Mongabay.co.id

Rajungan di Alam Bebas Terancam Hilang?

Praktik perikanan tangkap yang bertanggung jawab menjadi prinsip yang harus diterapkan dalam bisnis rajungan (Portunus sp.). Prinsip tersebut menjadi sangat penting, karena itu untuk melindungi keberadaan rajungan di alam yang jumlahnya semakin sedikit. Sementara, di saat bersamaan Indonesia mengandalkan komoditas tersebut dalam bisnis perikanan internasional.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Rifky Effendi Hardijanto di Jakarta, pekan lalu mengatakan, Indonesia harus bisa menjaga keberlanjutan (sustainability) dari bisnis perikanan yang ada sekarang. Termasuk, dalam bisnis komoditas rajungan yang nilainya sudah mencapai 7 persen dari total ekspor Indonesia sekarang.

“Rajungan itu salah satu kontributor di dalam nilai ekspor kita yang signifikan. Biasanya rajungan diekspor dalam bentuk yang sudah diambil dagingnya,” ungkap dia.

Menurut Rifky, penerapan prinsip bertanggung jawab tidak boleh dibantah oleh siapapun sekarang, karena itu bisa menyelamatkan populasi rajungan di alam. Kata dia, jika prinsip keberlanjutan dilaksanakan, maka nelayan akan memastikan rajungan yang ada di alam sudah melalui proses berkembang biak yang cukup.

baca : Kunci Selamatkan Stok Rajungan di Alam Hanya dengan Cara Ini

 

Rajungan (Portunus Sp), salah satu komoditas andalan bernilai ekonomi tinggi. Foto : reps-id.com/Mongabay Indonesia

 

Jika belum cukup, Rifky menuturkan, maka nelayan sudah seharusnya membiarkan rajungan untuk melakukan pemijahan hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, pelaku usaha rajungan dan nelayan akan membiarkan biota laut tersebut untuk melakukan perkawinan di habitat tanaman bakau (mangrove) yang menjadi lokasi favorit mereka.

“Memang sangat disayangkan bisnis rajungan saat ini masih mengandalkan pada penangkapan dari alam liar. Padahal, saat ini sudah sulit ditemukan rajungan dalam ukuran besar. Untuk itu, agar ekspor produk rajungan bisa tetap dilakukan, maka harus ada kombinasi hasil tangkapan dan budidaya,” jelasnya.

Adapun sentra penghasil rajungan yang masih mendominasi di Indonesia, adalah sepanjang pantai utara Jawa di Pulau Jawa dan Lampung Timur di Pulau Sumatera. Di kedua kawasan tersebut, rajungan yang masuk kelompok krustasea, dieksploitasi sejak lama dari alam, yang membuat stok yang ada diperkirakan tidak akan bisa bertahan lama.

“Stok tidak akan bertahan jika laut terus dikeruk dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti trawl,” tegasnya.

Untuk menjaga bisnis rajungan ini tetap bisa menjadi komoditas ekspor yang cukup signifikan dan tumbuh, Rifky mengatakan, perlu ada penataan supaya praktik perikanan bertanggung jawab (responsible fisheries practices) bisa diterapkan. Tujuannya, untuk memastikan kelestarian rajungan tetap tumbuh dan bisa panen.

baca : Bagaimana Kondisi Perikanan Krustasea di Indonesia Sekarang?

 

Rajungan (Portunus sp.). Foto : MBI Seafood/Mongabay Indonesia

 

Pelestarian Bakau

Upaya untuk melestarikan stok rajungan di alam, menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja merupakan upaya yang harus dilakukan semua pelaku stakeholder. Cara yang paling sederhana tapi pasti berhasil, kata dia, adalah dengan melestarikan keberadaan tanaman bakau yang ada di sepanjang pesisir pantai Indonesia.

Sjarief menjelaskan, bakau dapat ditanam sebagai upaya restorasi atau pengembalian kekayaan ekosistem laut yang salah satunya adalah rajungan. Sebagai bentuk dukungan, Pemerintah Indonesia saat ini tengah memetakan tutupan-tutupan bakau yang potensial di sepanjang pesisir Indonesia.

“Pantai Timur Sumatera, utamanya di Riau memiliki potensi budidaya air payau mangrove yang besar. Budidaya sifatnya mendorong sampai ke tingkat rajungan ini siap matang gonad dan siap bertelur. Pada posisi itulah kita siap menebar ke tutupan-tutupan mangrove yang sudah kita bina,” papar dia.

Sementara, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Nilanto Perbowo menambahkan, untuk penerapan mutu dan ketelusuran (traceability) produk rajungan, KKP bekerja sama dari hulu ke hilir dengan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI). Salah satu bentuknya, pembinaan dan penerbitan Sertifikat Kelayakan Pengolahan pada miniplant dan UPI Rajungan Pasteurisasi.

