Mongabay.co.id

Hutan Mangrove di Aceh Tamiang Rusak, Begini Kondisinya

Aceh Tamiang merupakan kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki hutan mangrove luas. Namun, hutan di pesisir timur Aceh tersebut rusak, akibat berbagai kegiatan ilegal.

Dalam   SK   Menteri Kehutanan Nomor   SK.103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor   SK.865/Menhut-II/2014 tanggal 29    September 2014 mengenai Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan, luas hutan pesisir mangrove di Kabupaten Aceh Tamiang adalah 24.013,5 hektar.

“Dari luasan tersebut, 18.904,26 hektar berupa hutan produksi, sementara 5.109,24 hektar berstatus hutan lindung,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur, Senin (12/3/2018).

Muhammad Nur menambahkan, hutan mangrove yang keseluruhan tersebar di   Kecamatan Seuruway, Bendahara, Banda Mulia, serta Manyak Payed itu, sekitar 85 persen dalam kondisi rusak akibat dirambah. Kayunya dijadikan bahan baku arang. Meski begitu ada juga yang menebang mangrove untuk dijadikan tambak atau kebun sawit.

“Perambahan yang dilakukan masyarakat, sebagian besar dibiayai pemilik dapur arang, yang jumlahnya lebih 200 unit. Secara umum, dapur tersebut diindikasikan tidak memiliki izin,” terangnya.

Baca: Penting Bagi Kehidupan, Harusnya Mangrove Tidak Dirusak

 

Hutan mangrove di Aceh Tamiang ini terus dirambah untuk berbagai kepentingan. Mulai dari dijadikan tambak hingga bahan baku dapur arang. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya mangrove, selain menimbulkan abrasi pantai dan sungai, juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. Walhi Aceh berharap, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh segera melakukan penertiban dan merehabilitasi kawasan yang rusak.

Pemerintah Aceh Tamiang dan Pemerintah Provinsi Aceh juga harus memfasilitasi ekonomi alternatif kepada masyarakat, yang selama ini bergantung hidup pada kegiatan ilegal tersebut.   “Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memfasilitasi pembentukan perhutanan sosial,” ungkapnya.

 

Nelayan lokal di Aceh Tamiang yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan dan udang. Mereka resah dengan kondisi mangrove yang terus dirusak. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Aceh Tamiang, Khairul Azmi mengatakan, sejak hutan mangrove di Aceh Tamiang rusak, tangkapan ikan nelayan tradisional juga menurun.   “Begitu juga dengan kepiting bakau yang mulai sulit didapat padahal harganya lumayan mahal. Hal yang sama juga dengan udang yang perlahan menghilang.”

Khairul Azmi mengatakan, jika hal ini terus terjadi, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencaharian dan menambah angka kemiskinan di Aceh Tamiang.

“Pengrusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang hanya menguntungkan segelintir orang. Baiknya, hutan ini dijaga sehingga masyarakat dapat terus menikmati hasil tangkapan ikan, udang dan kepiting,” ujarnya.

 

Kepiting bakau, biasa masyarakat menyebut, merupakan andalan nelayan lokal Aceh Tamiang. Kepiting berkurang seiring rusaknya mangrove. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Perhatian serius

Husaini dari Yayasan Sheep Indonesia (YSI) Wilayah Aceh menyebutkan hal yang sama. Menurut dia, kerusakan ini harus ada perhatian serius dari pemerintah.   “Dampak buruk dari rusaknya hutan mangrove adalah hilangnya biota mangrove seperti kepiting dan udang serta ikan yang merupakan tangkapan nelayan tradisional. Meningkatnya intrusi air laut ke daratan bakal membuat air sumur masyarakat menjadi payau, tidak bisa digunakan sebagai air minum.”

Padahal, jika mangrove tidak dirusak, atau hutan dipertahankan, kondisi tersebut akan menguntungkan masyarakat. Juga, mendatangkan pendapatan untuk daerah.   “Misalnya hutan mangrove ini dijadikan sebagai tempat wisata. Ini, sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kota Langsa, mengembangkan ekowisata hutan mangrove, yang bertetangga dengan Kabupaten Aceh Tamiang,” terangnya.

Ini momentum yang tepat bagi Pemerintah Aceh Tamiang untuk    memasukkan rencana pengelolaan hutan mangrove sebagai prioritas pembangunan. Pemerintah Aceh Tamiang, saat ini tengah menyusun revisi qanun atau perda tentang RPJM Daerah dan Qanun RTRW Daerah.   “Kajian lingkungan hidup strategis kedua qanun tersebut juga dalam penyusunan, jadi ini kondisi ideal,” jelasnya.

 

Udang juga menjadi andalan mata pencaharian nelayan Aceh Tamiang, selain kepiting dan ikan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Saminuddin B Tau mengakui, saat ini tutupan hutan mangrove di Aceh Tamiang terus berkurang akibat kegiatan ilegal.   “Hutan mangrove di Aceh Tamiang tersisa sekitar 40 persen. Meskipun tutupan hutannya menurun, namun statusnya sebagai kawasan hutan tidak berubah.”

Saminuddin menyebutkan, selain berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit dan areal tambak, hutan mangrove di Aceh Tamiang juga berkurang akibat penebangan liar untuk bahan baku arang.

“Dapur arang ini sulit dihentikan karena melibatkan banyak pihak termasuk dari luar Aceh. Ada oknum aparat dari Medan, Sumatera Utara, yang sudah sangat dikenal oleh petugas kehutanan sebagai backing kegiatan pengiriman arang dari Aceh Tamiang ke Sumatera Utara. Saat ini sedang dicarikan solusi menghentikannya,” tuturnya.

 

Mangrove yang berperan penting bagi kehidupan manusia harus dijaga dan dikelola dengan bijak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Saminuddin menambahkan, untuk memperbaiki hutan mangrove di Aceh Tamian yang rusak, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh sedang bekerja sama dengan lembaga non-pemerintah menyusun rencana perbaikan guna mengembalikan kembali fungsinya.

“Kita akan merehabilitasi hutan yang rusak dan sedang mencari solusi terbaik agar perambahan dan kegiatan ilegal tidak lagi terjadi,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version