Mongabay.co.id

Tri Mumpuni, Terangkan Daerah Terpencil dengan Energi Air dan Angin

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

Namanya Tri Mumpuni Wiyatno. Perempuan kelahiran Semarang 53 tahun lalu ini tak kenal lelah mendatangi dan membangun energi terbarukan di desa-desa terpencil dan terluar di pelosok negeri ini. Bersama suaminya,  Iskandar Budisaroso Kuntoadji, keduanya mendedikasikan hidup membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat melalui energi terbarukan mikrohidro (turbin air) dan turbin angin.

Melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) membarikan harapan baru bagi wilayah-wilayah terpencil di Indonesia, termasuk satu desa di Filipina.

Dengan program Patriot Negeri, Puni, sapaan akrabnya, mengirim anak-anak muda dengan berbagai latar pendidikan dari perguruan tinggi berbaur bersama warga, mendampingi, menyusun dan membangun kemandirian listrik ramah lingkungan.

Selama ini, katanya,  listrik hanya dipahami sebagai infrastruktur. Itu membuat warga konsumtif. Jadwal kumpul-kumpul bisa berubah karena telenovela di televisi.

Kerja-kerja sosial dia berbuah pujian, antara lain dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan beragam penghargaan bergengsi dunia.

Pada 2005, dia didampuk sebagai Climate Hero dari World Wildlife Fund (WWF) for Nature dan Ramon Magsaysay Award pada 2011.

Cita-cita Puni dan suami, ingin ikut berkontribusi membangun negeri lewat kemandirian energi yang bersumber dari alam. Prinsip dia, ketika alam memberi, sudah wajib manusia menjaga kelestariannya.

Pada akhir Januari 2018, dia dan suami sedang bersama pegiat desa dan benih lokal di Desa Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta.

Mongabay berkesempatan menggali banyak hal dari Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) ini.  Berikut petikan wawancaranya:

 

Apa latar belakang Anda membangun listrik dari Mikrohidro di desa terpencil dan pelosok-pelosok negeri?

Saya anak ketiga dari delapan bersaudara sejak kecil, ketika tinggal di Semarang, Jawa Tengah, terbiasa melihat dan membantu ibu aktif dalam kegiatan sosial. Rumah kami jadi tempat posyandu. Ibu mengajar Kejar Paket A dan B. Jadi, saya biasa ikut menimbang anak-anak balita.

Keluarga adalah sekolah yang tidak pernah berhenti. Saya belajar dari bapak dan ibu. Ayah mengajari berbagi, ibu mengajari memberi. Berbagi,  artinya membagi berapapun yang dipunyai untuk orang lain yang membutuhkan, pada saat yang tepat.

Kala kelas IV SD,  saya rajin ikut ibu keliling ke kampung-kampung mengobati orang terkena penyakit koreng. Pengalaman itu memperlihatkan kepada saya, dari proses hubungan manusia itu uang bukan segala-galanya.

 

Tri Mumpuni. Foto:Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Saya tidak patah semangat ketika cita-cita ingin masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro tak terwujud. Prof Dr Andi Hakim Nasution, menelegram orangtua saya agar segera ikut kuliah bersama mahasiswa tingkat satu di Institut Pertanian Bogor.

Ketika lulus dari IPB sekitar 1990-an, dunia membawa ke arah yang saya sukai. Kala itu,  saya hidup berbaur dan mengurus petani dan peternak nila merah di Danau Toba, Sumatera Utara. Saya hidup ala kadar, naik gethek, tinggal bersama petani dengan niat ingin memberikan manfaat dari ilmu yang didapat di dunia perkuliahan.

Lalu, saya beralih mengurus rumah murah untuk warga miskin di perkotaan. Yang terjadi frustasi. Di kota, siapa punya uang, akan mengubah penampilan kota semaunya. Contoh, jika di Jakarta,  banyak gedung pencakar langit dan tak manusiawi, karena pemilik modal yang menguasai.

Berangkat dari kefrustasian, awal 1996,  saya benar-benar beralih ke listrik perdesaan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.

Saya dan suami mengimplementasi teknologi tepat guna, yang bisa memberikan jaminan penghasilan berkesinambungan bagi masyarakat di desa terpencil dan pelosok.

Lebih awal lagi, ketika itu mikrohidro sudah mulai dilakukan oleh Mas Iskandar (suami) sejak 1987 melalui lembaga yang dia dirikan bersama teman-temannya, yakni Yayasan Mandiri.

