Mongabay.co.id

Deforestasi Hutan Tropis: Pentingnya Penyesuaian Strategi

Opini ini pertama kali diterbitkan di Mongabay pada tanggal 8 Maret, 2018.

 

***

Saat ini, kita sedang berada di tengah-tengah upaya global terbesar dalam sejarah untuk menghentikan deforestasi hutan tropis, yang didorong oleh pentingnya hutan tropis dalam upaya menangani perubahan iklim. Ada sebuah dimensi baru yang menarik dalam upaya global ini, yaitu pengumuman ratusan perusahaan mengenai niat mereka untuk mewujudkan pengadaan komoditas yang “bebas deforestasi” terkait apa yang mereka impor dari negara-negara hutan tropis[i].

Sayangnya, kemajuan yang dicapai tidaklah secepat yang diharapkan; akibatnya, peluang kita untuk menghindarkan perubahan iklim yang membawa bencana menjadi semakin kecil[ii],[iii].

 

Gambar 1. Menang dalam pertempuran namun kalah dalam peperangan? Berbagai strategi rantai pasok telah diterapkan dan berhasil memperlambat deforestasi yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kedelai dan kelapa sawit. Namun, deforestasi regional di wilayah Amazon Brasil dan Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Deforestasi yang memuncak di Indonesia pada tahun 2016 turut mencakup hilangnya hutan yang diakibatkan oleh kebakaran.

 

Di satu sisi, kita memenangkan pertempuran, namun tampaknya akan kalah dalam peperangan. Di dua negara dengan tingkat deforestasi yang sangat tinggi, yakni Indonesia dan Brasil, luas hutan yang hilang akibat ekspansi kelapa sawit dan kedelai telah berkurang. Akan tetapi, laju hilangnya hutan justru tetap atau cenderung meningkat (Gambar 1). Deforestasi di wilayah Amazon Brasil pada tahun 2017 terhitung 64% lebih rendah dibandingkan rata-rata deforestasi dari tahun 1996 hingga 2005. Namun, titik terendah telah dicapai pada tahun 2012 dan sejak saat itu deforestasi kembali merangkak naik hingga saat ini. Di Indonesia, deforestasi belum memperlihatkan kecenderungan menurun, baik di tingkat nasional maupun di wilayah Kalimantan.

Sebagaimana telah disimpulkan sebelumnya[iv], penyesuaian strategi sangatlah dibutuhkan. Tujuan untuk menghentikan dan memutarbalik laju deforestasi harus dirajut ke dalam agenda dan narasi yang lebih luas, yang dapat memenangkan suara bagi para pemimpin bernyali yang mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah-wilayah hutan tropis. Strategi tersebut haruslah juga memberikan pengakuan dan ganjaran positif untuk para petani, komunitas, dan bisnis yang tengah beralih ke sistem produksi yang berkelanjutan di tingkat tapak. Yang terakhir, strategi tersebut harus dapat menjawab kemunduran anti-lingkungan di berbagai sektor pertanian di negara-negara hutan tropis, yang paling terkenal misalnya Frente Parlamentar da Agropecuaria (Bancada Ruralista), blok politik terkuat di parlemen Brasil. Ketiga hal ini tentunya saling terkait satu sama lain. Esai ini memfokuskan diri pada aksi pemerintah yang seringkali terlupakan.

Kami akan mengawali esai ini dengan satu peringatan: jumlah pemimpin politik yang telah berkomitmen untuk mendorong yurisdiksi hutan tropis mereka menuju keberlanjutan dan pembangunan hijau masih relatif kecil. Strategi mereka pun masih cukup rapuh. Salah satu asumsi esai ini adalah apabila para pemimpin politik ini berhasil, yang lain akan mengikuti jejak mereka.

 

Foto hutan Amazon Brazil dari NASA. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Strategi apa saja yang telah berhasil memperlambat deforestasi?

