Mongabay.co.id

RUU Pertanahan, Sudahkah Menjawab Persoalan Agraria?

Demplot padi di Desa Tekudak, Kabupaten Kapuas Hulu Kalbar, yang menerapkan Metode Hazton, dampingan Konsorsium Perempuan Kalbar. Foto; Konsorsium Perempuan Kalba)

 

Pemerintah sedang menyusun UU Pertanahan,  sebagai salah satu regulasi dalam mewujudkan reforma agraria yang jadi cita-cita Presiden Joko Widodo. Dalam penyusunannya, RUU yang kini berada di panitia kerja (panja) DPR, dinilai masih belum jadi jalan keluar bagi beragam persoalan agraria.

Mia Siscawati, Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, mengatakan,  RUU Pertanahan jika dikaji dengan kerangka evaluasi gender yang dikembangkan Global Land Tool Network (GLTN) UN Habitat, belum mengadopsi kesetaraan partisipasi perempuan dan laki-laki serta kepengaturan atas tanah yang responsif  gender.

Kondisi ini, katanya, terlihat dari proses penyusunan RUU belum mendorong pemahaman dan kemauan politik untuk melaksanakan pendekatan kesetaraan dan keadilan gender dalam penguasaan dan pengelolaan tanah.

Dalam draf, katanya, belum ada penyusunan bersifat transparan dan mempertimbangkan warga, terutama dari kelompok yang langsung terdampak.

“Kalau tidak didorong Konsorsium Pembaruan Agraria, Solidaritas Perempuan dan lain-lain mereka tak merasa perlu bertemu dengan masyarakat terdampak,” katanya dalam diskusi di Jakarta.

Dia bilang, dokumen yang merujuk RUU dikembangkan tak dengan data terpilah gender.  Jadi, belum ada klausul terkait sumberdaya yang dapat ditindaklanjuti dengan alokasi sumberdaya khusus untuk peningkatan kapasitas warga agar memperoleh manfaat dari kebijakan pertanahan.

Dengan kata lain, katanya, substansi belum membuka ruang penilaian manfaat kebijakan untuk warga.

Dari segi pertimbangan legal,  juga belum ada klausul yang memperkuat perlindungan hak perempuan atas tanah. Jadi,  belum bisa disebut ada bundle of right, hak atas tanah dan hak asasi manusia.

“Tidak sedikit perempuan yang mengurus tanah ke BPN, enggan karena aura petugas yang masih sering bertanya, suaminya mana?  bapaknya mana?” kata Mia.

RUU juga belum mengakui pertentangan kepentingan dampak terpilah gender yang berakibat belum ada mekanisme resolusi konflik yang sensitif gender.

Secara umum, substansi RUU memandang masyarakat sebagai entitas homogen yang tak berjenis kelamin dan tak terpengaruh tradisi dan beragam aspek sosial budaya lain.

“Ini bertentangan dengan kompleksitas realita di mana akses berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat termasuk akses perempuan dan laki-laki atas tanah terkait erat dengan faktor sosial dan budaya,” kata Mia.

RUU juga belum memberikan inovasi bagi model ekonomi lokal yang dikembangkan perempuan dan kelompok marjinal lain.

Malahan, katanya,  lebih memberikan jalan bagi pengembangan industri yang justru membatasi keragaman model ekonomi lokal.

Selain itu, RUU ini juga belum terlalu kuat mengadopsi pendekatan terpadu atas pengelolaan tanah oleh sektor terkait seperti pertanian, pengelolaan air dan sanitasi.

“RUU belum betul-betul mendorong pengembangan pasar lokal yang dapat diakses beragam kelompok sosial yang menguntungkan mereka secara ekonomi, sosial dan budaya.”

Dia menilai, RUU Pertanahan malah lebih memberikan jalan bagi perusahaan besar beroperasi– pada titik tertentu memberi kesempatan kerja, namun warga di wilayah kerja justru memperoleh kerugian ekonomi sosial dan politik.

 

Perempuan maju berjuang mempertahankan kelestarian lingkungan mereka. Para perempuan Pegunungan Kendeng, yang aksi ke Jakarta, menuntut ketegasan pemerintah menjalankan KLHS. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Usulan masyarakat sipil

Sejumlah masyarakat sipil seperti KPA dan Solidaritas Perempuan mengajukan sejumlah usulan kepada DPR.

Masyarakat sipil berharap,  RUU dapat menjawab permasalahan pertanahan yang dihadapi perempuan, terutama soal ketimpangan penguasaan tanah berbasis gender.

Data BPS 2016 menunjukkan,  hanya 15,88% dari 44 juta bidang tanah teridentifikasi dikuasai perempuan.

“Sistem adat yang masih patriarki menyebabkan perempuan kehilangan hak mereka atas tanah,” kata Nisa Anisa dari Solidaritas Perempuan.

