Mongabay.co.id

Fokus Liputan : Menanti Bu Menteri Meninjau Larangan Lobster Kembali (Bagian 5)

Pada 23 Desember 2016, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia. Namun, permen yang bertujuan untuk melindungi keberlanjutan lobster, kepiting, dan rajungan ini justru menjadi “permen pahit” bagi puluhan ribu nelayan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Untuk mengetahui duduk perkara dan dampak pelarangan tersebut, Mongabay melakukan liputan mendalam pada 14-18 Maret lalu, terutama di kawasan selatan Pulau Lombok. Pemilihan lokasi ini karena dua kabupaten di bagian selatan Pulau Lombok yaitu Lombok Timur dan Lombok Tengah, termasuk salah satu lokasi pusat lobster terbesar Indonesia.

Hasil liputan dibuat dalam lima bagian tulisan yaitu tentang demografi nelayan, dampak larangan, maraknya penyelundupan bibit lobster, serta jalan keluar yang diharapkan para pihak termasuk nelayan, organisasi nelayan, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah.

Tulisan berikut merupakan bagian kelima atau terakhir dari serial tentang polemik larangan budi daya dan penangkapan lobster di Lombok. Berisi tentang refleksi tentang pelarangan penangkapan, budidaya, dan ekspor lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Materinya berdasarkan wawancara dengan berbagai pihak terkait di salah satu sentra lobster Indonesia tersebut.

Tulisan bagian pertama bisa dibaca dengan mengklik tautan ini. Tulisan kedua bisa dibaca dengan mengklik tautan ini. Sedangkan tulisan ketiga bisa dibaca dengan mengklik tautan ini. Dan tulisan keempat bisa dibaca dengan mengklik tautan ini.

***

 

Setelah ada larangan penangkapan lobster, nelayan kini membudidayakan bawal dan kerapu seperti di Lombok Tengah, NTB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Secara geografis, Lombok memang mendapat berkah dari banyaknya lobster di pesisir selatan pulau ini. Laut yang menghadap Samudera Hindia ke arah Australia, suhu laut tropis yang dominan hangat, serta kondisi pantai berkarang menjadi tempat lobster untuk memijah.

Bagi nelayan setempat ini adalah berkah alam. “Allah yang sudah menakdirkan. Alam mengirimkan bibit lobster kepada nelayan Lombok,” kata Rakib, pendamping nelayan di Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Tingginya permintaan pasar dari Vietnam terhadap bibit lobster membuat penangkapan kian masif. Dari semula dilakukan secara terbatas, mereka kemudian menangkap besar-besaran.

Riset Australian Center for International Agriculture Research (ACIAR) menemukan jumlah penangkapan bibit lobster antara 2018-2012 stabil pada angka 600 ribu bibit/tahun. Waktu itu cara penangkapannya masih tradisional.

Begitu ada permintaan pasar internasional dan cara penangkapannya menggunakan pocong, bibit yang ditangkap melonjak tajam. Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) NTB Lalu Komala memberikan data yang cukup fantastis. Pada 2013, jumlah bibit lobster yang dikirim ke luar negeri mencapai 4 juta ekor. Setahun kemudian naik jadi dua kali lipat, 8 juta ekor!

baca : Upaya Penyelundupan Benih Lobster Masih Terjadi, Kok Bisa?

 

Penggunaan pocong untuk menangkap bibit lobster membuat penangkapan makin eksploitatif di Pulau Lombok, NTB. Foto : Anton Muhajir

 

Secara ekonomi, jumlahnya juga sangat menggiurkan bagi nelayan di Lombok bagian selatan yang umumnya miskin. Per ekor lobster bisa mencapai 12,5 dolar Amerika. Menurut Komala, uang yang beredar di tangan nelayan dan pengepul bisa mencapai Rp268 miliar per tahun.

Banyak rupiah, banyak pula masalah. Penangkapan bibit lobster seperti tak terkendali. Dari hanya secara terbatas, kemudian tak terbatas. Dari skala masif menjadi eksploitatif. Nelayan lokal, yang juga mulai membesarkan lobster, justru tidak susah mendapatkan bibit untuk dibesarkan.

“Karena nelayan penangkap lebih senang menjualnya ke pengepul daripada ke pemilik usaha pembesaran lobster. Kuota untuk pembudidaya lokal jadi habis,” kata Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (PSDN) Amin Abdullah. Lembaga ini aktif mendampingi nelayan, termasuk petani garam.

baca : Penyelundupan Lewat NTB Didominasi Benih Lobster

 

Nelayan di Lombok Timur, NTB, berharap diberolehkan lagi untuk membudidayakan lobster. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Karena itulah, Amin cenderung setuju ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) No.1 pada Januari 2015 yang melarang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan. Dua tahun kemudian, muncul permen serupa Nomor 56 pada Desember 2016. Nelayan boleh menangkap lobster jika sudah seberat 200 gr dengan karapas minimal 8 cm. Di bawah itu harus dibiarkan hidup di laut. Apalagi jika dalam kondisi bertelur.

Penangkapan yang tak terkendali memang menjadi salah satu alasan alasan Menteri Susi mengeluarkan permen larangan penangkapan dan atau pengeluaran. “Kalau yang bertelur (yang ditangkap), lama-lama habis,” kata Susi sebagaimana ditulis detik.com.

Susi menambahkan jika lobster itu dibiarkan hidup di laut sampai siap panen, beratnya lebih dari 200 gram, maka nelayan akan mendapatkan nilai tambah lebih tinggi. Harga lobster akan lebih mahal ketika sudah besar.