Kala itu, mereka memilih desa dan pesantren untuk menerapkan energi tepat guna. Apa yang dilakukan Mas Iskandar, terlihat sangat menyenangkan dan bermanfaat besar bagi masyarakat. Saya mendengar pekik takbir ketulusan dari masyarakat ketika lampu menyela dari mikrohidro. Kebahagiaan warga itu, tak bisa diukur melalui uang.

 

Mengapa memilih energi mikrohidro bangun di desa?

Melihat Indonesia diibaratkan sebagai bangunan kokoh, batu bata itu desa. Ada 74.954 desa. Jika dibangun dan jadi desa bagus dan kokoh, Indonesia akan sangat kokoh. Maka kerja dimulai dari desa.

Mengapa desa dan tak di perkotaan? Saya melihat orang desa punya potensi berkembang, tetapi perlu alat. Kebetulan kami punya kesukaan berkeliling ke desa dan melihat sumber air melimpah namun belum termanfaatkan.

Ketika itu, kami temukan listrik sebagai alat. Listrik di pedesaan mencakup peningkatan kapasitas perempuan, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Begitu masyarakat punya listrik sendiri, mereka akan punya uang bersama untuk membiayai pendidikan, program kesehatan, program perempuan, infrastruktur seperti jalan, sampai radio komunitas.

Di desa terpelosok atau terluar, sumber energi listrik belum terjangkau atau sulit dibangun PLN. Mikrohidro jadi jawaban tepat.

Pada prinsipnya,  mikrohidro dari sungai yang punya ketinggian hingga kita ambil air untuk bisa dibangkitkan jadi energi listrik. Pada daerah yang geografis memiliki sungai, hutan, dan sulit dijangkau biasa banyak penduduk tinggal dalam gelap.

Listrik mikrohidro, sebenarnya hanya pintu masuk ke pembangunan ekonomi. Kami membangun kemandirian masyarakat bukan uang yang menyetir pembangunan.

Di Tasikmalaya, sekitar 1994, para laki-laki mencari kerja serabutan, penghasilan tak menentu. Ketika listrik masuk, para perempuan berlatih mesin bordir, dan suami membantu istri di rumah, produk mereka kini ekspor ke Malaysia dan Brunei.

Pembangkit listrik mikrohidro juga ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, tidak menambah jumlah gas karbon dioksida ke atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca penyebab naiknya suhu muka bumi secara global.

Awalnya, bangun satu mikrohidro, ingin jadi gerakan, siapapun dapat melakukan. Mikrohidro memang teknologi tinggi, tetapi user friendly. Membangun mikrohidro tidak tentang teknik. Kami membangun sistem berbasis masyarakat.

Teknik bangun mikrohidro gampang, tetapi pembangunn moral masyarakat perlu waktu lama. Proyek dibangun, rusak dan tak beroperasi lagi, karena pendekatan proyek. Program pemerintah tak berkesinambungan karena tak membangun berbasiskan masyarakat.

Proyek untuk cari untung, padahal jika yakin bekerja untuk rakyat, Tuhan pasti bukakan rezeki. Hal inilah yang membuat perjalanan spiritual saya terbangun.

Mikrohidro bukan alat cari uang, tapi alat pemberdayaan masyarakat, membangun modal sosial bangsa.  Saya dan suami tidur di rumah di pedalaman. Dingin mencekam luar biasa, angin, panas, semua dijalani dengan gembira. Kami ikhlas. Itu jadi perjalanan indah untuk dikenang. Yakinlah, perbuatan baik kita lakukan, kebaikan lain akan mengikuti kita.

Bendungan penyuplai air menuju pipa untuk dialirkan ke turbin PLTMH Mbakuhau. Energi listrik yang dihasilkan pembangkit ini mencapai 30 KW dan dimanfaatkan oleh 334 rumah. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana Anda melaksanakan pembangunan listrik mikrohidro di desa?

Prosesnya,  kami akan membicarakan kepada kepala desa setempat soal kemungkinan membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan aliran sungai.  Selanjutnya,  mengumpulkan data untuk melihat kemungkinan secara teknis dan menghitung rencana anggaran biaya kemudian mencari sumber dana untuk pembangunan pembangkit mikrohidro.