“Mutu produk rajungan yang diekspor semakin membaik ditunjukan dengan kabar menggembirakan pada tahun 2017 ekspor produk rajungan Indonesia ke AS tidak ada kasus penolakan. Ini merupakan prestasi karena pada tahun 2016 terdapat empat kasus penolakan untuk ekspor produk rajungan ke AS,” tutur dia.

baca : Perikanan Berkelanjutan, Upaya Selamatkan Sumber Daya Laut Nasional

 

Rajungan (Portunus Sp), salah satu komoditas andalan bernilai ekonomi tinggi. Foto : loexie.wordpress.com/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto sebelumnya pernah mengatakan, berbagai upaya untuk menyelamatkan rajungan di alam bebas terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satunya, adalah dengan menerapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.52/2016. Peraturan tersebut bisa menjadi perangkat untuk melakukan tindakan preventif bagi perlindungan rajungan.

“Ini tujuannya untuk menjaga perikanan budidaya tetap lestari, namun masyarakat juga tetap bisa menikmati potensinya secara bersama,” jelas dia.

Selain menerapkan peraturan, Slamet mengatakan, upaya untuk menjaga stok di alam bisa tetap terjaga, adalah dengan melakukan penyebaran benih di sejumlah kawasan perairan laut. Namun, untuk bisa melakukan itu, perlu dilakukan inovasi teknologi budidaya untuk membuat produksi benih secara massal.

“Melalui teknologi, kita bisa buktikan bahwa perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan nilai ekonomi dapat dilakukan secara simultan,” ucap dia.

Untuk melaksanakan produksi massal tersebut, Slamet menyebut, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar Sulawesi Selatan menjadi tempat yang pas. Hal itu, karena di Indonesia saat ini baru balai tersebut yang dinyatakan sudah mampu memproduksi benih rajungan secara massal.

Kepala BPBAP Takalar Nono Hartono tak membantah bahwa pihaknya sudah berhasil melakukan produksi massal untuk benih Rajungan. Menurut dia, keberhasilan tersebut tidak diraih dengan gampang, namun dilalui dengan berbagai upaya perekayasaan pembenihan.

“Semua benih yang diproduksi akan digunakan untuk kegiatan budidaya dan restocking,” tutur dia.

baca : Indonesia Kampanyekan Perikanan Berkelanjutan untuk Dunia, Seperti Apa Itu?

 

Tercemarnya Sungai Tallo, Kota Makassar, Sulsel membuat ekosistem sungai dan mangrove terganggu. Banyak jenis ikan yang susah ditemukan, termasuk kepiting rajungan yang biasanya bergerombol di sekitar tanaman mangrove. Foto: Wahyu Chandra.

 

Dengan keberhasilan memproduksi benih rajungan, Nono berharap para pembudidaya bisa menerapkan perikanan budidaya berkelanjutan. Dengan demikian, keberlangsungan komoditas rajungan di masa mendatang akan tetap terjamin.

“Benih yang diproduksi massal sekarang akan memenuhi kebutuhan benih untuk masyarakat. Sehingga, nantinya kebutuhan benih tidak perlu lagi harus dipasok dari alam. Biarlah alam dijaga untuk masa yang lama,” ungkapnya.

 

Komoditas Andalan

Diketahui, perikanan rajungan memiliki peran penting untuk nelayan Indonesia karena sebagian besar dilakukan oleh nelayan kecil dengan ukuran kapal kurang dari 10 gros ton (GT) dengan menggunakan alat tangkap bubu (trap) dan jaring insang (gillnet).

Berdasarkan data KKP, tercatat nilai ekspor daging rajungan Indonesia pada 2017 menempati posisi ke-3 terbesar setelah Tuna dan Udang, yaitu dengan nilai hampir mencapai USD411 juta. Adapun negara tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat, disusul Jepang, Malaysia, dan negara lainnya.

Menurut Slamet Soebjakto, rajungan menjadi komoditas andalan dengan nilai ekonomi tinggi, karena permintaan dari pasar cenderung naik dari waktu ke waktu. Padahal, kata dia, harga untuk setiap kilogramnya terbilang tidak murah dengan rerata Rp70 ribu.

“Saat ini permintaannya cenderung terus naik terutama dalam memenuhi permintaan pasar ekspor ke berbagai negara khususnya Amerika Serikat,” sebut dia.

Dengan permintaan yang tinggi seperti itu, Slamet mengaku tidak kaget melihat produksi Rajungan dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Namun, akibat dari produksi yang terus digenjot tersebut, persediaan di alam diduga kuat terus mengalami penurunan dan itu harus segera diselamatkan.

“Kita prihatin dengan kondisi ini, harus ada upaya konkrit untuk mengembalikan stok di alam. Peran teknologi budidaya, saya rasa bisa didorong sebagai penyangga stok bagi komoditas yang terancam seperti rajungan ini,” pungkas dia.

 

Exit mobile version