Daripada repot-repot membesarkan, lebih baik biarkan saja lobster di laut. Toh, nanti besar sendiri dan nelayan tinggal menangkap dengan hasil lebih besar. Kurang lebih begitu logikanya.

baca : Miris.. Ada Aturan Penangkapan Lobster, Nelayan Beralih Menangkap Pari

 

Nelayan di Lombok Timur, NTB, berharap diberolehkan lagi untuk membudidayakan lobster. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kurang Masuk Akal

Namun, alasan bahwa lobster bisa besar di tempat untuk kemudian dipanen nelayan kecil itu kurang masuk akal bagi sebagian kalangan. Banyak pihak menuding Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlalu terburu-buru mengeluarkan Permen larangan penangkapan, budidaya, dan atau pengeluaran lobster. Permen itu dibuat tanpa kajian mendalam.

Salah satunya jika melihat karakter biologis lobster itu sendiri. “Kalau kita telaah lebih lanjut, sifat biologi lobster itu banyak sekali tantangannya,” kata Sabaryono, Kepala Seksi Kapal Ikan, Alat Penangkapan, dan Kenelayanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB.

Pertama dari kemampuan bertahan hidup lobster. Beberapa kajian, seperti Caribbean Sustainable Fisheries, menyatakan bahwa tingkat kematian bibit lobster di alam sangat tinggi, sampai 99 persen! Di laut lepas, kurang dari 1 dari 100 ekor bibit lobster bisa hidup sampai umur 1 tahun.

Survival rate (kemampuan hidup) lobster dari bibit sampai siap memang sangat kecil. Hanya 0,1 persen,” kata Sabaryono.

baca : Demi Kelestarian Laut, Nelayan NTB Janji Tidak Lagi Menangkap Benih Lobster

 

Lobster hasil pembesaran nelayan Lombok Timur, NTB, siap dipanen setelah ukurannya lebih dari 200 gram. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Artinya, kalau nelayan membiarkan 1.000 bibit lobster di laut lepas, maka kemungkinan lobster yang bisa hidup hanya 10. Padahal, jika nelayan menangkap dan menjual saat masih berupa bibit, mereka bisa mendapatkan Rp20 juta dari 1.000 bibit tersebut. “Itu analogi kasar. Makanya perlu kajian lebih mendalam,” kata Sabar buru-buru menambahkan.

Kedua dari sisi pola migrasi lobster. Belum ada kajian yang membuktikan bahwa bibit lobster di perairan selatan Lombok akan tetap berada di sana sampai dia siap panen sesuai standar yang ditetapkan Permen No.56/2016, beratnya lebih dari 200 gram dengan karapas setidaknya 8 cm.

Menurut Sabaryono, lobster yang memijah di Lombok belum tentu akan tetap berada di sana sampa besar. “Jangan-jangan lobster yang di Australia memijahnya di Indonesia,” ujarnya.

Ketiga dari sisi penangkapan lobster di laut lepas, bukan di keramba, juga rentan terhadap pelestarian lingkungan. Sudah jadi rahasia dan praktik umum kalangan nelayan Lombok biasanya menangkap lobster dengan cara diracun dengan potasium.

Lobster dewasa hidup di karang sementara mereka harus ditangkap dalam kondisi hidup dan bagus. Rusak salah satu bagian saja bisa turun drastis harganya. Maka, nelayan pun membius lobster besar dengan potas. Begitu lobster teler, langsung diambil. Masalahnya, potas justru akan merusak terumbu karang dan ekosistem laut lainnya.

baca : Saat Pocongan Lobster Dimusnahkan, Maka Langkah Baru Dijejak

 

Bibit lobster jenis pasir yang ditangkap nelayan di Pulau Lombok, NTB. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah Tawaran

Dengan beragam tujuan dan tantangan itu, Permen larangan lobster memang sebaiknya ditinjau ulang atau diperbaiki.

Dari sisi produksi, nelayan sebaiknya diberikan izin untuk menangkap bibit lobster untuk dibudidayakan. Sebuah riset ACIAR berdasarkan percobaan di Lombok menyebutkan bahwa tingkat kemampuan hidup lobster jenis mutiara (Panulirus ornatus) bisa sampai 66 persen sedangkan jenis pasir (Panulirus homarus) lebih tinggi, 77 persen.

Untuk memastikan nelayan bisa membudidayakan dengan baik, perlu pendampingan dari KKP. Termasuk nantinya memastikan dari mana asal usul lobster tersebut. Sebab, bagi pasar Eropa atau Amerika Serikat, aspek keterlacakan (traceability) produk perikanan ini amat penting, seperti pada produk ikan tuna.

Melihat tingkat kematian yang tinggi, para nelayan juga mengharapkan agar berat lobster yang boleh ditangkap bisa diturunkan, dari 200 gram menjadi 100 gram. “Karena kalau 100 gram ke atas itu lebih mudah mati,” kata Lalu Samsul Hakim, nelayan di Lombok Timur.

Dari sisi pemasaran, pemerintah melalui KKP dan Kementerian Perdagangan perlu lebih aktif mendampingi nelayan untuk menemukan pasar, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Katakanlah semacam pertemuan nelayan dan pembeli sehingga nelayan bisa menemukan jalur-jalur pemasaran baru, tidak hanya ke Vietnam dalam bentuk bibit. Dengan demikian nelayan bisa menghasilkan lobster berkualitas dan menjualnya langsung ke negara tujuan dengan merek dagang dari Indonesia bukan Vietnam. Lobster bisa berkelanjutan, nelayan makmur, dan negara pun berdaulat.

 

Exit mobile version