Dana untuk membangun pembangkit mikrohidro Ibeka tak ada pakai dana pemerintah. Mengapa? Kami memang tak pernah gunakan dana APBN karena sistem APBN tak mengakomodasi pemberdayaan masyarakat.

Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 mengharuskan ada tender. Tidak mungkin rakyat kecil mengakses. Selama ini,  kami gunakan dana donor melalui kedutaan dan ada dari perusahaan dalam skema tanggung jawab sosial perusahaan.

Setelah dana tersedia, Yayasan Ibeka lalu mengirim tim sosial untuk membangun komunitas. Tim sosial ini akan berinteraksi selama beberapa minggu dengan masyarakat agar terbina hubungan baik.

Langkah awalnya juga menghubungi tokoh agama maupun tokoh adat setempat.

Kemudian masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, dengan menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, hingga siapa yang bertanggung jawab untuk bongkar pasang mesin turbin. Tim juga diberikan pengetahuan pengoperasian mesin turbin dan penghitungan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan dan biaya memelihara pembangkit listrik.

Tim teknis Ibeka akan berkoordinasi dengan tim yang sudah dibentuk dari perwakilan masyarakat dalam pengelolaan maupun hal-hal lain terkait pembangkit. Agar pembangkit listrik tenaga air dapat menjalankan fungsi terus-menerus, daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi.

Tidak boleh ada penebangan hutan dan vegetasi. Inilah menariknya membangun mikrohidro, masyarakat harus ada kesinambungan. Mereka harus menjaga hulu sungai. Jika mau dapat listrik murah, ramah lingkungan dan terbarukan, wajib jaga hutan. Kami betul-betul mengajarkan rakyat punya hubungan intim dengan alam.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Sudah terbangun berapa banyak mikrohidro dan turbin angin?

Pada pertengahan 2010, ada sekitar 60 pembangkit listrik tenaga air berskala kecil atau mikrohidro dibangun di berbagai wilayah di Indonesia. Awal mula pembangkit listrik mikrohidro di Desa Curuagung, Subang, Jawa Barat, pada 1990-an. Dengan memanfaatkan Sungai Ciasem, kami dan warga desa membangun pembangkit listrik berkekuatan 13 kilowatt. Akhirnya, dapat menerangi 121 rumah dengan modal awal Rp44 juta.

Hingga kini, saya kira hampir 100 desa diterangi listrik dari mikrohidro, khusus turbin angin di Pulau Sumba. Dari semua pembangunan pembangkit listrik berjalan baik dan dengan dana wajar, tidak ada mark up. Berjalan baik.

Tolok ukur keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat lewat mikrohidro, apabila masyarakat mampu menjamin keberlangsungan pembangkit. Ada beberapa desa sudah memiliki listrik dalam rentang setahun, punya tabungan sampai Rp160 juta. Meskipun demikian, tidak semua program berjalan seperti harapan. Bukan gagal, karena kalau gagal, artinya rusak dan tak termanfaatkan.

 

Bagaimana hubungan dengan PLN?

Dalam sistem Ibeka, bukan hanya masyarakat desa untung, PLN dan pemerintah juga untung. Desa yang belum ada aliran listrik PLN (off grid) mendapat pemasukan dari uang langganan yang dibayar penduduk. Di desa ada jaringan PLN, Ibeka gunakan skema on grid yang untungkan dua pihak.

Rakyat tak perlu terpinggirkan dalam pembangunan, bahkan punya dana abadi karena listrik sebagai aset desa dijual kepada PLN. Ini bukan hanya capacity building, tetapi equity building karena kepemilikan rakyat sangat dihormati.

PLN tidak perlu investasi. Karena yang investasi rakyat dengan bantuan donor. Sebenarnya,  pemerintah juga bisa investasi, tetapi saya tidak mengerti mengapa sampai sekarang tidak dilakukan.

PLN menerima listrik bersih karena sumber energi air, bukan bahan bakar fosil. Dari sisi teknis, di ujung-ujung jalur distribusi kualitas listrik PLN tetap terpelihara bila listrik PLN disuntik listrik rakyat.

Keuntungan untuk pemerintah, harga listrik mikrohidro lebih murah, Rp425 dan Rp432 per kWh. Setahu saya listrik swasta dijual US$6-7 sen sebelum negosiasi. Hitungannya, bila pemerintah sepakat membangun 500 megawatt listrik dari tenaga mikrohidro, rata-rata satu pembangkit menghasilkan 100 kWh, berarti ada 5.000 pembangkit. Bila semua jual ke PLN, ada pemasukan uang ke desa Rp1,29 triliun per tahun. Bayangkan ekonomi desa yang akan tumbuh karena itu.

