Mongabay.co.id

Khawatir Longsor, Warga Pemalang Tolak Tambang Galian C

Ilustrasi. Longsor di Brebes, baru-baru ini menewaskan belasan orang. Longsor terjadi murni bencana alam karena daerah penyangga bagian atas bertutupan pohon lebat, tetapi masih bisa longsor. Apalagi kalau tak bertutupan bahkan jadi tambang, makin rawan longsor. Foto: BNPB

 

Warga Desa Wisnu, Kecamatan Watukumpul, Pemalang, Jawa Tengah,  menolak penambangan galian C karena khawatir picu bencana longsor. Tambang galian C berada di dataran lebih tinggi tak jauh dari pemukiman dan lahan pertanian warga.

Pada 30 Oktober-1 November 2017,  warga aksi penolakan hingga berhasil mengusir alat berat yang menambang di tanah kas desa itu. Dalam kejadian itu, anak di bawah umur sempat berurusan dengan polisi.

Eti Oktaviani, penasehat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang kepada Mongabay, mengatakan,  setelah protes warga atas tambang galian C PT Asa Sukses Amanah (ASA), ada pihak yang lapor ke polisi pada 5 November 2017.

Protes dilakukan warga di depan Kantor Kepala Desa Wisnu, lalu ke lokasi tambang, karena kepala desa tak mau menemui warga penolak tambang.

“Kami belum tahu berapa jumlah warga yang dilaporkan dan siapa saja, baru satu anak bawah umur dipanggil kepolisian,” katanya.

Warga menolak karena lokasi penambangan terletak sangat dekat pemukiman hingga takut longsor. Apalagi,  lokasi tambang di atas pemukiman, warga harus melewati jembatan kecil yang rawan amblas ketika dilewati truk bermuatan berat. Jembatan itu, katanya, merupakan satu-satunya akses keluar masuk Desa Wisnu.

Selain itu, masyarakat tak pernah diberitahu soal perizinan tambang maupun Peraturan Desa Nomor 4/2016 soal kerjasama pemanfaatan tanah kas desa antara ASA dengan Pemerintah Desa Wisnu seluas 10.986 hektar. Aturan ini, katanya, dibuat tanpa musyawarah dengan warga sekitar.

“Kepala desa tertutup dan tak sosialisasi ada pertambangan,” kata Eti.

Pasca penolakan, 5 November 2017, warga mulai menerima intimidasi dari oknum kepolisian yang mengancam membawa anak-anak ke Polsek Sektor Watukumpul, tanpa tahu alasannya. Tiga anak bawah umur dihadang  satu mobil berisi orang-orang berseragam kepolisian ketika hendak pulang sekolah.

Pada 19 Desember 2017, sekitar pukul 14.00 siang,  salah satu warga menerima pemanggilan anak mereka, RI, usia 13 tahun untuk dimintai keterangan di Polres Pemalang.

“Upaya percobaan kriminalisasi kepada anak-anak bawah umur di Desa Wisnu, bentuk pembungkaman partisipasi masyarakat yang berjuang demi lingkungan hidup yang baik dan sehat,” katanya.

Pada 13 Januari 2018, warga kembali menerima pemanggilan kedua untuk datang ke Polres Pemalang. Surat pemanggilan polisi itu ditujukan kepada enam anak atas dugaan perusakan barang atau perusakan bersama-sama.

Setelah pemeriksaan RI, melalui berita acara interogasi atas tuduhan Pasal 170 KUHP, yakni barang siapa terang-terangan dan bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara lima tahun enam bulan.

“Hingga kini warga tidak tahu siapa pelapor. Seorang anak sudah diperiksa di Polres namun tidak ada yang jadi tersangka,” kata Ella, warga Peduli Lingkungan Wisnu Watukumpul.

Dia aneh,  ada laporan perusakan padahal tak ada bukti barang rusak.

“Jika ada perusakan, apanya yang rusak? Mengapa melaporkan tidak ketika perusakan terjadi?”