Kisah sukses terbesar di dunia dalam menurunkan deforestasi datang dari wilayah Amazon Brasil, di mana deforestasi berhasil ditekan hingga 60-80% di bawah rata-rata historis sejak tahun 2009 (Gambar 1). Penurunan ini bukanlah disebabkan oleh habisnya hutan di Amazon. Delapan puluh persen hutan di wilayah tersebut masih berdiri tegak. Pemerintah Brasil mengembangkan sistem kinerja yurisdiksional untuk mencapai penurunan deforestasi ini[v]. Pemerintah menetapkan target penurunan deforestasi sebesar 80% hingga tahun 2020 untuk seluruh wilayah Amazon Brasil. Pemerintah juga mengembangkan berbagai insentif untuk mewujudkan target tersebut. Dan lagi, mereka memonitor, melaporkan, dan memverifikasi kemajuan pencapaian target penurunan deforestasi melalui sistem yang dapat diandalkan dan transparan. Strategi ini memang masih jauh dari sempurna. Strategi ini sangat menitikberatkan hukuman dan kurang memberikan insentif, yang menjadi salah satu alasan kembali meningkatnya deforestasi (Gambar 1)[vi]. Berbagai intervensi rantai pasok seperti Moratorium Kedelai Brasil telah menyumbang pada keberhasilan program dan kebijakan-kebijakan pemerintah nasional maupun negara-negara bagian di Brasil, namun bukanlah alasan utama yang menyebabkan turunnya deforestasiiii.

Kisah sukses Brasil menunjukkan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tingkat deforestasi adalah keputusan yang dibuat oleh jutaan orang yang tinggal atau bekerja di hutan tropis – menebang hutan atau tidak. Berbagai peraturan, kawasan lindung, serta tata ruang dapat – dan di berbagai wilayah memang secara nyata – mempengaruhi keputusan ini. Ketersediaan dana publik untuk pertanian dan kehutanan dapat menentukan jenis-jenis aktivitas yang dapat dikerjakan secara finansial. Insentif fiskal, termasuk pajak dan kebijakan perdagangan, dapat mendorong jenis penggunaan lahan tertentu dibandingkan yang lainnya. Lokasi dan kualitas infrastruktur transportasi dan energi seringkali dipengaruhi oleh pemerintah, jika tidak dikendalikan sepenuhnya. Pemerintah juga biasanya merupakan pemegang tunggal kekuasaan penegakan hukum dan aksi militer.

Kesemua alat yang memiliki kuasa besar ini dapat digunakan untuk “menebang habis pohon” atau digerakkan untuk membangun model-model pembangunan yang “berkelanjutan”. Pilihan ini adalah inti dari tantangan deforestasi hutan tropis. Bagaimana caranya agar lebih banyak lagi pemimpin politik dan pemerintah di wilayah hutan tropis mau memilih jalan menuju keberlanjutan?

 

Foto hutan Amazon Brazil dari NASA. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Tidak seperti kelihatannya, jawabannya ternyata sangat sederhana: dengan membingkai tantangan deforestasi hutan tropis sedemikian rupa hingga dapat memenangkan suara para pemilih.

Keberhasilan politik para pemimpin pemerintahan dalam sistem politik demokratis ditentukan oleh pemilih dan kepentingan-kepentingan khusus. Di berbagai belahan dunia, penduduk biasanya memberikan suara bagi kandidat dan partai politik yang mereka percaya akan mewakili serta memperjuangkan kepentingan mereka sebaik-baiknya. Hal ini tidaklah berbeda di wilayah hutan tropis.

Salah satu tantangan terbesar hari ini adalah kenyataan bahwa sebagian besar pemilih di wilayah-wilayah hutan tropis percaya bahwa kondisi mereka akan lebih baik dengan adanya lebih banyak deforestasi, bukan sebaliknya. Bukti ilmiah yang sangat kuat, yang menunjukkan pentingnya peran hutan tropis bagi kestabilan iklim global dan regional, pengendalian banjir, penyerapan air, konservasi lahan, penyerbukan, dan banyak jasa lingkungan lain yang akan menjadikan kehidupan penduduk wilayah hutan tropis lebih baik, tampak kurang meyakinkan dan kurang “nyata” dibandingkan dengan pemikiran sederhana yang diketahui dengan sangat baik oleh siapapun yang memiliki atau hendak membeli lahan: nilai lahan hutan lebih murah dibandingkan dengan lahan yang sudah dibuka.

