Mongabay.co.id

Pendana Sawit Rp34 Triliun, Laporan Sebut Maybank Terlibat Kerusakan Hutan Indonesia

Kawasan Ekosistem Leuser, dengan hutan terbabat jadi kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Bank asal Malaysia, Maybank, disebut sebagai pemodal terbesar dunia pada sektor sawit, termasuk kepada perusahaan-perusahaan bermasalah lingkungan dan perusak hutan. Pembiayaan dan penjaminan bank ini senilai US$3,88 miliar atau sekitar Rp34 triliun. Begitu laporan Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profuno berjudul Maybank: The Single Largest Palm Oil Financiers, yang rilis pekan lalu.

”Maybank memiliki hubungan keuangan dengan sejumlah besar perusahaan minyak sawit kontroversial yang terlibat masalah lingkungan, sosial dan tata kelola,” kata Eva Maria, Advisor Financial and Sustainability, TuK Indonesia, di Jakarta, pekan lalu.

Perusahaan-perusahaan itu, katanya, ada yang diduga terlibat deforestasi di hutan konservasi tinggi dan stok karbon tinggi, pengembangan di gambut, kebakaran hutan. Juga konflik dengan masyarakat dan kondisi buruh buruk serta memperkerjakan anak di bawah umur. Beberapa di antara mereka masih dalam proses penyelesaian masalah dalam skema Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Pada periode 2010-2016, 11% dari seluruh pinjaman dan penjaminan bank terbesar di Malaysia itu kepada 85 perusahaan sawit terbesar di Asia Tenggara, 24 beroperasi di Indonesia dan Malaysia. Total pinjaman dan penjaminan mencapai US$3.88 miliar, dengan rincian, pinjaman US$1.66 miliar dan penjaminan US$2.21 miliar.

Laporan ini menyebutkan,  enam perusahaan sawit yang menjadi klien Maybank, aktif di Indonesia dan Malaysia, diduga bermasalah saat menjalankan operasinya di Indonesia. Mereka antara lain, Sime Darby (US$580 juta), Felda (US$513 juta), Batu Kawan Group (US$384 juta), Genting Group (US$205 juta), Triputra (US$192 juta) dan Salim Group (US$109 juta).

Edi Sutrisno, Wakil Direktur TuK Indonesia mengatakan, beberapa pemodal besar menerapkan kebijakan lingkungan, sosial dan tata kelola (LST) untuk mencegah mereka terlibat langsung dengan klien kontroversial, di antara anggota RSPO, dan penandatangan UN-supported Principles for Responsible Investment (PRI).

”Analisis dalam laporan ini menemukan para pemodal ini masih mendapatkan keuntungan dari perusahaan sawit yang kontroversial,” katanya.

Keterlibatan tak langsung di perusahaan sawit yang kontroversial ini, katanya, tak sesuai semangat komitmen dan menyebabkan mereka terpapar risiko reputasi.

“Untuk menghindari risiko lebih lanjut, Maybank harus segera mengembangkan kebijakan LST yang kuat, dan menahan diri dari membiayai klien yang tak mematuhi standar minimum kebijakan LST,” katanya.

Begitu pula, bank-bank pendana Maybank harus mendukung pengembangan kebijakan LST. Maybank, katanya,  harus berkomitmen pada dengan target waktu tertentu.

Andai Maybank gagal menerapkan kebijakan yang memadai dalam jangka waktu tertentu, pemodal harus memutuskan hubungan dengan Maybank.

Pendana Maybank, kata Edi, juga harus bertanggung jawab. Mereka antara lain juga anggota RSPO, seperti HSBC (US$ 2.580 miliar), UBS (US$1.048 miliar), Standard Chartered (US$821 miliar), dan non-RSPO, yakni Barclays (US$827 miliar) dan DBS (US$457 miliar).

Pengembangan sawit di Indonesia, katanya,  diduga menghancurkan keragaman hayati bahkan merampas lahan masyarakat adat, seperti di Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Papua dan Papua Barat dan lain-lain.

Adapun laporan yang mengidentifikasi 85 perusahaan di Asia Tenggara ini menggunakan metodologi dari berbagai sumber database finansial, seperti Thomas EIKON, Bloomberg, IJGlobal, TradeFinanceAnalytics dan laporan publik perusahaan periode 2010-2016.

Taswin Zakaria, Presiden Direktur Maybank Indonesia mengatakan, keberatan dengan laporan yang menggunakan nama Maybank sementara isi lebih seperti laporan eksposur industri perbankan terhadap sektor perkelapasawitan.

”Tudingan pada kami membiayai perusahaan sawit yang merusak lingkungan masih harus dibuktikan,” katanya kepada Mongabay.

Menurut dia, Maybank memiliki kebijakan berkelanjutan sangat jelas yang mengatur pembiayaan bertanggung jawab dengan mengutamakan sisi lingkungan dan karbon emisi rendah. Sustainability report Maybank juga tersedia untuk publik.”

 

Komitmen masih rendah

Berdasarkan analisa kebijakan, kata Eva, bank komersial yang teridentifikasi dalam penelitian ini perlu ada evaluasi dalam menentukan  kekuatan kebijakan dan pengambilan keputusan pembiayaan investasi sektor kehutanan.

”Rata-rata kebijakan berdasarkan negara asal lembaga jasa keuangan, seperti Indonesia, Malaysia dan Tiongkok, bank yang memberikan keuangan terbesar, tapi kebijakan rendah. Bahkan, Malaysia disebut kebijakannya nol.”

Sebaliknya, kalau kebijakan makin ketat, sektor keuangan makin kecil, hingga bersih dalam pendanaan lingkungan dan sosial.

Berdasarkan wilayah, pembiayaan kepada perusahaan sawit memberikan baik pinjaman dan underwritting sebanyak 56% diberikan lembaga jasa keuangan dari Asia Tenggara. Lalu, 20% dari Eropa. Malaysia, katanya,  sebagai negara asal lembaga jasa keuangan terbesar, yakni Malayan Banking (Maybank), RHB Banking dan CIMB Group.

Sustainable Palm Oil Toolkit (SPOTT) punya penilaian. Lembaga yang dikembangkan oleh Zoological Society of London, guna  mendukung transparansi dan akuntabilitas dan mendorong penerapan praktik lingkungan maupun sosial terbaik memberi nilai 50 kepada produsen dan pedagang minyak sawit dunia terbesar untuk ketersediaan informasi berkaitan dengan lingkungan sosial dan tata kelola.

Enam perusahaan yang didanai Maybank di Indonesia dan Malaysia hanya Sime Darby Plantation yang mendapatkan peringkat hijau (penilaian lebih 75%), dari isu lingkungan, sosial dan pemerintah. ”Total keseluruhan (Sime) kuning,” katanya. Sisanya, masih kuning (51-75%) dan merah (kurang 50%), berarti tingkat kepatuhan rendah.

Sedangkan, Sinar Mas Group pada isu lingkungan mendapat peringkat kuning, isu sosial merah dan pelaksanaan komitmen pemerintah kuning tetapi total skor mereka hijau.

”Skor mereka hijau tapi di lapangan masih banyak pelanggaran. Ini (SPOTT) baru standar kebijakan, belum lihat ke lapangan,” ucap Edi.

 

Foto utama: Kawasan Ekosistem Leuser, dengan hutan terbabat jadi kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version