Bila pembangkit itu dioperasikan masyarakat, berarti ada 5.000-an usaha kecil di desa yang menyerap 39.000 tenaga kerja bila tiap pembangkit dioperasikan tiga-enam orang. Orang desa pun akan bertahan di kampung karena ada kegiatan ekonomi, tanpa harus bekerja jadi buruh migran di luar negeri.

Juga terjadi pula penghematan bahan bakar mendekati satu miliar liter setahun atau senilai kira-kira Rp 4,3 triliun, biaya dibayarkan PLN kepada orang desa hanya Rp1,29 triliun.

Satu desa di Subang, warga menguasai 50% kepemilikan kerja sama dengan perusahaan swasta lokal. Di satu desa di Sumba,  kepemilikan bahkan 100 persen, dikelola Koperasi Unit Desa. Di satu desa di Sumatera Selatan, suatu koperasi pesantren mendapat penghasilan Rp60 juta per bulan dari listrik yang dijual ke PLN.

Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak melaksanakan skema ini? Jawabnya,  saya melihat karena sistem anggaran mengharuskan ada kontraktor, bukan membangun komunitas. Hasil tidak langgeng.

Sistem ini dijalani karena takut ditangkap KPK, sedangkan tanpa KPK birokrasi kita sudah terkenal amburadul, seperi lingkaran setan.

Solusinya, memperkuat masyarakat desa. Kami membantu orang desa mendirikan koperasi yang berbadan hukum hingga bisa membuka rekening bank. Dana untuk membangun pembangkit ditransfer langsung ke rekening itu. Cara ini yang saya minta dikopi pemerintah.

 

Anda membuat Program Patriot Negeri. Bisa diceritakan?

Kami punya program Patriot Negeri, digagas era Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dijabat Sudirman Said. Mereka ini dari latar belakang pendidikan beragam meskipun prioritas insinyur.

Kalau latar belakang pengacara,  maka dikuatkan legalisasi dan advokasi peraturan desa yang melindungi sumber daya alamn. Kalau teknisi,  diajarkan sistem pembangunan bersama rakyat yakni bangun mikrohidro. Jadi apapun yang masuk ke desa jadi hal yang berkelanjutan.

Anak muda yang ikut Patriot Negeri harus punya empat kompetensi, yakni kejuangan, keikhlasan, kemampuan membangun komunitas dan mengajak warga menyadari pembangkit listrik itu milik mereka dan harus memelihara bukan hanya turbin, juga kelangsungan aliran air sepanjang tahun.

Saya yakin kedaulatan energi di Indonesia bisa maju dan terwujud. Syaratnya mudah, pemerintah berhenti mengerjakan proyek untuk rakyat, berikan saja ke ahlinya, birokrasi hanya membuat kebijakan dan regulasi, tapi tidak ikut proyek.

 

Apa pesan dan harapan Anda pada pemerintah dan generasi muda dalam membangun negeri ini lewat energi terbarukan?

Saya berharap mikrohidro dibangun dengan benar dan sungguh-sungguh. Mikrohidro ini alat memakmurkan rakyat. Rakyat harus betul-betul mengerti, tahu cara mengoperasikan, mengolah dengan baik dan merawat. Mikrohidro ini bisa berusia lebih 100 tahun.

Saya dan suami bermimpi,  memiliki banyak bayi yang harus dipelihara. Mikrohidro ini bayi kita yang betul-betul harus bermanfaat. Sekarang ada bayi baru yaitu sosial bisnis, kita ingin anak muda paham sosial bisnis.

Sebenarnya,  sosial bisnis ini adalah kegiatan yang bisa mengatasi persoalan-persoalan sosial masyarakat, satu sisi kita mendapat keuntungan. Jadi membuat kita kaya dengan cara membuat orang lain kaya, itu hukumnya halal dan sah-sah saja.Saya berharap, pemerintah dan anak muda, ikut membantu menerangi sebanyak mungkin desa dengan pembangkit listrik mini tenaga air.

Sedikit ilmu yang bisa kita bagi dengan membuat pembangkit listrik dari tenaga air mili dan mikrohidro. Ini cara kita bersyukur dan menikmati rahmat Tuhan.

 

Foto utama: Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version