 

Hutan Atlantic Brazil. Foto : Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Mari kita ambil contoh sederhana tentang karbondikoksida, gas rumah kaca yang terpenting. Nilai karbon hutan tropis sangatlah besar, namun belum dihitung secara moneter, dan akibatnya, hutan tropis yang masih berdiri tegak tidak dapat bersaing dengan baik dengan berbagai manfaat ekonomi yang bisa didapatkan dari konversi hutan menjadi perkebunan atau produksi hewan ternak. Sekitar ~300 ton karbon (1.100 ton CO2e) yang tersimpan dalam satu hektar hutan Amazon bernilai $33.000 dalam hal kerugiaan ekonomi global akibat perubahan iklim yang dapat dihindarkan[vii]. Sebagai perbandingan, satu hektar lahan Amazon yang diubah menjadi padang penggembalaan dengan satu ekor sapi di dalamnya bernilai sekitar $500; nilai satu hektar hutan jauh lebih kecil.

Pertanian dan peternakan hanyalah satu dari sekian kepentingan ekonomi yang ingin membuka wilayah hutan tropis untuk kepentingan pembangunan. Apapun jenis sumber daya yang ingin mereka keruk: lahan, kayu, mineral, ataupun hidrokarbon, lobi yang mengiklankan “deforestasi = pembangunan” sangat meluas dan kuat, dan mereka sangat aktif di waktu-waktu pemilihan untuk mendorong pemerintah agar memperjuangkan kepentingan mereka.

Jadi, apabila agenda pembangunan berkelanjutan – dan hutan tropis – harus bersaing dengan propaganda yang disuntikkan ke rumah-rumah pemilih oleh berbagai lobi “tebang hutan” ditambah pengaruh penting lobi-lobi ini terhadap para pemimpin politik, apakah masih ada harapan?

Ya.

 

Hutan di Brazil. Foto : Rhett A. Butler

 

Membangun kasus untuk tindakan pemerintah: empat langkah

Di bawah ini adalah empat langkah yang dapat dilakukan untuk mengakhiri deforestasi hutan tropis. Berbagai perubahan ini tengah berlangsung dan telah menjadi bagian dari paradigma baru yang tengah berkembang terkait pelestarian hutan tropis dan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, yang dikenal dengan istilah “keberlanjutan yurisdiksional”, yang kami uraikan dalam publikasi baru kami, “bacaan awal untuk para praktisi

1. Untuk masyarakat internasional: temukan sebuah narasi strategi untuk mengakhiri deforestasi tropis yang dapat memenangkan suara di wilayah-wilayah hutan tropis

Slogan salah satu faksi bisa jadi menjauhkan faksi yang lain.

“Deforestasi nol” telah menjadi slogan internasional untuk mengatasi deforestasi hutan tropis. Kami adalah kontributor awal yang turut mempromosikan slogan ini melalui artikel kami yang berjudul “Akhir dari deforestasi di wilayah Amazon”[viii].

Sejak saat itu, kami belajar bahwa frase “deforestasi nol” dapat mengalienasi pihak-pihak yang dapat dijadikan sekutu penting. Untuk mewujudkan “deforestasi nol,” kita mungkin butuh cara lain untuk menyebutnya.

Bagi para petani Brasil yang berorientasi pada konservasi, yang telah menjaga hutan di lahan pertanian mereka lebih dari apa yang diwajibkan hukum, “deforestasi nol” berarti nilai lahan pertanian mereka lebih rendah dibandingkan lahan pertanian tetangga-tetangga mereka yang menebang hutan lebih banyak dari yang diizinkan, biasanya tanpa konsekuensi negatif apapun.

