Mongabay.co.id

Papua Barat Dijanjikan Bisa Ekspor Langsung Produk Perikanan, Kapan Itu?

Provinsi Papua Barat dijanjikan akan segera bisa melaksanakan ekspor produk perikanan secara langsung dari dalam hitungan satu-dua bulan mendatang. Janji tersebut diungkapkan, karena potensi perikanan di provinsi tersebut, khususnya Indonesia Timur, sangatlah besar. Tetapi, hingga saat ini belum dikabarkan dari kota mana ekspor akan dilakukan.

Seperti diketahui, Papua Barat beribu kota Manokwari dan memiliki kota besar seperti Sorong. Selain dua kota tersebut, di sejumlah kota Papua Barat terdapat pelabuhan kecil maupun besar yang bisa mendorong dilaksanakan ekspor secara langsung. Di antaranya, adalah Pelabuhan Mimika dan Fak Fak.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Sorong, Papua Barat, pekan lalu, mengatakan, pelaksanakan ekspor dari wilayah tersebut terutama dilakukan untuk mendorong pemanfaatan hasil tangkapan yang berasal dari para nelayan tradisional. Untuk itu, semua hasil tangkapan akan diserap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pelindo IV.

“Mereka nanti akan membawa cold strorage terapung untuk membeli ikan dari nelayan tradisional, dan langsung ekspor dari timur Indonesia,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Mongabay Indonesia.

baca : Kunjungi Kapal Rainbow Warrior, Menteri Susi Ajak Masyarakat Papua Jaga Lautnya

 

Menteri Susi Pudjiastuti didampingi Bupati Fakfak Mohammad Uswasnas saat melihat tangkapan ikan dan kuliner di Pasar Ikan Waneri Tanjung Wagon, Fakfak, Papua Barat pada Jumat (23/3/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Agar pelaksanaan ekspor bisa memberikan manfaat lebih banyak kepada para nelayan tradisional, Susi menyebutkan, pihaknya akan terus mendorong nelayan untuk meningkatkan kapasitas produksi mereka. Salah satu caranya, adalah dengan diberikan bantuan alat penangkapan ikan (API) yang ramah lingkungan seperti jaring. Alat tersebut sekaligus menjadi pengganti API terlarang yang masih digunakan nelayan.

Menurut Susi, dengan diberikannya bantuan API, nelayan akan mendapat keuntungan tak terhingga. Selain bisa meningkatkan produktivitas tangkapan, API yang baru juga akan meningkatkan potensi sumber daya alam yang ada di laut. Hal itu bisa terjadi, karena API ramah lingkungan akan ikut menjaga keberlangsungan ekosistem di dalam laut.

“Alat tangkap baru ini bukan untuk menyusahkan nelayan, khususnya nelayan tradisional. Melainkan, karena kita berpikir jauh ke depan untuk masyarakat nelayan sendiri supaya sejahtera,” jelasnya.

Agar upaya yang sedang dilakukan Pemerintah itu bisa selaras dengan masyarakat Papua Barat, dan khususnya di Indonesia, Susi meminta kepada masyarakat setempat untuk ikut mengawasi pergerakan kapal-kapal nelayan yang ada. Jika ada kapal yang menggunakan API terlarang seperti trawl, maka masyarakat harus segera menindaknya dengan melaporkannya ke Pemerintah Kabupaten atau Kota.

“Masyarakat dan pemerintah daerah menjadi pihak paling tepat untuk menjaga dan bertanggung jawab atas kelestarian terumbu karang di perairan Papua Barat. Kami di Jakarta membantu dengan policy dan support maksimum yang bisa kita berikan,” ungkapnya.

baca : Surga Bawah Laut Papua Masih Rawan Hujan Bom Ikan

 

Menteri Susi Pudjiastuti didampingi Bupati Fakfak Mohammad Uswasnas saat melihat tangkapan ikan dan kuliner di Pasar Ikan Waneri Tanjung Wagon, Fakfak, Papua Barat pada Jumat (23/3/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Zonasi Perairan

Berkaitan dengan pengembangan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai salah satu sentra perikanan di Indonesia, Susi Pudjiastuti meminta masyarakat setempat untuk bisa memanfaatkan segala komponen yang ada untuk kepentingan peningkatan produksi perikanan. Namun, dalam pemanfaatan itu, dia meminta masyarakat Papua dan Papua Barat bisa hidup rukun dan saling bekerja sama.

Dengan mendorong untuk menjadi sentra perikanan, Susi mengaku bahwa Pemerintah Pusat akan ikut mengawal melalui penyediaan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Untuk keperluan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan bahwa semua program yang dilaksanakan di Papua dan Papua Barat akan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal.

“Saya ingin memastikan beberapa hal termasuk pembangunan yang dilakukan oleh KKP itu sesuai dengan maksud dan aturan pemerintah. Saya tidak ingin kita membangun sesuatu di Papua, tapi ternyata orang Papua tidak bisa menikmati,” ujarnya.

Di antara komponen pemanfaatan yang ada di Papua Barat, menurut Susi, adalah berkaitan dengan zonasi penangkapan. Mengingat peraturan tersebut sudah diatur jelas dalam Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, maka masyarakat setempat bisa saling menjaga dan menghargai, serta menaati berbagai aturan Pemerintah yang berkaitan.

