Mongabay.co.id

Mendorong Negara untuk Menjamin Hak Politik Masyarakat Adat. Bagaimana Caranya?

Masyarakat adat, selama ini, menjadi pihak yang paling terdampak kebijakan-kebijakan politik. Persoalan tersebut diduga, karena sistem dalam pemilihan umum dianggap belum cukup menampung keterlibatan masyarakat adat di seluruh Indonesia. Serta, cenderung mengerdilkan sistem kearifan lokal dalam pemilihan wakil-wakil dari golongan masyarakat adat.

Sebagai cara untuk mencari solusi dari permasalahan tadi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggelar dialog umum bertema “Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pemilu (Politik Elektoral: Pertaruhan Masa Depan Masyarakat Adat” yang digelar di desa Koha, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Menurut Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, masyarakat adat perlu melakukan konstruksi untuk melengkapi model demokrasi liberal saat ini. “Dengan begitu, masyarakat adat bisa ikut berpartisipasi mentukan arah bangsa,” ujarnya, pada Rabu (14/3/2018).

baca : Bertemu AMAN, Presiden Kuatkan Komitmen Termasuk Segerakan Satgas Masyarakat Adat

 

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, dalam acara dialog umum bertema “Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pemilu (Politik Elektoral: Pertaruhan Masa Depan Masyarakat Adat” yang digelar di desa Koha, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (14/3/2018). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Namun, sebelum mewujudkan keinganan tersebut, pihaknya harus membereskan sejumlah persoalan. Dikatakan Rukka, saat ini, jumlah anggota AMAN mencapai 17 juta jiwa dengan usia wajib pilih 12 juta jiwa.

Dari angka tersebut, mereka memperkirakan, terdapat setidaknya 1 juta masyarakat adat terancam tidak bisa ikut serta dalam pemilihan umum. Diyakini, sumber persoalan itu disebabkan permasalahan administratif dan wilayah geografis yang jauh dari jangkauan pemerintah, sebagai penyelenggara Pemilu.

Rukka mencontohkan, sesuai surat Kementerian Dalam Negeri, kolom agama di KTP sebenarnya sudah boleh kosong. “Tapi untuk masuk secara spesifik sesuai MK 35, belum operasional dan sampai saat ini masih banyak perlawanan. Kemudian, untuk wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan, KPU harusnya bisa memastikan mereka bisa berpartisipasi dalam pesta demokrasi kedepannya,” terangnya.

Pada lain pihak, Pramono Tanthowi, komisioner KPU RI mengatakan, hingga akhir 2017 perekaman e-KTP mencapai 96,4%. Dari presentase itu, yang belum melakukan perekaman sekitar 3,6% atau 7 juta jiwa dari 193 juta pemilih pada Pemilu 2019.

Meski demikian, pihaknya yakin, persoalan administratif yang dihadapi masyarakat adat masih bisa diadvokasi oleh KPU setempat bekerjasama dengan pengawas pemilu dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di masing-masing kabupaten atau kota.

“Warga yang belum memiliki e-KTP segera melakukan perekaman. Jika data mereka sudah ada di administrasi kependudukan kita, mereka akan diberi e-KTP atau surat keterangan pengganti KTP. Kalau tidak, mereka akan diberi suket khusus untuk memberi suara di pilkada,” ujar Pramono.

Karenanya, dia juga berharap, berbagai pihak mengambil tempat untuk menyelesaikan persoalan ini secara bersama-sama. “Jadi harus dua arah, bukan hanya KPU dan Dinas Kependudukan Catatan Sipil, tapi masyarakat adatnya juga memobilisasi warganya untuk mencatatkan diri. Lapor ke pengawas pemilu, lapor ke KPU setempat. Jadi harus tetap tercatat,” terang Pramono ketika diwawancarai Mongabay.

baca : Opini: Menagih Utang Konstitusi soal Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

 

Abdon Nababan, wakil ketua dewan AMAN (kiri) dalam acara dialog umum bertema “Partisipasi Masyarakat Adat dalam Pemilu (Politik Elektoral: Pertaruhan Masa Depan Masyarakat Adat” yang digelar di desa Koha, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (14/3/2018). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Demokrasi Masyarakat Adat

Abdon Nababan, wakil ketua dewan AMAN, dalam pidatonya mengatakan, pada dasarnya masyarakat adat telah memiliki sistem demokrasi sendiri, lengkap dengan mekanisme pertahanan dari berbagai ancaman dan perusakan dari luar. Selain itu, masyarakat adat, pada tingkat yang berbeda-beda, telah berinteraksi dan beradaptasi dengan dunia luar.

