Mongabay.co.id

Bukan Hanya Konflik, Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Harus Ditangani

Konflik antara manusia dengan satwa liar masih terjadi di Jawa Barat. Konsistensi konservasi dipertaruhkan untuk mengatasinya.

Perseteruan antara masyarakat dengan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, misalnya. Dahulu macan tutul jawa dianggap sebagai simbol kemakmuran, bahkan didaulat sebagai satwa indentitas Provinsi Jawa Barat. Kini, penghargaan itu sirna.

Berdasarkan data yang dihimpun, di Gunung Sawal ini, ada sembilan konflik yang terjadi dalam satu dekade terakhir. Dari kasus tersebut, hanya seekor macan tutul yang dapat dikembalikan ke hutan setelah melalui serangkaian proses panjang. Di sisi lain, meski tidak ada laporan menyerang manusia, warga khawatir bila macan menyerang ternak mereka.

Berdasarkan data Forum Konservasi Macan Tutul Jawa (Formata), biasanya macan yang keluar hutan dan tertangkap, adalah macan tutul muda yang baru disapih induknya. Diduga, kondisi ini dilatari perebutan wilayah teritorial. Atau, ada kemungkinan juga, kondisi ini menunjukkan bertambahnya populasi.

Kasus terbaru adalah sebuah foto perburuan macan tutul yang viral Febuari 2018, di Facebook. Dalam foto tersebut, tampak sosok pemuda tanpa canggung, berpose dengan seekor macan tutul yang diduga sudah mati.

Murujuk investigasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar, diketahui lokasi kejadian berada di kawasan Garut selatan. Hingga kini, kasus belum berujung. Upaya penengakan hukum sesuai Undang-undang Nomor 5/1990 belum tampak.

Baca: Macan Tutul Ditemukan di Gunung Sawal Ciamis

 

Pemeriksaan kukang jawa (Nycticebus javanicus) di kawasan Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, dilakukan. Belum lama ini, sebanyak dua pasang kukang dilepasliarkan ke alam bebas. Foto: International Animal Rescue Indonesia

 

Kasus ini menjadi cermin, faktor pemicu konflik adalah manusia itu sendiri. Erwin Wilianto, Program Officer HarimauKita dalam tulisannya berjudul Menggugat Konflik Macan Tutul dan Manusia menjelaskan, penyelesaian konflik masih bersifat solusi jangka pendek, tanpa mitigasi yang jelas, dan minim penyadartahuan masyarakat.

Satwa predator ini, di hutan primer memiliki daya jelajah hingga 16 kilometer persegi. Saat ini, hutan primer yang menjadi bagian habitat macan tutul berkurang karena digarap menjadi perkebunan. “Banyak babi hutan yang turun ke kebun warga. Kalau tidak diburu malah menjadi hama,” kata Jajang warga Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, di kaki Gunung Manglayang.

Macan tutul jawa tersebar merata dari ujung barat Pulau Jawa (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timurnya (Taman Nasional Alas Purwo). Tidak terbatas di kawasan konservasi semata, macan tutul jawa juga hidup di hutan lindung dan hutan produksi. Predator ini merupakan satu dari 25 spesies terancam punah yang diprioritaskan meningkat populasinya 10 persen pada 2019, sesuai kondisi biologis dan ketersedian habitat.

 

Satwa ini dipamerkan komunitas pencinta reptil di alun-alun Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tidak sedikit dari mereka masih memelihara satwa dilindungi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan   IUCN Red List, macan tutul jawa statusnya Kritis (Critically Endangered), atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar. Pemerintah Indonesia sejak 1970 telah melindungi macan tutul jawa berdasarkan SK Mentan No.421/Kpts/Um/8/1970 (ditulis:   Felis pardus), yang diperkuat dengan UU No 5 tahun 1990 (Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Berdasarkan luasan hutan tersisa di Pulau Jawa, jumlahnya di alam liar diperkirakan sekitar 491-546 individu.

Baca juga: Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

Ular ini dipelihara oleh komunitas pencinta reptil. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Persoalan lain

Ditengah upaya perlindungan, kegiatan ilegal berupa perburuan dan perdagangan satwa dilidungi pun masih terjadi. Konservasi dihadapkan pada komersialisasi. Meski, sebagaimana dijelaskan Kepala BBKSDA Jawa Barat Sustyo Iriyono, kecenderungan masyarakat untuk tidak memelihara satwa dilindungi mulai ada peningkatan.

“Kami bisa saja melakukan langkah sesuai prosedur hukum yang berlaku. Tetapi, efek yang ditimbulkan nantinya akan memunculkan masalah baru. Sehingga, kami masih melakukan sosialisasi ke masyarakat.”

Tahun lalu, BBKSDA Jabar berhasil menyelamatkan 950 individu satwa liar. Sebagian besar, merupakan penyerahan dari masyarakat dan upaya hukum oleh Gakkum KLHK.

 

Memelihara di kalangan komunitas reptil bisa dianggap menunjukkan status sosial. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Manager Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) Zaini Rahaman menegaskan, pihaknya tidak bisa menolak bila mendapat satwa serahan masyarakat, meski sudah melebihi kapasitas. Saat ini, PKEK menampung 68 individu elang yang 26 individunya telah dilepasliarkan dalam tiga tahun terakhir.

“Proses rehabilitasi elang serahan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Faktor kesehatan dan perilaku menjadi penting sebagai tolok ukur keberhasilan. Tempat ideal untuk pelepasliaran juga harus dicari, meski sulit sekali,” papar Zaini, baru-baru ini.

Hal serupa diungkapkan IAR Indonesia -yayasan yang bergerak pada konservasi kukang (Nycticebus Sp). IAR (International Animal Rescue) telah menampung 164 individu kukang. Jumlah tersebut sudah melebihi kapasitas kandang yang hanya cukup dihuni 160 individu kukang.

Bedasarkan data IAR, 1.359 individu kukang diperdagangkan pada 1.070 akun penjual dan 50 grup jual beli kukang di Facebook. Diperkirakan, sebanyak 2.094 individu kukang diambil paksa dari habitatnya.

“Untuk memberantas pemain dan sindikat perdagangan satwa dilindungi, kami bekerja sama dengan kepolisian. Kami sikat mereka!” kata Sutyo lagi.

 

Kakatua raja (Probosciger aterrimus) diamankan di kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, Jalan Raya Gedebage, Kota Bandung. Perburuan dan perdagangan satwa terancam punah menjadi masalah serius bagi keberlanjutan konservasi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mongabay coba menelusuri komunitas animal lovers di Subang, Jawa Barat. Neng Kunia (24) salah satu anggotanya mengaku sudah dua tahun memelihara ular sanca kembang dan piton albino. Menurut dia, memelihara ular sudah menjadi hobi yang kadang mendatangkan laba.

“Anakannya bisa dijual ke penyuka reptil. Untuk hewan dilindungi, mungkin di komunitas lain ada juga yang melihara. Tapi, saya kurang tahu banyak,” ujarnya.

Profauna, melalui Koordinator Jawa Barat, Rinda A Sirait menuturkan, sebetulnya mereka (penghobi) tahu tentang satwa dilindungi. Tetapi hal itu sudah dianggap tren baru atau passion untuk menunjukan strata sosial. “Diperlukan ketegasan pemerintah, memberi efek jera, guna menekan eksploitasi satwa sebelum benar-benar punah,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version