Mongabay.co.id

Pemprov Jateng Langgar Undang-Undang dalam Pembahasan Zonasi Pesisir?

Desakan Pemerintah Pusat agar seluruh Pemerintah Provinsi bisa segera mengesahkan peraturan daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dinilai sudah memicu terjadinya kecacatan draf rancangan Perda di sejumlah provinsi, salah satunya Jawa Tengah. Kecacatan tersebut muncul, karena daerah terkesan dipaksa untuk segera menyelesaikan secepat mungkin.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) membeberkan, kecacatan naskah mulai terlihat dalam draf Raperda RZWP3K yang tengah diproses di Jateng. Di provinsi tersebut, setidaknya terdapat tiga kecacatan yang harus mendapat perhatian semua pihak yang ikut terlibat dalam penyusunan draf tersebut.

Pertama, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, dari hasil analisa yang dilakukan bersama Layar Nusantara dan Forum Nelayan Jateng, Pemprov Jateng diketahui masih menggunakan data Badan Informasi Geospasial (BIG) 2013 untuk penyusunan draf raperda. Padahal, data tersebut dinilai sudah tidak relevan dan berpotensi bisa meningkatkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir di Jawa Tengah.

baca : ASP Menolak Raperda Zonasi Pesisir Sulsel. Ada Apakah?

 

Konstruksi bendungan permeable untuk restorasi pesisir pantai utara Jawas di Desa Timbul Sloko, Demak, Jateng. Foto : Een Irawan/Rekam Nusantara

 

“Penyusunan RZWP3K ini merupakan amanat Undang-Undang No.27/2007 junto UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang wajib disusun dalam bentuk perda,” ucap dia di Jakarta, pekan lalu.

Poin kedua yang menjadi perhatian KIARA, adalah karena dalam proses penyusunan draf Raperda RZWP3K Jateng, dalam pelaksanaannya masih belum memberikan jaminan keterlibatan aktif masyarakat pesisir. Fakta tersebut, menjelaskan bahwa draf yang sudah ada sekarang bukanlah berasal dari aspirasi dan kepentingan kehidupan masyarakat pesisir.

Menurut Susan, ketiadaan partisipasi aktif masyarakat dalam penyusunan draf Raperda RZWP3K, semakin menegaskan adanya dugaan keterlibatan pihak lain seperti pebisnis ataupun investor asing. Keterlibatan mereka, diduga kuat untuk memuluskan langkah mereka dalam mengeruk dan mengeksploitasi sumber daya alam serta kekayaan laut di Jateng.

Poin ketiga yang juga dinilai sebagai kecacatan, kata Susan, adalah klausul yang menyebutkan pengaturan tentang izin lokasi, dimana setiap orang termasuk nelayan harus mengajukan izin pengelolaan. Peraturan yang tertuang dalam pasal itu, dinilai menjadi praktik diskriminasi terhadap masyarakat pesisir.

“Yang akhirnya akan terus memiskinkan kehidupan mereka sekaligus menghilangkan kontrol serta akses masyarakat terhadap lautnya,” tegas dia.

baca : Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?

 

Sejumlah perahu milik nelayan pulang melaut dari mencari ikan di perairan Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jateng, awal September 2017. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Secara prinsip, KIARA menilai draf Raperda RZWP3K Jateng bertentangan dengan UU No.27/2007 jo UU No.1/2014 yang mengamanatkan keterlibatan aktif masyarakat pesisir dalam penyusunan Ranperda RZWP3K. Dalam pasal 14 UU No.1/2014 diamanatkan harus ada keterlibatan aktif masyarakat dalam penyusunan Ranperda RZWP3K.

“Namun, faktanya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melanggarnya. Kami menilai Draf Ranperda RZWP3K Provinsi Jawa Tengah tidak sesuai dengan UU,” tegasnya.

Tak hanya pelanggaran di atas, KIARA juga menilai, penggunaan data lama untuk penetapan draf Raperda RZWP3K Jateng yang dilakukan Pemprov, seharusnya tidak perlu dilakukan. Menurut Susan, cara tersebut menjadi bentuk menipulasi data karena bisa meligitimasi seluruh kebijakan yang akan merugikan masyarakat pesisir.

“Meski kemasannya terlihat menguntungkan,” sebut dia.

Untuk itu, Susan dan koalisi meminta Pemprov Jateng untuk segera mengubah substansi raperda RZWP3K Provinsi Jawa Tengah dan segera memberikan ruang yang sangat besar kepada masyarakat pesisir untuk menjadi stakeholder utama dalam menentukan pengelolaan ruang laut di wilayahnya.

baca : Raperda Rencana Zonasi DKI Jakarta Rawan Penyelewengan, Seperti Apa Itu?

