Mongabay.co.id

Daerah Bulat Tolak Tambang Batubara MCM, Walhi Gugat Menteri karena Keluarkan Izin Produksi

Sungai di Desa Nateh yang digunakan untuk irigasi dan kehidupan warga di desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Bambang Gatot Ariyono,  selaku Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, 4 Desember 2017,  atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menandatangani surat keputusan penyesuaian tahap kegiatan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara PT. Mantimin Coal Mining (MCM) ke tahap operasi produksi.

Keputusan menteri bernomor bernomor 441.K/30/DJB/2017 ini mendapatkan reaksi keras Walhi dengan mengajukan gugatan ke PTUN Jakata Timur, pada 28 Februari 2018.

Tim Advokasi Pengabdi Lingkungan Hidup, menggugat perizinan perusahaan seluas 5.908 hektar, yang meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.

Romli, Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) mengatakan, masyarakat Hulu Sungai Tengah bersama bupati, DPRD, organisasi kemasyarakatan dan tokoh masyarakat jelas menolak izin tambang dan perkebunan sawit di kabupaten ini.

Izin keluar sama sekali tak melibatkan masyarakat daerah yang terkena operasi penambangan batubara itu.

“Hulu Sungai Tengah  daerah tangkapan air dan sumber air baku bagi masyarakat untuk bertani, mandi, dan kebutuhan harian, bahkan oleh PDAM,” katanya, Rabu, 28 Februari 2018.

Pembukaan Pengunungan Meratus untuk tambang batubara bisa menganggu tangkapan air dan sumber air– merupakan sandaran kehidupan masyarakat di tiga kabupaten, yakni Hulu Sungai Tengah, Tabalong dan Sungai Tengah.

Dengan izin terbit, katanya, juga berpotensi pada kerusakan lingkungan, limbah perusahaan, polusi udara  dan ancaman banjir.

Warga, katanya,  saat ini membangun posko penolakan di pusat Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Mereka juga menggalang petisi, dengan dukungan lebih 20.000.

Dia bilang, izin keluar menunjukkan pemerintah pusat masih memberikan ruang eksploitasi bahan mentah dan sumber daya tak terbarukan untuk kebutuhan jangka pendek.

“Tuntutan kami tegas dan bulat, cabut kepmen ini. Kami akan menjaga Pegunungan Meratus,” kata Romli.

Masyarakat Desa Nateh, katanya,  tegas menolak pertambangan batubara. Ada 300 keluarga di Desa Nateh kebutuhan tercukupi lewat bertani dan berkebun.

Kalau ada tambang, warga bisa kehilangan tanah dan rumah. Warga juga yakin, limbah pertambangan batubara bakal mencemari udara dan air sungai.

“Sawah dan kebun karet mata pencaharian pasti hilang. Tambang batubara tidak banyak efek positifnya. Kami tak habis pikir pemerintah mengizinkan penambangan tanpa memikirkan warga yang sudah lama turun-temurun mendiami dan bercocok tanam di lahan itu.”

Mongabay mengunjungi langsung lokasi pertambangan MCM yang mendapatkan PKP2B izin operasi produksi di Hulu Sungai Tengah pada 1-2 Maret 2018.

Pemandangan begitu indah, pemukiman dengan lahan pertanian dan kebun dengan sumber air melimpah. Pegunungan Meratus menjulang tinggi dan hijau oleh pepohonan.

Di lembah, berbagai tanaman pertanian tumbuh subur, ada terong, cabai, padi, singkong dan berbagai tanaman buah. Aliran sungai besar di Desa Nateh digunakan warga memasak, mencuci, mandi hingga mengaliri lahan pertanian mereka.

Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, apabila pertambangan batubara diizinkan akan mengancam kelestarian lingkungan, ruang hidup, dan sumber kehidupan masyarakat. Bahkan, menyebabkan bencana ekologis, merusak tatanan sosial masyarakat, konflik sosial dan konflik agraria, serta mengabaikan kehidupan lintas generasi.

Dia bilang, pengalaman pahit minyak bumi seharusnya jadi pelajaran bagi pemerintah. Ekspor dan penambangan minyak bumi besar-besaran masa lampau tidak memikirkan kebutuhan jangka panjang membuat Indonesia kini mengimpor jadi pengimpor.

Pengalaman pahit itu, katanya, seharusnya membuat pemerintah membatasi eksploitasi batubara, dengan tak mengeluarkan izin baru kepada perusahaan terus menerus, seperti pada MCM.

