Mongabay.co.id

Perubahan Cuaca yang Berpengaruh pada Produktivitas Kopi Gayo

Kopi Arabika Gayo merupakan salah satu kopi terbaik di Indonesia yang mendunia. Kopi yang tumbuh di dataran tinggi Aceh, yaitu di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues ini dikenal akan cita rasanya yang nikmat.

Identitas kopi ini semakin dikenal publik setelah memperoleh sertifikat Indikasi Geografis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 28 April 2010. Juga, sertifikat Indikasi Geografis Uni Eropa pada 26 Oktober 2015. Diperkirakan, luas kebun kopi masyarakat yang tersebar di tiga kabupaten ini sekitar 120 ribu hektar yang 44 persen lahannya berada di Aceh Tengah.

Bagaimana kondisi tanaman kopi masyarakat saat ini? Ternyata, perubahan cuaca yang terjadi belakangan ini berpengaruh pada  produktivitas kopi.

Syukri, petani di Kabupaten Aceh Tengah mengatakan, hasil panen kopinya menurun pada 2017. Bahkan, tahun lalu, tidak ada panen raya. Salah satu penyebabnya karena cuaca yang tidak menentu.   “Saat harusnya musim hujan, ternyata kemarau dan begitu sebaliknya,” ujarnya.

Baca: Foto: Kopi Arabika, Mutiara dari Tanah Gayo yang Mendunia

 

Kopi Arabika Gayo yang begitu dikenal di Indonesia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Syukri, saat bunga kopi mulai berbentuk biji, dibutuhkan hujan untuk memadatkan buah. Ketika hujan tidak turun, biji kopi akan kosong atau malah rontok. “Saat musim panen, harusnya saat musim panas karena biji kopi harus dijemur. Tapi kadang hujan turun sehingga biji kopi busuk karena tidak cukup kering,” jelasnya.

Win Ruhdi Bathin, petani kopi Aceh Tengah lainnya juga mengungkapkan hal yang sama. Hasil produksi kopinya di 2017 diperkirakan turun hampir 50 persen. Selain gagal panen akibat perubahan cuaca, juga karena ulat mulai menyerang.   “Dalam dua tahun terakhir, cuaca tidak menentu. Ini berdampak pada hasil panen. Bahkan ulat juga telah menyerang kopi yang didatan di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Sebelumnya, hanya tanaman yang dibawah 800 meter saja,” terangnya.

 

Kopi yang matang tampak dipetik dari pohonnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Khawatir

Surya Apra, pegiat lingkungan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, menyampaikan kekhawatirannya akan menurunnya produktivitas kopi arabika dikarenakan perubahan tutupan hutan. Menurut dia, alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang terjadi untuk berbagai kegiatan berdampak negatif terhadap hasil panen kopi.

“Jika pembukaan lahan tidak segera dihentikan, suhu udara di wilayah tengah Aceh akan panas dan berpengaruh pada kopi. Sekitar 90 persen masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah, hidup dari kopi arabika,” ujarnya.

Menurut Surya, hasil penelitian International Coffee Organization (ICO) di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah menunjukkan, suhu di dua kabupaten tersebut telah meningkat ke 22 derajat Celcius. “Jika suhu terus naik hingga 25 derajat, dapat dipastikan, cita rasa kopi akan menurun, atau malah petani gagal panen.”

Baca juga: Pembabatan Hutan yang Mengancam Potensi Kopi Arabika Dataran Tinggi Gayo

 

Biji kopi arabika dijemur hingga kering. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sri Wahyuni, petani kopi yang juga aktivis Aceh Green Community menuturkan, hutan sangat mempengaruhi tanaman kopi yang terletak di dataran tinggi.   “Kopi tidak sanggup menahan cuaca panas dan memerlukan air sehingga harus ada pohon pelindung. Kalau hutan rusak, air berkurang dan cuaca menjadi panas, inilah yang menyebabkan produksi kopi Gayo menurun.”

Sri Wahyuni mengatakan, pembukaan hutan untuk berbagai kepentingan termasuk perkebunan kentang di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, telah berpengaruh pada tanaman kopi.   “Suhu panas dan hama menyerang buah atau batang. Ekosistem telah terganggu dan secepatnya harus diperbaiki. Jangan lagi rusak hutan untuk berbagai kepentingan, kopi butuh hutan untuk pelindung.”

 

Tampak para pekerja tengah memisahkan biji kopi arabika. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Danurfan, pengusaha Leuser Coffee di Banda Aceh mengatakan, semua pihak harus berpikir dan melakukan tindakan nyata untuk menyelamatkan kopi Gayo yang mulai menurun produktivitasnya.

“Leuser Coffee telah berkomitmen, bersama petani menjaga kawasan hutan. Juga, tidak akan membeli atau menjual kopi yang ditanam di kebun hasil membuka hutan. Kopi Gayo sangat tergantung hutan, kalau hutan rusak kita semua akan menerima dampaknya,” jelasnya.

 

Kopi arabika pilihan yang mutunya harus dipertahankan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Geographic Information System (GIS) yang dirilis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), luas tutupan hutan di Kabupaten Aceh Tengah pada 2016 sekitar 264,281 hektar. Namun, pada 2017, menurun menjadi 262,387 hektar, atau hilang seluas 1,894 hektar.

Hal yang sama terjadi di Kabupaten Bener Meriah. Pada 2016, luas tutupan hutannya mencapai 102,271   hektar. Namun, pada 2017 turun menjadi 101,702 hektar atau terjadi kerusakan seluas 569   hektar.

 

 

Exit mobile version