha mendapatkan bahan baku ikan. Industri tersebut, kondisinya saat ini sedang sekarat, karena pasokan ikan yang dibutuhkan tidak kunjung ada, walaupun hasil tangkapan di laut melimpah.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengupayakan diversifikasi usaha perikanan. Agar mendorong industri surimi bisa mendapatkan pasokan bahan baku dari banyak sumber dan tidak tergantung pada sumber tertentu saja.

“Ketergantungan tersebut, yang selama beberapa tahun terakhir ini yang membuat industri surimi menurun tajam,” kata Susi.

baca : Strategi Apa untuk Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya di 2018?

 

Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja mengatakan, karakter perikanan Indonesia sangatlah unik dengan luas Laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi yang terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu Papua yang secara geografis melekat pada Benua Australia; bagian barat Indonesia hingga Kalimantan yang secara geografis melekat dengan benua Asia; dan bagian Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masuk pada samudera lepas.

Menurut Sjarief, laut Indonesia semakin unik, karena tiga bagian laut yang ada juga memiliki spesies ikan yang berbeda-beda. Di bagian barat contohnya, ditemukan jenis ikan kerapu, kakap merah, lobster, udang, dan sedikit ikan kembung, ikan layang, dan tongkol. Sedangkan, katanya, di perairan bagian Papua terdapat spesies seperti cumi, kakap merah, ikan gulama, udang, dan beberapa spesies lainnya.

“Adapun di bagian samudera lepas hidup migratory fish, seperti tuna, tongkol, dan cakalang,” jelas dia.

Akan tetapi, Sjarief menambahkan, keunikan laut Indonesia juga semakin lengkap, karena berbagai spesies ikan yang bisa ditemukan di berbagai perairan, jumlahnya masing-masing masih terbatas. Oleh itu, jika ada industri perikanan yang mengandalkan satu spesies ikan saja dan bersifat besar, maka itu dipastikan tidak akan bisa bertahan lama.

Fakta tersebut, kata Sjarief, kemudian dirasakan oleh industri surimi yang masih mengandalkan ikan kurisi, ikan kuniran, ikan mata goyang, dan atau ikan-ikan tertentu lainnya untuk memenuhi produksi. Di sisi lain, walau bahan baku untuk surimi masih terbatas, kecepatan produksinya justru terpantau lebih cepat dibandingkan dengan kecepatan regenerasi ikan yang digunakan sebagai bahan baku.

“Sehingga dalam waktu dekat industri akan kesulitan menemukan bahan baku,” tandas dia.

baca : Perikanan Berkelanjutan, Upaya Selamatkan Sumber Daya Laut Nasional

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Agar tidak terpuruk lagi, Sjarief meminta kepada para pengusaha surimi untuk segera membuat industri perikanan yang berbasis pada spesies lokal yang pasokannya di alam masih melimpah. Jangan sampai, industri surimi meniru industri serupa di negara seperti Argentina, Cile, Amerika Serikat, dan Kanada. Di negara-negara tersebut, kata dia, spesies ikan seperti Anchovy atau Alaska Pollock jumlahnya masih jutaan ton.

“Negara kita tidak seperti itu, kita memiliki banyak jenis ikan tetapi volumenya sedikit,” tambah dia.

Tidak cukup disitu, Sjarief mengungkapkan, agar industri surimi bisa bertahan di industri perikanan dan kelautan nasional, maka surimi tidak bisa hidup sendiri. Menurutnya, industri surimi harus dikombinasikan dengan jenis usaha perikanan lainnya seperti frozen seafood, fillet, loin (tuna) ataupun ikan segar.

“Kita harus bisa multiproduk, multispesies dengan added value (nilai tambah) yang tinggi. Kalau hanya mengandalkan surimi, maka populasi ikan itu sendiri akan lebih cepat menipis,” tegas dia.

 

Ekspansi Usaha

Lebih lanjut Sjarief memperkirakan, jika diversifikasi usaha perikanan tangkap tidak segera dilakukan, industri surimi tak akan bertahan lama. Sementara, kalaupun pengusaha terus mengeksploitasi perairan yang menjadi tempat berkumpulnya ikan yang dibutuhkan, padahal jumlahnya semakin sedikit, maka itu akan merusak perairan tersebut.

Untuk setiap pabrik surimi yang beroperasi di Indonesia, Sjarief menyebutkan, sedikitnya dibutuhkan 1.500 ton ikan dalam sebulan. Jika jumlah perusahaan yang beroperasi mencapai puluhan, maka bisa dipastikan kebutuhan ikan akan meningkat berkali-kali lipat lagi. Jadi, cepat atau lambat, jika fokus bisnisnya masih seperti itu, maka ikan yang dibutuhkan dipastikan akan hilang di laut.

“Jadi kita akan mendorong surimi untuk menurunkan kapasitasnya dan beralih ke unit usaha baru. Untuk itu, pemerintah menawarkan kerja sama untuk mulai membuka unit baru, tidak di Jawa, tetapi di sentra-sentra perikanan kita,” ungkap dia.

Adapun, menurut Sjarief, lokasi yang ditawarkan Pemerintah di antaranya ada di Merauke (Papua), Dobo (Kepulauan Aru, Maluku), Tual (Maluku), Saumlaki (Maluku), Timika (Papua), Sebatik (Kalimantan Utara), dan Natuna (Kepulauan Riau).

“Kita siapkan armada kapal angkut dari Merauke ke Jawa (untuk mengangkut produk). Dengan begini, nelayan-nelayan yang sudah berpindah ke timur (Indonesia) juga tak perlu khawatir siapa yang akan membeli ikan tangkapan mereka,” pungkas dia.

 

Exit mobile version