Mongabay.co.id

Ketika Pemerintah Setop Sementara Pembangunan Proyek Infrastruktur

Foto: Indra NUgraha/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah menghentikan sementara seluruh pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia sejak 21 Februari 2018 sembari menanti evaluasi dari Komite Keselamatan Konstruksi (KKK). Ambruknya sejumlah pembangunan infrastruktur diikuti kecelakaan kerja konstruksi menimbulkan pertanyaan soal kelayakan proyek terhadap keamanan dan keselamatan lingkungan.

Ada 36 proyek pengerjaan konstruksi jalan layang moratorium dan menanti evaluasi KKK. Proyek terdiri dari 32 jalan tol, tiga konstruksi kereta api ringan (light rapid transit/LRT), dan satu kereta api dwiganda (double double track/DDT).

“Sejak itu pula, Komite Keselamatan Konstruksi melakukan evaluasi dengan delapan kriteria ketat atas seluruh proyek,” kata Presiden Joko Widodo dalam laman media sosial, pekan lalu.

Delapan kriteria sistem layang yang dievaluasi yakni,  yang pakai balok atau gelagar satu beton langsing, pakai sistem hanging scaffolding, sistem balance cantilever precast (in-situ), gunakan sistem launcher beam/frame. Lalu, yang punyai massa (tonase) besar, rasio kapasitas angkat terhadap beban kurang dari lima, miliki faktor keamanan sistem bekisting kurang dari empat dan gunakan sistem kabel.

Sedangkan, delapan kriteria evaluasi yakni desain dapat dibangun dengan selamat, memenuhi ketentuan kesehatan, dan keselamatan kerja (K3) konstruksi. Juga, tenaga kerja kompeten dan bersertifikat, peralatan dan teknologi memenuhi standar kelaikan, material memenuhi standar mutu sesuai SNI, melaksanakan prosedur operasi standar serta ada konsultan pengawas.

“Sehari setelah penghentian dan evaluasi KKK bersama Komisi Keamanan Jembatan Panjang dan Terowongan Jalan, satu pekerjaan konstruksi layang sudah bisa dilanjutkan, yakni Jembatan Holtekamp di Jayapura, Papua,” katanya.

Meski demikian, tak semua proyek sepenuhnya setop. Pekerjaan konstruksi bukan layang seperti pengaspalan, rigid pavement, pembersihan lapangan, dan pembangunan infrastruktur lain terus lanjut.

Evaluasi,  kata presiden, tak akan menghambat pekerjaan konstruksi di lapangan.

“Proyek yang sudah memenuhi kriteria akan lanjut dengan pemeriksaan dan keluar rekomendasi,” kata Ketua KKK, Syarif Burhanuddin.

Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, keputusan lanjut atau tidak pekerjaan konstruksi layang bergantung pada hasil evaluasi project by project dan tak harus bersamaan.

Dalam catatan Kementerian PUPR, seperti dipaparkan Ketua KKK dalam Forum Merdeka Barat 9, minggu lalu, setidaknya ada 14 kecelakaan konstruksi sejak 2017 hingga awal 2018.

Kecelakaan ini, katanya, belum termasuk longsor karena tembok underpass (terowongan) jalan perimeter selatan Bandara Soekarno Hatta ambrol sepanjang 20 meter dan menimpa mobil. Akibat peristiwa ini satu orang meninggal dunia dan satu luka berat.

“Istilah kita ada dua kecelakaan konstruksi dan gagal bangunan,” kata Priyo Susilo,  Ketua Tim Ahli Struktur dan Konstruksi Kementerian PUPR, dalam sebuah talkshow Sabtu lalu.

 

Tol Bekasi, Cawang, Kampung Melayu, yang roboh. Kecelakaan berulang proyek infrastruktur membuat pemerintah evaluasi dan setop sementara. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa peristiwa yang menjadi sorotan publik dua bulan terakhir, seperti cetakan konstruksi Tol Becakayu melorot menyebabkan tujuh pekerja luka berat, termasuk kecelakaan konstruksi.

“Kalau gagal konstruksi itu bangunan sudah selesai lalu rusak. Itu bisa diancam pidana cukup serius sampai lima tahun penjara,” katanya.

Namun, dia tak menampik berbagai kecelakaan konstruksi yang terjadi sejak September tahun lalu ini karena abai, baik kontraktor maupun pemerintah dalam pengawasan kerja. Hal ini terbukti dengan data kecelakaan sebagian besar pada dini hari.

Priyo juga mengakui, Kementerian PUPR kekurangan tenaga ahli terutama dalam proyek konstruksi layang.

“Saya ini sudah mau pensiun tapi pengganti saya masih jauh eselonnya di bawah saya. Sepuluh tahun terakhir kita sepi proyek infrastruktur. Jadi jujur saja, kita tidak prepare tenaga ahli,” kata Priyo

 

Percepatan dan kelayakan

Dalam Peraturan Presiden No 58/2017 tentang perubahan atas Perpres Nomor 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) terdapat 245 proyek dan dua program, kelistrikan dan program industri pesawat terbang, yang harus selesai.

Untuk keseluruhan PSN, perlu estimasi pembiayaan Rp4.197 triliun dengan sumber dana APBN Rp525 triliun, BUMN atau BUMD Rp1.258 triliun, dan swasta Rp2.414 triliun. Presiden bahkan membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Percepatan ini dinilai langkah yang kurang tepat.

Manlian Ronald Simanjuntak,  Guru Besar Manajemen Konstruksi Univeritas Pelita Harapan (UPH) mengkritisi istilah percepatan dalam proyek konstruksi. Dalam perspektif akademik, katanya, proyek konstruksi tak mengenal istilah percepatan apalagi kejar tayang.

