Mongabay.co.id

Tahun Politik, Mungkinkah Presiden Jokowi Moratorium Perizinan Sumber Daya Alam?

Tahun 2018 dan 2019 merupakan tahun politik. Pada 27 Juni 2018 nanti, sebanyak 171 daerah, termasuk Sumatera Selatan, akan memilih gubernur, bupati atau walikota, secara serentak. Sementara 2019, akan dipilih sejumlah anggota dewan juga presiden dan wakil presiden Indonesia.

Setiap kekuatan politik, baik aktor maupun partainya, membutuhkan banyak sumber daya, termasuk pendanaan. Belajar dari pesta politik sebelumnya, pemberiaan izin pengelolaan kekayaan alam kepada para pelaku usaha, seperti tambang dan perkebunan, diduga dilakukan para calon petahana dalam mengumpulkan “modal politik”. Presiden Jokowi pun diminta melakukan moratorium perizinan pengelolaan sumber daya alam selama dua tahun ini. Mungkinkah?

“Bukti yang terlihat saat ini, ketika sejumlah calon kepala daerah tertangkap tangan terkait dugaan korupsi oleh KPK, kasusnya adalah pemberian izin lahan untuk para pelaku usaha. Ini membuktikan, pemberiaan izin pengelolaan kekayaan alam cukup kuat yang diduga sebagai sumber pendanaan politik,” kata Dr. Rabin Ibnu Zainal, direktur Pilar Nusantara (Pinus) Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Rabu (07/3/2018).

Guna menjaga kekayaan alam Indonesia, baik secara ekonomi maupun ekologi, Rabin berharap Presiden Jokowi melakukan moratorium perizinan, seperti pertambangan dan perkebunan. “Semua izin itu merupakan kewenangan presiden. Yang kewenangannya dibagi ke gubernur dan bupati, sesuai UU No 23/2014. Moratorium akan menghindari para incumbent untuk jual beli izin.”

 

Indonesia sungguh kaya akan sumber daya alam dengan bentang alam yang indah. Tampak Sungai Agusen atau hulu DAS Alas-Singkil di Kabupaten Gayo Lues. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ditambahkan Rabin, saat ini banyak izin minerba yang belum beroperasi. Bahkan, tidak taat aturan yang imbasnya tidak ada kontribusi positif untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, pemberian izin terkait pengelolaan kekayaan alam saat ini cukup besar peluangnya. “Sebab, permen (Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI No.11 Tahun 2018) terbaru, cukup menyederhanakan perizinan. Presiden Jokowi harus tahu ini, sehingga moratorium segera dilakukan,” katanya.

Keinginan yang sama disampaikan Auriga, organisasi nonpemerintah, yang mengumpulkan petisi #STOPOBRALIZIN melalui Change.org. Dijelaskan Auriga, selama 2004-2016, tercatat 13 ribu lebih izin usaha pertambangan dikeluarkan. “Biasanya penerbitan izin meningkat satu tahun jelang pilkada dan setahun sesudahnya!”

Apa hubungan pilkada dan obral izin? Pengusaha yang diuntungkan karena penerbitan izin diduga mendanai kampanye politik sebagai balasannya. Obral izin juga merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang kepala derah. Dampak bagi masyarakat besar sekali: laju deforestasi meningkat, kebakaran hutan terjadi setiap tahun, masyarakat adat terusir dari tanah leluhur, sumber air hilang, dan banyak lagi.

“Untuk mencegah hal tersebut, kami ajak Anda semua dukung petisi ini agar Presiden Jokowi menginstruksikan kepala daerah untuk hentikan penerbitan dan perpanjangan izin sebelum dan sesudah Pilkada 2018.”

Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang, setuju dengan Rabin. Presiden Jokowi harus menginstruksikan setiap kepala daerah untuk moratorium perizinan selama tiga tahun ini. Baik terkait dengan pilkada maupun pemilu. Jika hanya pilkada, takutnya proses ini dimainkan di tingkat pusat yang lebih fokus pada Pemilu. “Jadi, moratorium ini berjalan dari 2018 hingga 2020,” katanya.

 

Sungai Manggamat di Aceh Selatan, Aceh. Air bersih dan hutan Leuser adalah urat nadi kehidupan masyarakat di sini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya moratorium

Dr. Edwin Martin, peneliti dari BP2LHK Palembang, mengatakan target penjagaan kekayaan alam di Indonesia bukan sebatas moratorium yang dilakukan Presiden Jokowi selama proses politik dua tahun ini. “Moratorium izin saja tidak cukup, hulu persoalaannya harus disentuh. Moratorium bisa hentikan sesaat, tetapi para pelaku bisa berlindung di balik regulatory capture. Misalnya, menjanjikan raperda tata ruang baru yang menguntungkan pengusaha,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (08/3/2018).

“Hulu persoalan korupsi sumber daya alam adalah tidak transparannya izin birokrasi dan abainya rakyat atau para pemilih dengan calon kepala daerah yang selama ini memiliki jejak rekam merusak sumber daya alam. Pilih calon kepala daerah yang punya inovasi teknologi transparansi perizinan dan pengawasan sumber daya alam,” lanjutnya.

 

Hutan alam yang beralih fungsi menjadi kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Syahroni, Direktur Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) mengatakan setuju jika Presiden Jokowi melakukan moratorium perizinan kekayaan alam selama pilkada. Fakta di lapangan, setiap pilkada selalu ada momen masuknya investasi pengelolaan sumber daya alam, baik investasi asing ataupun swasta nasional. Semua orang tahu, dalam proses politik liberal ini modal atau ongkos politik itu sangat besar dan biasanya disokong investor dengan kompensasi izin pengelolaan sumber daya alam dan sebagainya. “Mana ada aktor dan partai politik yang memiliki modal cukup menghadapi perilaku politik selama ini.”

Artinya, jika berbicara nasionalisme dalam perspektif sumber daya alam atau lingkungan, pemerintah pusat dalam hal ini presiden harus cermat melihat pilkada serentak dan segera mengambil langkah moratorium izin pengelolaan kekayaan alam selama masa pilkada. “Tujuannya, sumber daya alam ini lestari dan dialamatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” jelas Syahroni.

 

 

Exit mobile version