Izin operasi produksi Menteri ESDM, katanya,  juga bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) Hulu Sungai Tengah. Daerah ini, jelas-jelas tak boleh ada pertambangan.

“Belajar dari tak banyak manfaat eksploitasi minyak bumi bagi masyarakat sekitar, maka menghentikan dan membatalkan perizinan tambang batubara merupakan solusi,” kata Kisworo.

Izin MCM 5.908 hektar ini, katanya, bagian Pegunungan Meratus—merupakan ekosistem penyangga Pulau Kalimantan. Luasan izin tambang itu berupa kawasan hutan sekunder 1.398,78 hektar, permukiman 51,60 hektar, sawah 147,40 hektar, serta sungai 63,12 hektar.

Aktivitas pertambangan, kata Kisworo, akan berdampak pada potensi wisata alam hilang di Desa Nateh, seperti Goa Berangin, Goa Kuhup, Goa Sawar, dan pemandangan indah di Sungai Batang Alai.

Daerah ini, katanya,  sering jadi tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari berbagai universitas di Kalimantan Selatan, termasuk Universitas Lambung Mangkurat,  setiap tahun. Untuk Desa Batutangga,  ada Bendungan Air Batang Alai yang mengatur irigasi untuk tiga kecamatan di Hulu Sungai Tengah dan menyuplai air bersih.

“Warga yakin penambangan tak membuat rakyat sejahtera, malah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan serta dampak sosial masyarakat.”

Walhi Kalsel mencatat, kehadiran pertambangan dan perkebunan sawit memicu konflik sumber daya alam dan konflik lahan. Konflik terjadi dengan pola, pelaku, dan korban sama dan terus berulang.

Walhi mencatat,  sekitar 90% pelaku terlibat konflik adalah perusahaan besar swasta, sisanya aparat, dan pemerintah. Perusahaan, katanya,  biasa berbekal izin konsesi tanpa mempertimbangkan ruang hidup masyarakat.

Catatan Walhi Kalsel, 10 tahun terakhir, dari pengaduan, tercatat ada 30 konflik sumber daya alam, agraria, dan lingkungan hidup. Konflik terjadi hampir di semua kabupaten di Kalsel.

Konflik, katanya,  dipicu pertambangan batubara dan perkebunan sawit.

 

Kampung Batutangga yang berada di lemban Pegunungan Karst Meratus, yang terancam hilang dan tergusur jika aktivitas pertambangan dilakukan PT Mantimin Coal Mining. Foto :Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Penolakan dari masyarakat sampai pemerintah daerah

Gugatan terhadap Menteri ESDM ini didukung Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Selatan. Gunawan Harjito, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Kalsel, mendukung upaya Walhi Kalsel dan Dayak Kalimantan Bersatu menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Blok Batutangga mesti dikeluarkan dari area PKP2B MCM,” katanya.

Mereka izin sepakat blok penambangan di Batutangga harus dicabut.

“Kami siap berikan data. Silakan menggugat untuk mengingatkan pemerintah pusat,” katanya.

HA Chairansyah, Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah, mengatakan, pada prinsipnya pemkab menolak pertambangan batubara dan perkebunan sawit sampai kapanpun. Pemerintah kabupaten menilai, katanya, izin menteri keluar ada sejumlah kejanggalan.

Dia sebutkan beberapa kejanggalan, misal, pemerintah kabupaten tak pernah diundang KESDM untuk menandatangani amdal dan kajian khusus amdal MCM, yang sebelumnya pernah mereka tolak.

Sejak 1999, katanya, sudah ada proyek irigasi Sungai Batang Alai di Kecamatan Batang Alai dengan target mengaliri 6.600 hektar lahan pertanian.

“Pada rapat terakhir di Swiss Bell Hotel, 14 Juni 2017, KESDM mengakui belum memiliki amdal untuk di Blok Batutangga. Yang ada baru di Blok Upau, Tabalong, hingga belum bisa menggarap di Hulu,” kata Chairansyah.

Muhammad Yani, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hulu, mengatakan, tak yakin Komisi Penilai Amdal Provinsi Kalsel  memberikan izin.

Saat itu,  dari pemprov hadir dan mengetahui sikap Pemerintah Hulu serta ada aspirasi penolakan wilayah resapan air.