 

Kapal-kapal nelayan di Roban, Kabupaten Batang, Jateng terparkir tak bisa melaut karena musim ekstrem. Foto : Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Sinergitas Peraturan

Di sisi lain, walau ada penilaian yang tidak baik, Pemerintah terus mendorong semua provinsi untuk segera menyelesaikan pembuatan raperda RZWP3K. Bahkan, Pemerintah Pusat memberi tenggat waktu hingga akhir 2018 bagi semua provinsi untuk menyelesaikan raperda dan mengesahkannya menjadi Perda.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono di Jakarta, pekan ini mengatakan, mengacu pada Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), disebutkan bahwa penataan ruang laut pesisir, darat terpadu dan zonasi wilayah pesisir termasuk program atau kegiatan prioritas nasional.

“Nantinya, bisa menjadi dasar pemberian izin (untuk) pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas dia.

Menurut Agung, jika semua provinsi sudah menyelesaikan pembuatan perda RZWP3K, maka itu akan membantu proses pembuatan perizinan peraturan untuk peningkatan ekonomi akan lebih mudah. Selain itu, dengan adanya perda, diharapkan sudah tidak ada lagi peraturan yang tumpang tindih.

Dengan kata lain, Agus menegaskan, keberadaan perda RZWP3K nantinya akan digunakan juga untuk mengatur tata ruang di pesisir dan pulau-pulau kecil. Termasuk, tata aturan untuk pariwisata, kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya mineral (ESDM), kehutanan, dan lainnya.

“Ini mendesak untuk segera diselesaikan, mengingat RZWP3K ini adalah masalah nasional. Dalam hal ini, Kemenko Maritim diberikan tugas untuk mengoordinasikan sekaligus menuntaskan RZWP3K di setiap provinsi,” ungkapnya.

baca : Rencana Zonasi Perairan Sumatera Utara Ancam Hak Kelola Masyarakat Pesisir?

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Agar percepatan pembuatan perda bisa selesai tepat waktu pada akhir 2018, Agung mengatakan, pihaknya bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Dalam Negeri berkeliling ke berbagai provinsi. Cara tersebut dilakukan, untuk mengingatkan kepada setiap provinsi bahwa waktunya tinggal sebentar lagi.

“Kalau ini selesai, maka Pemda dapat dengan mudah memberikan izin kepada investor atau pengusaha baru yang tempatnya sudah kita atur,” tegasnya.

baca : Kawasan Strategis Nasional Harus Selaras dengan Perencanaan Laut, Kenapa?

 

Pengelolaan Perbatasan

Lebih jauh Agung menerangkan, selain untuk perekonomian, keberadaan perda RZWP3K juga menjadi sangat penting karena itu berkaitan dengan pengelolaan wilayah perbatasan negara yang mengikat. Itu artinya, wilayah perbatasan mengikat yang jumlahnya ada di 10 lokasi, membutuhkan penjagaan ekstra untuk mempertahankan wilayah agar tidak jatuh ke negara lain di sekitar perbatasan.

“Kita harus siap agar jangan sampai wilayah kita diklaim negara lain melalui jalur diplomasi internasional, sehingga kita perlu ahli diplomasi kemaritiman yang bagus,” tutur dia.

Dengan waktu yang tersisa sekarang, Agung kembali mengingatkan kepada semua provinsi untuk segera menyelesaikan tugasnya. Terutama, karena itu akan memudahkan Pemerintah Pusat untuk melakukan sinkronisasi data dan peraturan dengan yang ada di setiap provinsi.

“Dokumen RZWP3K kita susun dengan mengesampingkan ego sektoral, kita harus selesaikan segera,” tegasnya.

 

Aksi Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) di kantor DPRD Sulsel, Makassar, Senin (5/3/2018) menyatakan tetap menolak Raperda RZWP3K Sulsel karena alokasi ruang tambang laut yang luas dan mengancam kehidupan nelayan di Galesong dan Pulau Tanakeke Takalar. Foto: Asmar Exwar/Walhi/Mongabay Indonesia

 

Secara keseluruhan, Agung menyebutkan, ada empat prinsip dasar yang melatarbelakangi kenapa perda RZWP3K harus diselesaikan. Yaitu, untuk meminimalisir terjadinya konflik antarprovinsi, pemanfaatan kawasan pesisir bersama, mengedepankan kepentingan masyarakat lokal, dan pemanfaatan kawasan pesisir yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sementara, untuk strategi percepatan penyelasaian dokumen dan Perda RZWP3K, Agung membeberkan bahwa itu dimulai dari sinergi antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kemenko Maritim, kemudian dilanjutkan kepada KKP, KLHK dan Kemendagri sebagai kementerian teknis. Setelah itu, lalu ditindaklanjuti oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi, bersama dengan Gubernur dan DPRD serta Dinas LHK Provinsi.

Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto sebelumnya menyatakan, saat ini baru terdapat lima provinsi yang sudah menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang RZWP3K, yaitu Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Barat (Sulbar), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Pada 2018 diharapkan 13 provinsi bisa menyelesaikan pembuatan perdanya dan sisanya paling lambat harus sudah selesai pada akhir 2018,” tambahnya.

 

Exit mobile version