Mongabay.co.id

Warga Protes Penambangan Emas Ilegal di Korowai

Tampak hutan dibuka untuk membuat landasan heli. Heli untuk membawa orang dan barang keperluan tambang emas di hutan Korowai ini. Foto: dokumen warga dari Facebook

 

 

Warga Suku Una, Kopkaka, Arimtab, Mamkor dan Momuna (Suku Ukam), menolak kehadiran para penambang emas di Korowai, Papua. Demikian disampaikan Sekjen Ikatan Suku Ukam,  Timeus Aruman melalui pernyataan sikap awal Februari lalu di Dekai, Yahukimo.

Pernyataan sikap itu ditandatagani empat perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Suku Ukam, yakni, tokoh masyarakat Yeseya Bitibalyo; pemilik ulayat, Yusak Weyo; Sekjen  IS-Ukam, Timeus Aruman dan tokoh intelektual, Panuel Maling.

Sikap warga ini keluar setelah pada Selasa 30 Januari 2018, warga menyita peralatan pendulangan dan bahan makanan, yang hendak diangkut dengan helikopter dari Bandara Bandara Nop Goliat Dekai menuju Kampung Kawe, Distrik Awinbon, Pegunungan Bintang.

Adapun letak pendulangan emas yang ditolak warga antara lain di Kampung Kawe Distrik Awimbon, Pegunungan Bintang dan Kampung Kotaim Distrik Seradala,  Kabupaten Yahukimo. Keduanya ada di tepian Kali (Sungai) Dairem dan Be.

Warga menduga, dalang di balik pendulangan emas ini adalah pihak yang mengerjakan jalan trans Papua. “Yang menyebarkan informasi mengenai ada emas di Tepi Sungai Dairem dan Be yang mengerjakan jalan Trans Papua Oksibil-Dekai,”  kata Panuel Maling, perwakilan warga adat.

Bos para pendulang disebutkan menjanjikan uang Rp100 juta dan enam rumah. Uang sudah diterima beberapa orang yang mengaku pemilik ulayat. “Hal-hal seperti ini menimbulkan konflik horizontal di masyarakat,” kata Panuel.

Berita operasi pendulangan emas jadi viral di media sosial di Papua, mengingat sebelumnya Korowai hanya dikenal sebagai pedalaman dengan akses transportasi, pendidikan dan kesehatan sangat sulit. Publik sering menyebut sebagai wilayah Korowai, menurut administrasi pemerintahan berada di antara beberapa kabupaten seperti Yahukimo, Asmat, Boven Digul dan Pegunungan Bintang.

Pendeta Trevor Christian Johnson dari Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP) yang melakukan pelayaanan di Korowai,  pada 29 Januari 2018 mempublikasi foto-foto di media sosial soal aktivitas pendulang emas ini.

Dalam foto-foto itu tampak sejumlah pendulang sedang bekerja, kamp para pekerja hingga helikopter yang hendak mendarat di landasan kayu di tengan hutan.

“Ada pencuri emas turun dengan heli (hevilift) di dalam hutan rimba Korowai di kepala Sungai Deiram Hitam. Mereka mencoba mengajak warga bekerja sama lalu mereka menyerahkan hutan tanah dibongkar untuk penambangan liar.” Begitu tulisan di akun media sosial itu.

Yan Akobiarek, dari Komunitas Peduli Kemanusiaan Daerah Terpencil (Kopkedat) juga memposting berita sama.

“Mereka datang tidak tau dari mana untuk curi mas Korowai. Hutan rimba tapi kamu memang jago” tulisnya.

Dalam pernyataan sikap, warga meminta para pendulang meninggalkan lokasi, dan memenuhi janji membangun rumah karena sebagian emas sudah diambil.

Heveilift Aviator Indonesia, mereka minta berhenti melayani transportasi para pendulang dan fokus pelayanan kemanusiaan. Warga juga meminta, pemilik ulayat mendapatkan hak kelola tambang mereka sendiri.

 

Tampak pipa-pipa dan galian dari aktivitas tambang emas di hutan Korowai. Foto: dukumen warga dari Facebook

 

Sudah masuk konsesi?