“Semua harus berbasis perencanaan dan risk management,” katanya.

Sebelum pekerjaan konstruksi jalan, mestinya sudah ada studi kelayakan yang memuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Dengan basis risiko, alih-alih bencana, kata Manlian, jika terjadi kecelakaan kerja sudah ada prosedur penangangan. Untuk itu, tak perlu moratorium atau penghentian sementara proyek.

Moratoroium dan evaluasi seluruh proyek justru menimbulkan pertanyaan terkait studi kelayakan proyek konstruksi.

Harun Alrasyid Lubis, Ketua Masyarakat Konstruksi Indonesia, mengatakan, studi kelayakan dan amdal mestinya terpublikasi dan ada ruang kepada masyarakat untuk memberikan masukan dengan cepat terutama terhadap dampak lingkungan yang mungkin terjadi.

“Misal tol Depok-Antasari itu terlalu dekat dengan hunian,” katanya.

Dia menilai, aturan percepatan proyek infrastruktur diduga jadi salah satu faktor penyebab kecelakaan kerja.

“Kalau studi kelayakan dan pengerjaan benar harusnya sih nggak ambruk. Atau dokumen (amdal) sudah benar tapi pengerjaan nggak benar. Kebanyakan karena buru-buru. Perpres percepatan yang mem-by pass amdal itu bisa menyebabkan kecelakaan karena amdal berjalan bersamaan dengan pengerjaan proyek,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Perkotaan Walhi Nasional.

Demi keselamatan lingkungan, Walhi berharap moratorium dan evaluasi tidak hanya untuk memeriksa kesalahan atau kekeliruan konstruksi, tapi menyeluruh termasuk terkait proyek infrastruktur yang sangat banyak di Indonesia.

“Mungkin kali ini pada proyek-proyek elevated (layang-red), tapi harus diantisipasi juga proyek lain,” kata Manajer Penanganan Kasus dan Respon Darurat Walhi Nasional, Edo Rakhman.

 

Pengawasan lemah

Kecelakaan kerja konstruksi beruntun, katanya, menunjukkan pengawasan konstruksi infrastruktur belum dianggap penting oleh pemerintah. Pengawasan,  seharusnya sejak pembuatan konstruksi di atas kertas, pembangunan hingga operasional.

 

Garis polisi dipasang di sekitar tiang proyek tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu yang ambruk. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Pengawasan ini, kata Edo, mesti independen dan transparan karena proyek ini untuk fasilitas publik.

Selain itu, katanya, dalam konteks pembiayaan pemerintah harus tegas mengevaluasi keseluruhan karena yang digunakan anggaran negara atau utang luar negeri dalam bentuk pinjaman.

“Tentu setiap kejadian akan berdampak pada kerugian biaya, itu rakyat yang menanggung.”

Kepada multilateral development banks (MDBs) yang memberikan pinjaman untuk infrastruktur di Indonesia, katanya, juga harus menghentikan atau menarik pinjaman sebelum ada kepastian penanganan kasus-kasus ini.

Jika perlu, katanya, KPK  juga turun tangan memastikan kerugian negara dan memastikan apakah peristiwa ini murni force majeur atau kesalahan konstruksi.

“Tentu harus ditinjau izin lingkungan, dalam hal ini dokumen amdal proyek itu. Dokumen amdal bisa jadi titik awal atau pintu masuk evaluasi proyek. Risiko lingkungan hidup dan sosial tentu yang utama.”

Namun Tim Ahli Konstruksi KPUPR Priyo Susilo enggan kecelakaan kerja ini dikaitkan dengan studi kelayakan maupun amdal. “Mungkin ada hubungannya tapi tidak linier dengan kecelakaan kerja.”

Yang sering terjadi, katanya, kontraktor mengabaikan kaidah-kaidah keselamatan. “Misal alat-alat yang tidak disimpan saat hujan, licin, dan jatuh. Ini sering terjadi,” katanya.

 

 

 

Mal administrasi?

Sementara itu, Alvien Lie Ling Piao, anggota Komisi Ombudsman, melihat,  peristiwa kecelakaan kerja proyek konstruksi infrastruktur beruntun ini berpotensi terjadi mal administrasi mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.

Kondisi ini, katanya, mengkhawatirkan, karena masyarakat umum kelak akan menerima dan menggunakan proyek ini setelah beroperasi.

“Tidak hanya yang menggunakan, sepanjang jalan rel LRT itu misal banyak penduduk akan selalu khawatir bagaimana jika itu ambruk dan menjatuhi mereka,” kata Alvien.

Pemerintah, dalam hal ini Menteri BUMN, kata Alvien perlu melihat kembali berbagai regulasi termasuk perpres pengadaan barang yang mengamanatkan setiap BUMN maksimal hanya boleh mengerjakan enam proyek.

“Ini melampaui kapasitas, menunjuk sumber daya manusia seadanya tanpa kompetensi dan kualitas, alat berat seadanya.”

Lantas siapa yang bertanggungjawab? Alvien mengatakan, perlu evaluasi juga fungsi pengawasan oleh konsultan. “KPUPR yang menunjuk konsultan untuk mengawasi ikut bertanggungjawab,” katanya.

Tanggung jawab ini bisa dengan mengungkapkan ke pubik proses pemilihan konsultan dalam pengawasan konstruksi.

“Apakah memenuhi persyaratan? Kalau tidak,  ya kemungkinan ada mal adminitrasi yang juga mengabaikan keselamatan masyarakat luas.”

 

Foto utama: Tiang proyek Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) jatuh. Tujuh pekerja terluka parah. Pemerintahpun menyetop sementara pembangunan proyek infrastruktur. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Proyek Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu). Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version