Mongabay.co.id

Nasib Warga Rangkiling Bakti yang Hidup di Dekat Tambang Batubara (Bagian 1)

Warga kesulitan air bersih setelah perusahaan tambang datang. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Kedatangan Seluma Prima Coal, perusahaan tambang batubara, membuat warga Desa Rangkiling Bakti, kesulitan mendapatkan air bersih. Belum lagi masalah lain pun muncul…

Duduk di atas papan, tangan Halimah berulang kali mengeruk pasir dalam Sungai Sungumai yang berair sejengkal tangan.

Perempuan 48 tahun itu mesti membuat cekungan agar gayung mandi bebas menyelam dan keluar dari air tanpa takut kemasukan pasir. Puluhan tahun, Sungai Sungumai  jadi andalan warga Rangkiling Bakti mandi dan cuci pakaian. Sungumai merupakan anak Sungai Tembesi, dengan hulu di rawa dalam kawasan hutan, di Mandiangin.

“Kalau dulu air jernih, sekarang gini jadi keruh,” katanya, sembari mengucek pakaian. Saya melihat langsung kondisi Sungai Sungumai, pada Jumat kedua Februari.

Sejak PT Seluma Prima Coal (SPC) beroperasi, dan mengalihkan aliran Sungai Sungumai pada 2016, kehidupan warga Rangkiling Bakti, Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi, terganggu.

Ratusan warga di RT 03 dan 04, Rangkiling Bakti yang bergantung dengan  Sungai Sungumai kebingungan mencari air bersih.

“Kalau hari ini agak beninglah. Yang keruh itu kalau habis hujan, hitam airnya,” kata Halimah.

Prismar, Sekretaris Desa Rangkiling Bakti cerita, dulu lebar sungai empat meter, dan cukup dalam. Sejak perusahaan tambang batubara mengalihkan sungai, banyak pasir dan lumpur masuk ke sungai hingga jadi dangkal dan sempit.

“Dulu lebar sungai ini sepanjang papan itu, sekarang tengoklah, jadi sempit. Dua meter bae kurang,” katanya sembari menunjuk papan yang diduduki Halimah.

“Dulu ikan banyak, sekarang nggak ada lagi. Hilang semua.”

Dulu, saat nganggur, Prismar kerap menghabiskan waktu mancing di Sungai Sungumai. Dia bisa dapat gabus, dan beberapa jenis ikan tawar lain.

 

Timbunan batubara milik PT SPC. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Prismar menuding, endapan pasir dan lumpur itu karena pengalihan sungai yang semula di tengah lokasi tambang SPC. Perusahaan mengalihkan sungai ke pinggir lokasi tambang, dengan membuat aliran buatan selebar tiga meter nyaris tanpa kelokan.

“Kalau dulu mandi bisa berendam, sekarang tengok banyak pasir. Itu sejak tambang buka,” katanya.

Saya menancapkan ranting ke dalam lumpur di tempat biasa Halimah dan warga lain mencuci, lumpur bercampur pasir itu berlapis hingga tebal satu meteran. Lokasi tempat Halimah mencuci hanya berjarak sekitar 200 meter dari bibir tambang SPC, terhalang kebun karet milik Adnan.

“Kalau kebun karet ini jadi dibeli perusahaan, habislah,” katanya

Prismar, mengatakan, keluarganya dan ratusan orang lain akan pindah ke Sungai Tembesi berjarak hampir satu kilometer, untuk mandi dan cuci pakaian.

Dia bilang, banyak warga 03 dan 04 tak punya sumur. Sekitar 100 keluarga kurang dari 10 punya sumur. Warga biasa bergantung air sungai yang tak pernah surut. “Di sini ini yang punya sumur bisa dihitung dengan jari.”

Sejak galian tambang mulai dibuka,  sumur warga pun cepat kering, terlebih jika hari jarang turun hujan. “Sumur kering. Kalau dulu lima, enam meter udah ketemu air. Sekarang, kalah dengan lubang tambang, jadi airnya ngalir ke sana (lubang tambang) semua,” katanya.

Untuk mengganti air sungai yang keruh, perusahaan menyumbang enam titik sumur bor yang ditempatkan tiga di RT 03 dan tiga di RT 04, salah satu di samping rumah Prismar.

Kedalaman sumur bor bervariasi, mulai dari 30-50 meter. Namun, kata Sekdes Rangkiling Bakti ini air sumur bor bau dan tak bagus buat masak.

“Kalau buat betanak (masak nasi) nasi jadi kuning, jadi kami takut mau masak pakai air ini. Paling air buat cuci piring. Kalau mandi tetap di sungai.”

Aisah, istri Prismar bilang, untuk masak dan minum pakai air isi ulang. Namun, dia tetap perlu air sumur bor untuk mencukupi kebutuhan di rumah.

 

 

Warga protes

Kekesalan warga berujung demo di depan jalan masuk lokasi tambang SPC, Rabu 24 Januari. Puluhan warga Rangkiling Bakti menuntut perusahaan tanggung jawab pada kerusakan lingkungan yang timbul karena tambang.