Yani menduga, izin produksi Menteri ESDM untuk MCM, satu paket dengan izin lain yang meliputi Kabupaten Balangan dan Tabalong, yang sudah ada amdal.

“Ini terjadi bersamaan dengan Menteri ESDM mengeluarkan keputusan sama untuk PT Antang Gunung Meratus. Hanya Hulu Sungai Selatan dan Tapin yang bisa digarap. Sedangkan Hulu Sungai Tengah, belum ada amdal,” kata Yani.

Pemkab Hulu Sungai Tengah, katanya, harus waspada dengan tetap mempertahankan wilayah Bumi Murakata dari penambangan bersama masyarakat.

“Kami usulkan wabup, sekda atau asisten menanyakan langsung soal SK operasi produksi  ini ke kementerian. Apakah keputusan itu juga berlaku bagi Hulu Sungai Tengah? Sesuai pasal tiga di surat keputusan itu, syaratnya tetap harus mengantongi izin amdal.”

Serupa dikatakan Ikhlas Indar, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalsel. Izin PKP2B kepada MCM di Hulu Sungai Tengah, belum ada amdal.

Pemerintah Kalsel, katanya, belum pernah mengeluarkan amdal kepada MCM.  Kewenangan amdal,  sekarang berada di Dinas Lingkungan Hidup Kalsel, bukan di kabupaten.

Sejak 2012 hingga kini, katanya, tak pernah menerima permohonan revisi amdal, apalagi menerbitkan dokumen amdal baru untuk MCM.

Dalam rentang 2009-2010, kata Ikhlas, MCM pernah mengajukan revisi amdal ke DLH Kalsel. Namun, banyak kendala harus dihadapi untuk membahas amdal perusahaan ini, seperti akses pengangkutan batubara dalam aktivitas produksi dan ada penolakan masyarakat.

Atas dasar itu, katanya, dinas menolak dan mengembalikan permohonan amdal MCM. Hingga kini,  belum ada lagi pengajuan amdal.

Soal KESDM bisa mengeluarkan rekomendasi skala produksi bagi MCM, Ikhlas menduga SK KESDM itu terbit dalam rangkaian perizinan sebelumnya yang sudah dikantongi MCM.

“Yang jelas, walau sudah memiliki SK Menteri ESDM, jika amdal belum ada, perusahaan tak bisa menambang,” kata Ikhlas.

Hanif Faisol Nurofiq,  Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, tegas mengatakan, dua blok areal pertambangan milik MCM yang memiliki PKP2B dari KESDM, tak mengantongi dokumen izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

“IPPKH tidak ada, tidak boleh bekerja, dan bisa ditangkap ketika operasi produksi,” katanya.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan mengatakan, upaya hukum Walhi menggugat kebijakan Menteri ESDM sebagai bagian dari upaya memaksa negara mengedepankan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

Dirjen Minerba KESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, kalau MCM tak punya amdal, perusahaan tak boleh operasi produksi atau melakukan kegiatan pertambangan.

MCM, katanya,  ada amdal hanya di Tabalong, di Hulu Sungai Tengah tak ada. Jadi, katanya, perusahaan hanya boleh operasi produksi di Tabalong dan Balangan.

“Perusahaan ini memiliki tiga blok, yakni, Balangan Tabalong dan Hulu Sungai Tengah. Hanya di blok Tabalong yang memiliki amdal,” katanya.

Menurut dia, amdal lahir setelah perusahaan mengantongi izin prinsip, izin lingkungan hingga izin operasional produksi yang dikeluarkan KESDM.

Untuk mendapatkan amdal, tahapan mencakup persetujuan dari pemerintah daerah termasuk pemerintah provinsi melalui Dinas Lingkungan Hidup.

Mongabay, mencari informasi kantor utama MCM, untuk konfirmasi. Berdasarkan data perusahaan di website resmi KESDM, Direktur Utama MCM Lakshmi Narayanan, dengan kepemilikan saham PT. Bangun Asia Persada 95% dan PT. Yuni Nur Has 5%. Mongabay mencoba menghubungi perusahaan, namun belum ada respon.

 

Foto utama:  Sungai di Desa Nateh yang digunakan untuk irigasi dan kehidupan warga di desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Spanduk penolakan dan kain tanda tangan dukungan penyelamatan masyarakat dan kelestarian Pegunungan Meratus dari tambang batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongbay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version