“Bagi masyarakat adat, keputusan yang paling mulia adalah keputusan yang diambil secara musyawarah, di mana keputusan diambil berdasarkan akal paling sehat yang ditemukan bersama melalui pergulatan pemikiran di seluruh kalangan warga adat. Sedangkan, keputusan yang paling rendah nilainya adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak, di mana keputusan diambil atas kepentingan pragmatis,” terangnya.

Hanya saja, masih dikatakan Abdon, mekanisme adaptasi dan pertahanan diri itu telah terkacau-balaukan oleh gempuran sangat keras yang difasilitasi, didorong bahkan dilakukan sendiri oleh birokrasi pemerintah dan institusi pemerintah lainnya. Karenanya, negara diharap untuk melakukan sejumlah perubahan dengan memulihkan hak-hak adat dan menegakkan otonomi lembaga adat.

Abdon mengusulkan pada pemerintah untuk terus-menerus membangun otonomi asli yang berakar pada budaya lokal dan kearifan adat, menerapkan demokrasi yang partisipatif dalam pengambilan keputusan bersama di tingkat komunitas, serta menumbuh-suburukan keberanian politik pemimpin-pemimpin lokal untuk merebut hak politik komunitas adatnya.

“Peran aktif masyarakat adat nusantara dalam politik adalah Bhineka Tunggal Ika in action,” tegas Abdon.

baca : Menanti Gerak Cepat DPR Rampungkan RUU Masyarakat Adat

 

Laode M Syarif, Wakil Ketua KPK (tengah), berfoto bersama anggota komunitas adat yang hadir dalam dialog umum yang digelar di desa Koha, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (14/3/2018). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Adat, Pemilu dan Pemberantasan Korupsi

Pada kesempatan yang sama, Laode Muhammad Syarif, wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, masyarakat adat perlu terlibat langsung untuk memilih wakil-wakil rakyat yang berintegritas. Sebab, menjelang Pilkada, biasanya, terjadi transaksi antara calon kepala daerah dengan pemodal.

“Nanti kalau saya jadi kepala daerah, bupati, walikota atau gubernur, nanti saya beri izin sumberdaya alam,” demikian dicontohkan Laode.

Menurut catatan KPK, hingga 31 Desember 2017, terdapat 89 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Diyakini, hal tersebut didorong oleh kondisi sebagian besar masyarakat yang belum memahami profil calon kepala daerah.

“Sebagian besar atau 83% responden memilih atau berpartisipasi dalam pilkada, namun sebetulnya hanya 30% yang tahu profil kandidat kepala daerah,” papar Laode.

“75% responden pernah mengetahui, mendengar atau melihat peristiwa pembagian uang atau barang atau fasilitas dari peserta Pemilu kepada masyarakat, saat menjelang Pemilu. Jumlah yang sangat signifikan ini mencerminkan betapa permisifnya pemilih di Indonesia,” tambahnya.

baca : Peran Masyarakat Adat di Wilayah Pesisir Sangat Penting, Seperti Apa?

Lewat catatan-catatan itu, KPK berharap masyarakat mau meningkatkan kesadaran, baik melalui sosialisasi yang masif maupun penerapan sistem yang mampu menangkal politik uang. Sehingga, Loade menilai, AMAN sebagai organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia, dapat menjadi mitra strategis KPK untuk pemberantasan korupsi.

“Kita tahu, korupsi di sektor sumber daya alam, menjadi fokus utama KPK. Korupsi di bidang ini banyak merugikan masyarakat. Pelakunya seperti biasa, konspirasi antara pengusaha dan penguasa. Di mana-mana sama. Biasanya tentang manipulasi perizinan, kemudian tidak melaporkan atau mengurangi hasil yang didapat.”

“Karena AMAN ada di seluruh Indonesia, maka KPK ingin menjalin hubungan agar kampanye anti korupsi bisa kami salurkan lewat aman. Yang kedua, sesuai diskusi dengan Sekjen, mungkin AMAN bisa bikin divisi khusus anti korupsi,” tambah Laode.

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, membenarkan bahwa korupsi di sektor sumber daya alam merupakan salah satu yang merugikan negara dan banyak terjadi di wilayah adat. Maka, sebagai tindaklanjut dari usulan Laode, pihaknya berencana membuat diskusi fokus dan workshop untuk melihat peluang kerjasama antara masyarakat adat dengan KPK.

“Jadi kami bisa memastikan bahwa KPK juga membantu kami untuk memberantas, mencegah dan memonitoring korupsi di wilayah-wilayah adat. Jadi ini akan segera dibicarakan dalam Rakernas. Itu masuk dalam agenda prioritas, semoga bisa diterima dalam Rakernas ini,” pungkas Rukka.

 

Exit mobile version