Aksi ini diorganisir Asmara, Ketua Forum Pembela Rakyat (Forpera) Sarolangun, yang tinggal di Rangkiling Simpang.

Asmara menuding, SPC dan PT. Marlin Serantau Alam (MSA) yang lokasi tambang sehamparan dengan SPC, mengabaikan kelestarian lingkungan yang mengakibatkan Sungai Sungumai tercemar.

“Perkebunan karet—milik Syaiful Islam—dan batang durian warga–milik Husein—juga banyak yang mati,” katanya.

Dalam orasi mereka ada 10 tuntutan, mulai dari pemberian dana tanggung jawab sosial, BPJS gratis bagi warga sekitar tambang, membuat kolam ikan karena Sungai Sungumai tercemar, sampai membuka lapangan kerja untuk warga Rangkiling Bakti dan Rangkiling Simpang.

 

Perusahaan membuat aliran sungai baru untuk memindahkan Sungai Sungumai. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Asmara juga menuntut agar PT.Universal Support (US) yang jadi kontraktor kedua perusahaan tambang, ikut tanggung jawab.

Desakan warga makin kuat, karena perusahaan sampai sekarang belum mengantongi izin lingkungan pemindahan aliran Sungai Sungumai. Asmara memanfaatkan wartawan lokal untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Syarifuddin Gaffaru Kepala Teknik Tambang SPC mengatakan, kalau pengalihan jalur sungai karena aliran Sungai Sungumai membelah dua konsesi tambang SPC. Pemindahan aliran anak Sungai Tembesi itu dilakukan pada 2016.

Perusahaan, katanya, mengajukan izin lingkungan ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Sarolangun pada tahun sama tetapi belum keluar. Syarif berdalih terpaksa jalan, lantaran proses perizinan di pemerintah begitu lama.

“Pada 2016, saya permohon ke pemda (Sarolangun) sampai 2017 tak ada tanggapan. Jadi saya lari ke provinsi, saya tanya-tanya, masuklah saya ke BWSS—Balai Wilayah Sungai Sumatera VI Jambi—saya dikasihlah tunjuk ke PUPR Jakarta.”

“Kita bermohon saat itu, kalau kita menunggu mungkin kita tidak jalan sampai sekarang.”

Saat ini, katanya, izin pemindahan sungai tengah proses di Kementrian PUPR. “Jadi sekarang saya tinggal menunggu informasi dari PUPR,” katanya.

Menurut Syarif, Dinas PUPR Sarolangun kurang respon, hingga perizinan di daerah juga lambat. “Itu buktinya, 2016 saya ngajukan surat permohonan ke PUPR Sarolangun, 2017 saya ajukan ke provinsi lagi tapi tidak ada kejelasan.”

Ibnu Ziady, Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Sarolagun, bilang lamanya proses perizinan pemindahan sungai SPC karena Dinas PUPR Sarolangun belum pernah mengeluarkan rekomendasi teknis terkait pemindahan sungai.

“Tentunya kita perlu belajar dulu dari kawan-kawan di provinsi masalah format, blanko dan apa saja.”

Dia tak tahu apa persyaratan yang harus dilengkapi untuk izin pemindahan sungai. “Maka kemarin saya disposisi ke Kabid Sumber Daya Alam, tolong telaah, pelajari, koordinasi dengan bidang SDA provinsi yang sudah pernah melakukan itu. Jangan sampai format maupun substansi rekomendasi kita ndak sesuai,” katanya.

Dia baru dilantik jadi sekretaris sekaligus Plt Kadis PUPR pada Selasa, 3 Oktober 2017. Katanya, jika SPC pernah mengajukan izin pemindahan sungai itu sebelum jadi tanggung jawabnya.

“Kita masih pelajari dulu formatnya. Kalau sudah ada secepatnyalah,  ngapain kita lama-lama.”

SPC mulai mengajukan izin tambang pada 2009, dan mulai beroperasi pada 2015. Dalam catatan Dinas Energi Sumber Daya Mineral, Jambi,  SPC mengajukan izin tambang ke Pemkab Sarolangun 8 Juni 2009, dan izin BKPM Jakarta baru mengeluarkan izin penanaman modal asing pada 13 Desember 2016, dengan nomor 44/I/IUP/PMA/2016 dengan luas konsesi 1.116 hektar, di Desa Rangkiling, Mandiangin, Sarolangun.

Dari luas izin kawasan itu, sekitar 457 hektar merupakan kawasan hutan.

Syarif mengaku telah mendapatkan rekomendasi gubernur, namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum menyetujui. Sisanya, di kawasan areal penggunaan lain, dengan lebih 100 hektar sudah jadi perkebunan masyarakat. SPC membeli Rp50 juta per hektar. (Bersambung)

 

Foto utama: Warga kesulitan air bersih setelah perusahaan tambang datang. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi Sungai Sungumai , terdapat banyak sepihan batubara. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version