 

Peta perkiraan gerakan tanah per Februari 2018 dari BNPB. Dalam peta itu, tampak Pemalang, salah satu daerah rawan longsor. Sumber: BNPB

 

Ella bilang, warga menolak karena takut ancaman longsor, banjir bandang dan penghidupan warga hilang karena mayoritas bertani. Tambang galian C itu, berada tepat di belakang rumahnya.

Sebelum ada tambang, lahan tani Ella ditanami cabai, kacang dan padi. Saat ini, lahan belakang rumah rusak, sudah tergali sekitar lima meter, dan beberapa kali tanah amblas.

Dalam Januari 2018 saja, katanya, dua kejadian longsor di Desa Wisnu, walau bukan karena tambang langsung, tetapi hujan deras.

Kalau pertambangan lanjut, bencana bisa lebih meluas. Tambang, kata Ella, akan merusak jalan-jalan desa dan polusi udara. Apalagi,  dalam perjanjian tambang, rencana tiga tahun dan bisa diperpanjang kembali.

Tambang hadir di desa, dia duga terjadi manipulasi seolah ada persetujuan warga. Sebelum masuk tambang, katanya, kades minta warga memanen semua tanaman, dengan janji tanam jagung tongkol, sebagai program desa. Faktanya, alat berat masuk malah lakukan penambangan.

Dia mendesak, pencabutan perdes yang menyetujui pertambangan. “Longsor sudah sering terjadi di Desa Wisnu. Kami pun tak ingin ada tambang, lahan kami produktif untuk bertani.”

Dulu, katanya, sekitar tahun 1970-an, ada desa hilang karena longsor, kala itu belum ada tambang. Karena rawan longsor itu, warga termasuk Ella, yang keras menolak.

Warga, katanya, ingin bertemu untuk berdialog dan meminta pencabutan perdes, tetapi kades selalu mengelak.

“Kami minta kades segera koreksi kebijakan. Warga desa ingin hidup lebih baik, bukan dari tambang. Terbuka dan libatkan masyarakat yang memilih anda,” katanya.

Soal perizinan pertambangan dan dokumen lingkungan, hingga kini warga belum mendapatkan akses. Walaupun Badan Lingkungan Hidup Pemalang,  sudah mengundang dan menjelaskan terkait ada perizinan pertambangan, namun tak menunjukkan dan memberikan dokumen kepada warga.

Mongabay mencoba menghubungi Kepala Desa Wisnu, namun nomor seluler yang didapat dari warga tak aktif.

Abdul Ghofar, divisi advokasi Walhi Jawa Tengah mengatakan, kasus ini jadi preseden buruk bagi perjuangan lingkungan hidup di Indonesia. Apalagi, yang dilaporkan anak-anak di bawah umur.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga angkat bicara. Dia mengatakan, pemanggilan dan intimidasi warga merupakan kemunduran demokrasi.

“Kriminalisasi dan intimidasi ini bukti kegagalan industri pertambangan mensejahterakan rakyat,” katanya.

Tindakan aparat ini, katanya, menunjukkan proses penegakan hukum gagal melihat masalah sosial ekologis. Jatam mendesak, Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi menyeluruh, seperti peraturan perundang-undangan karena banyak celah dan pasal mengkriminalisasi pejuang agraria, termasuk aktor penegak hukum, polisi dan TNI.

Mongabay menghubungi Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak untuk mengkonfirmasi pada akhir Januari 2018, namun enggan berkomentar. Kapolres Lumajang coba dihubungi  tetapi belum merespon.

 

Foto utama: (Ilustrasi) Longsor di Brebes, Jawa tengah, baru-baru ini menewaskan belasan orang. Longsor terjadi murni bencana alam karena daerah penyangga bagian atas bertutupan pohon lebat. Berpohon lebat sajamasih bisa longsor, apalagi tak ada tutupan rapat bahkan jadi tambang, makin rawan longsor. Foto: BNPB

 

Warga Desa Wisnu, terutama perempuan, protes atas tambang galian C. Mereka khawatir tambang memicu bencana seperti longsor. Foto: LBH Jateng

 

 

Exit mobile version