Frets James Boray, Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Papua memastikan penambangan di Korowai ini ilegal. “Namanya hak ulayat, pasti ada masyarakatnya. Jika ada yang ingin masuk dan menambang, tetap harus ada izin pemerintah,” katanya.

Pada 31 Oktober 2017, baru penetapan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3675 K/30/MEM/2017 tentang penetapan wilayah tambang Pulau Papua. Dalam kepmen itu, ditetapkan wilayah pertambangan Papua antara lain, wilayah usaha pertambangan, pertambangan rakyat, pencadangan negara dan wilayah usaha pertambangan khusus.

“Katakan itu disebut pertambangan rakyat, mana wilayahnya? Kita sudah tetapkan pertambangan rakyat ada beberapa lokasi. Kalau di luar penetapan, itu melanggar aturan.”

Dia bilang, walau ada potensi namun jika di luar penetapan maka tak bisa keluar izin. Pemerintah, katanya, tak bisa asal-asalan menetapkan wilayah tambang tetapi harus mempertimbangkan lingkungan dan tata ruang.

Penambangan ilegal seperti di Korowai, katanya, bisa kena sanksi denda Rp100 miliar dan kurungan 10 tahun.

Saat ini, Pemerintah Papua, meliputi Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu, dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Polda Papua menyiapkan tim terpadu menangani pertambangan ilegal di Papua.

Namun, kata Frets, wilayah ini sudah masuk konsesi perusahaan migas PT. ConocoPhillips. Dikutip dari Tempo.co, perusahaan ini menguasai blok Warim, hutan di Boven Digoel dan Pegunungan Bintang.

Kontrak bagi hasil dengan Conoco Phillips ditandatangani pada 1987 sempat tak tergarap sejak 1997 karena sebagian masuk Taman Nasional Lorentz. Pada 2013, pemerintah mengamandemen kontrak itu.

Informasi mengenai areal ini sebagai konsesi ConocoPhillips juga diperkuat peta konsesi matapapua.org. Web yang khusus menyajikan peta lingkungan dan keadilan sosial di Papua. Data di laman ini menunjukkan, wilayah ini konsesi minyak dan gas ConocoPhillips yang disebut ConocoPhillips Warim.

 

Usul tambang rakyat?

 Soal keinginan warga mendapatkan hak kelola tambang sendiri, John Gobai Sekretaris II Dewan Adat Papua juga Koordinator Asosiasi Pertambangan Rakyat Tanah Papua memberikan pendapat.

“Sesungguhnya ada regulasi terkait izin penambangan rakyat. Jika masyarakat memahami bagaimana menambang dan jadi sumber pendapatan pribadi maupun kelompok, alangkah baik dibuat pemetaan wilayah oleh bupati untuk diusulkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar jadi wilayah pertambangan rakyat,” katanya.

Dia bilang, tambang rakyat bisa terkelola baik kalau berjalan sesuai aturan, pakai teknik tambang yang baik dan diawasi inspektur tambang.

“Kadang karena tak diawasi, tidak dibina, itu yang terjadi kemudian membabat hutan, merusak fasiltas umum, kedalaman melebihi ketentuan,”  katanya.

Dalam UU 23/2014, yang berwenang mengeluarkan izin pertambangan adalah gubernur setelah penetapan wilayah tambang oleh Menteri ESDM. Penetapan wilayah tambang Papua pada 2017 itu, katanya, bisa dilakukan peninjauan satu kali dalam lima tahun.

Izin pertambangan rakyat dan penetapan wilayah pertambangan, katanya,  dinilai memberi kesempatan kepada masyarakat adat dan pengusaha lokal Papua mengelola kekayaan alam mereka.

Menurut dia, berbagai hal harus dipersiapkan antara lain pemetaan wilayah adat– untuk memperjelas status kepemilikan tanah–hingga pendidikan pertambangan bagi rakyat.

 

Foto utama: Tampak hutan dibuka untuk membuat landasan heli. Heli untuk membawa orang dan barang keperluan tambang emas di hutan Korowai ini. Foto: dokumen warga dari Facebook.

 

 

Exit mobile version