Mongabay.co.id

Tertibkan Tambang Ilegal, Polda Aceh Amankan Pekerja dan Alat Berat

Kondisi sungai di Geumpang, Pidie, Aceh, yang mengalami kerusakan akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Boyhaqie

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, pada Maret 2018 ini, telah menghentikan sejumlah aktivitas pertambangan ilegal di Kabupaten Aceh Barat dan Bener Meriah. Empat pelaku diamankan dan lima alat berat disita dari kegiatan tanpa izin tersebut.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Kombes Pol Erwin Zadma, Rabu (21/3/2018) mengatakan, di Kabupaten Bener Meriah, tim mengamankan dua tersangka dan menyita dua unit eskavator. Penangkapan dilakukan pada 1 Maret di Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah.

“Dua tersangka yang ditangkap adalah BH dan S. Mereka melakukan kegiatan galian C ilegal sejak beberapa tahun lalu yang merusak sungai dan hutan. Mereka dijadikan tersangka dan sekarang berada di polda,” terangnya.

Erwin menjelaskan, tim kembali mengamankan tiga alat berat dan 14 pekerja tambang emas ilegal di Kecamatan Pante Cermin, Kabupaten Aceh Barat, pada 9 Maret. Lokasi ini tidak mudah dicapai, tim harus berjalan kaki tiga jam dan menyeberangi sungai.  Sebanyak 100,5 gram emas juga disita dari penggerebekan ini.

Para tersangka dijerat Pasal 158 juncto Pasal 37 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 89 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 17 Ayat (1) huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Ancaman untuk UU Nomor 4 Tahun 2009, penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Sedangkan UU Nomor 18 Tahun 2013, ancaman hukumannya penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta denda Rp1,5 miliar hingga Rp10 miliar,” ungkap Erwin.

Baca: Tambang Emas Ilegal Bertebaran di Aceh, Bagaimana Dampaknya Terhadap Lingkungan?

 

Kondisi sungai di Geumpang, Pidie, Aceh, yang mengalami kerusakan akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Boyhaqie

 

Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menjelaskan, pertambangan ilegal apakah golongan B maupun C masih marak di Aceh. Kegiatan ini, tidak hanya mengancam keseimbangan ekologi tetapi juga tak jarang memakan korban jiwa.

“Pertambangan ilegal golongan B seperti emas masih masif di 10 kabupaten di Aceh, sedangkan pertambangan ilegal galian C tersebar hampir di semua kabupaten.”

Muhammad Nur mengatakan, data yang dikumpulkan Walhi Aceh 2010–2016 menunjukkan, 38 orang meninggal akibat pertambangan ilegal. Jumlah ini belum termasuk korban yang ditutupi.

“Pertambangan ilegal yang sangat mencolok ada di Pidie. Sekitar 8.000 pekerja dan 200 alat berat beroperasi di lokasi tersebut. Aktivitas ini menggunakan merkuri dan banyak pekerja berasal dari luar Aceh.”

Muhammad Nur mengaku, maraknya pertambangan ilegal telah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agustus 2017 lalu. “Sebagian besar dilakukan dalam hutan termasuk hutan lindung. Jika terus dibiarkan, kerusakan akan bertambah,” ungkapnya.

 

Sungai di Geumpang yang rusak akibat pertambangan emas ilegal. Foto: Dok. Walhi Aceh

 

Pada 2016, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh telah melakukan investigasi pertambangan ilegal di Aceh, khususnya Aceh Barat. Koordinator GeRAK, Askhalani mengatakan, total perkiraan emas perbulannya mencapai 89.262,9 gram. Jika setiap gram dijual Rp400.000, dalam setahun angkanya akan tinggi. “Ini baru perkiraan di Aceh Barat saja.”

Askhalani mengatakan, pertambangan emas ilegal di Aceh Barat merupakan masalah serius yang tidak akan mampu ditangani pemerintah daerah. “Kami menemukan keterlibatan sejumlah oknum penegak hukum, selain ada juga mantan kombatan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version