“Di dalam UU disebutkan batas wilayah pantai diukur empat mil dari garis pantai ke arah laut lepas atau ke arah perairan kepulauan,” tutur dia.

baca : Kampung Bioflok untuk Ketahanan Pangan Papua Barat. Seperti Apa?

 

Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti saat panen rumput laut di perairan kampung Saharei Distrik Fakfak Timur Kabupaten Fakfak, Papua Barat pada Jumat (23/3/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Melalui UU yang sudah diterbitkan sejak 2014 itu, Susi mengingatkan kepada Pemerintah Daerah tentang kewenangan daerah dalam mengelola kawasan pesisirnya. Selain Pemerintah Pusat, pengelolaan juga menjadi hak dari Pemerintah Provinsi. Sementara, Pemerintah Kabupaten juga harus memberi dukungan dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang pengaturan tersebut.

“Kapal 0 hinga 4 GT (gross tonnage) (zonasi operasional ada) di 1 mil atau lebih. Tapi kapal 30 GT tidak boleh masuk di bawah 4 mil. Aturan Pemerintah tuh sudah bener. Ada nggak tuh di UU? Adil. Prakteknya yang tidak adil. Ini yang tidak boleh terjadi,” tegasnya.

 

Sinergitas Peraturan

Di sisi lain, Pemerintah juga terus mendorong semua provinsi untuk segera menyelesaikan pembuatan rancangan raperda peraturan daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Bahkan, Pemerintah Pusat memberi tenggat waktu hingga akhir 2018 bagi semua provinsi untuk menyelesaikan raperda dan mengesahkannya menjadi Perda.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, mengacu pada Peraturan Presiden No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI), disebutkan bahwa penataan ruang laut pesisir, darat terpadu dan zonasi wilayah pesisir termasuk program atau kegiatan prioritas nasional.

“Nantinya, bisa menjadi dasar pemberian izin (untuk) pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelas nya.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat melihat panen kepiting bakau di wilayah pesisir Kabupaten Mimika, Papua pada Selasa (20/3/2018). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Menurut Agung, jika semua provinsi sudah menyelesaikan pembuatan perda RZWP3K, maka itu akan membantu proses pembuatan perizinan peraturan untuk peningkatan ekonomi akan lebih mudah. Selain itu, dengan adanya perda, diharapkan sudah tidak ada lagi peraturan yang tumpang tindih.

Dengan kata lain, Agus menegaskan, keberadaan perda RZWP3K nantinya akan digunakan juga untuk mengatur tata ruang di pesisir dan pulau-pulau kecil. Termasuk, tata aturan untuk pariwisata, kelautan dan perikanan, energi dan sumber daya mineral (ESDM), kehutanan, dan lainnya.

“Ini mendesak untuk segera diselesaikan, mengingat RZWP3K ini adalah masalah nasional. Dalam hal ini, Kemenko Maritim diberikan tugas untuk mengoordinasikan sekaligus menuntaskan RZWP3K di setiap provinsi,” ungkapnya.

Agar percepatan pembuatan perda bisa selesai tepat waktu pada akhir 2018, Agung mengatakan, pihaknya bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Dalam Negeri berkeliling ke berbagai provinsi. Cara tersebut dilakukan, untuk mengingatkan kepada setiap provinsi bahwa waktunya tinggal sebentar lagi.

“Kalau ini selesai, maka Pemda dapat dengan mudah memberikan izin kepada investor atau pengusaha baru yang tempatnya sudah kita atur,” tegasnya.

 

Pengelolaan Perbatasan

Lebih jauh Agung menerangkan, selain untuk perekonomian, keberadaan perda RZWP3K juga menjadi sangat penting karena itu berkaitan dengan pengelolaan wilayah perbatasan negara yang mengikat. Itu artinya, wilayah perbatasan mengikat yang jumlahnya ada di 10 lokasi, membutuhkan penjagaan ekstra untuk mempertahankan wilayah agar tidak jatuh ke negara lain di sekitar perbatasan.

“Kita harus siap agar jangan sampai wilayah kita diklaim negara lain melalui jalur diplomasi internasional, sehingga kita perlu ahli diplomasi kemaritiman yang bagus,” tutur dia.

Dengan waktu yang tersisa sekarang, Agung kembali mengingatkan kepada semua provinsi untuk segera menyelesaikan tugasnya. Terutama, karena itu akan memudahkan Pemerintah Pusat untuk melakukan sinkronisasi data dan peraturan dengan yang ada di setiap provinsi.

“Dokumen RZWP3K kita susun dengan mengesampingkan ego sektoral, kita harus selesaikan segera,” tegasnya.

Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto sebelumnya menyatakan, saat ini baru terdapat lima provinsi yang sudah menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang RZWP3K, yaitu Sulawesi Utara (Sulut), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Barat (Sulbar), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

“Pada 2018 diharapkan 13 provinsi bisa menyelesaikan pembuatan perdanya dan sisanya paling lambat harus sudah selesai pada akhir 2018,” tambahnya.

 

Exit mobile version