Dia contohkan, perempuan di Lombok Nusa Tenggara Barat,  tak bisa dapat hak waris tanah karena hanya laki-laki yang boleh mendapat waris tanah. Laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang mengurus urusan publik. Begitu juga dengan perempuan di Jawa, dapat warisan lebih sedikit dari lelaki.

Perempuan juga belum diakui dalam ruang pengambilan keputusan terutama terkait perencanaan dan pengelolaan tanah di wilayah mereka. Perempuan belum ditanyakan pendapatnya mengenai penyelesaian konflik agraria dan belum dilibatkan dalam agenda reforma agraria.

Dalam berbagai konflik agraria banyak kekerasan fisik dan psikologis dialami perempuan. Terutama konflik yang melibatkan aparat keamanan atau kepolisian, berupa intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi.

“Peristiwa-peristiwa itu menimbulkan trauma berbeda terhadap perempuan,” katanya.

Mereka harus menghadapi intimidasi dan ketakutan untuk berkativitas di luar rumah karena khawatir ditangkap atau mengalami kekerasan.

Hal sama sering terjadi adalah kerugian materi yang langsung berimbas kepada perempuan sebagai penyedia pangan di rumah.

Menurut Nisa,  perlu ada penegasan khusus mengenai asas keadilan gender sebagai acuan dasar dalam keseluruhan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan pertanahan untuk menjamin hak perempuan.

RUU Pertanahan, katanya,  juga harus menjamin hak perempuan atas tanah, termasuk melindungi kepemilikan dan penguasaan perempuan terhadap tanah saat berhadapan dengan kepentingan pihak lain.

Dalam ketentuan umum, katanya,  perlu diatur bahwa subyek pemegang hak atas tanah adalah individu, perempuan dan laki-laki serta badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.

Untuk pelaksanaan reforma agraria yang berkeadilan gender masyarakat sipil mengusulkan obyek reforma agraria dan penerima tanah reforma agraria termasuk tanah hasil penyelesaian konflik agraria struktural perlu penekanan untuk warga Indonesia baik perempuan dan laki-laki, individu maupun sekelompok orang.

Kemudian, katanya, partisipasi perempuan harus terjamin penuh dalam merencanakan pengelolaan tanah.

Soal perolehan untuk kepentingan umum dan pengalihfungsian tanah,  masyarakat sipil menilai pencabutan hak tanah dengan cara dan pendekatan yang menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak masyarakat terdampak baik perempuan maupun laki-laki.

Pendekatan yang dimaksud, katanya,  termasuk tersedia relokasi yang bernilai sosial dan ekonomi lebih baik, menjamin peningkatan kualitas kehidupan masyarakat terelokasi atau setidaknya sama dengan sebelumnya.

Pengalihfungsian tanah, katanya,  juga harus disertai pengkajian dampak lingkungan dan sosial serta studi lain yang diperlukan, dengan analisis dan terpilah gender.

Masyarakat sipil juga mengusulkan peran serta masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kesempatan sama berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan tanah.

Pengawasan, katanya,  bisa berupa pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan/atau penyampaian informasi atau laporan.

Mereka juga usulkan,  dalam penyelesaian konflik agraria harus melibatkan perempuan. Dalam bagian penjelasan UU, katanya, perlu diterangkan kebutuhan dan kepentingan berbeda bagi perempuan dan laki-laki termasuk pemulihan trauma pasca sengketa.

Siti Maimunah, peneliti Sajogjo Institut menilai,  percepatan kerusakan ekologis karena akses pertanahan rumit terhadap perempuan tak cukup disikapi dengan perbaikan RUU Pertanahan.

Ia harus diikuti pemikiran bagaimana memulihkan lingkungan termasuk sosial budaya yang teracak-acak oleh berbagai kegiatan industri ekstraktif,

“Petani berubah mata pencaharian. Lahan berubah fungsi tak lagi untuk pertanian. Semua ini tidak sesederhana dijawab dengan reforma agraria,” katanya.

Menurut Mai, perlu melihat kelindan kerusakan ekologis sebagai hubungan relasi antara pulau, seperti untuk industri semen perlu melihat dari hulu ke hilir mulai dari tambang batu kapur, galian c, dan batubara.

Tak hanya itu. Dia bilang, visibiltas perempuan di wilayah krisis sosial ekologis, perlu dilihat sebagai dampak sejarah. Pembangunan yang mensyaratkan perubahan geografis di perdesaan dan hutan untuk jalan ekstraktif bagi komoditas global, katanya,  membawa dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.

 

Foto utama: Perempuan, jadi tulang punggung keluarga sudah lumrah, bahkan di pedesaan, perempuan malah penyedia pangan utama. Sayangnya, dalam hak penguasaan lahan, perempuan masih minim terakui dan dominan jadi ranah laki-laki. Organisasi masyarakat sipil mendesak, dalam RUU Pertahanan, seharusnya, memberikan hak sama soal penguasaan lahan antara perempuan dan laki-laki. Foto: Konsorsium Perempuan Kalbar

 

Exit mobile version