Bagi para rumah tangga dan komunitas yang tinggal di wilayah hutan tropis di berbagai belahan dunia, yang bergantung pada pertanian tebang-bakar untuk bertahan hidup, istilah “deforestasi nol” bisa berarti pengucilan dari pasar, marjinalisasi ekonomi, dan naiknya risiko kehabisan bahan pangan.

 

Hutan di Brazil. Foto : Rhett A.Butler/Mongabay Indonesia

 

Bagi pemerintah dan pemimpin politik di berbagai wilayah hutan tropis, dukungan terhadap “deforestasi nol” dapat dilihat konstituen mereka sebagai tindakan mengalah pada tekanan internasional dengan melepaskan peluang mewujudkan kemakmuran yang bisa didapatkan dari “pembukaan lahan” – kemakmuran yang telah dinikmati oleh negara-negara industri di wilayah mereka sendiri.

Narasi terkuat untuk memenangkan suara di wilayah hutan tropis bagi para pemimpin politik yang memiliki keinginan untuk memperlambat, mengakhiri, dan pada akhirnya membalikkan deforestasi sangatlah sederhana pada tingkatan tertentu: “Kita akan memiliki lebih banyak pekerjaan, peluang pendidikan yang lebih besar, kemakmuran ekonomi yang lebih tinggi, layanan kesehatan yang lebih baik, keadilan sosial, udara dan air yang lebih bersih melalui ekonomi hijau yang dapat memulihkan lahan, hutan, dan perikanan.”

Narasi ini bukanlah sekadar impian atau omong kosong belaka. Narasi ini telah digunakan. Sebagai contoh, pada tahun 1998, Gubernur Jorge Viana meluncurkan konsep “Florestania (Kewarganegaraan Hutan)” di Negara Bagian Acre di Amazon Brasil, yang kemudian dimodifikasi dan dikembangkan lebih jauh oleh dua pemerintah setelahnya, termasuk saudara laki-laki Jorge, Tião, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur[ix]. Sebagian besar pemilih Acre percaya bahwa kondisi mereka menjadi lebih baik di jalur pembangunan hijau ini dibandingkan alternatifnya, meskipun pemilihan pada bulan Oktober 2018 nanti mendatangkan tantangan baru. Para penduduk dan kelompok bisnis Acre kini terhubung dengan Peru melalui jalan bebas hambatan Interoceanic. Mereka membanggakan fakta bahwa negara bagian mereka hampir bebas sama sekali dari buta huruf, bahwa layanan kesehatan mereka telah membaik, PDB mereka meningkat, anak-anak sekolah mereka mencapai hasil lebih baik dalam ujian, dan komunitas hutan mereka mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Kesuksesan negara bagian mereka dalam memperlambat deforestasi telah berhasil dirajut ke dalam visi pembangunan hijau yang lebih besar.

 

Hutan mata atlantica brazil Foto : Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Dan sektor-sektor perkebunan raksasa utama di negara bagian Mato Grosso di Amazon Brasil menemukan bahwa upaya untuk menyepakati definisi bersama mengenai keberhasilan mengatasi deforestasi di tingkat negara bagian, menghasilkan lebih banyak bahan pangan, dan mendukung petani skala kecil dapat diwujudkan hanya dalam beberapa bulan saja. Tidak adanya definisi keberhasilan yang disepakati bersama, secara mengejutkan, adalah penghalang penting bagi kemajuan di tingkat tapak. Jika tujuan Mato Grosso tercapai, yakni strategi “Produksi, Konservasi, dan Inklusi” (PCI), yang baru mulai menarik investasi, negara bagian ini akan mencapai deforestasi nol pada tahun 2030, menghindarkan lepasnya 6 miliar ton karbondioksida ke atmosfer. Viabilitas politik dari pertaruhan Gubernur Pedro Taques terkait PCI ini akan terlihat pada pemilihan bulan Oktober mendatang.

Di Peru, “Koalisi Publik-Privat bagi Pembangunan Pedesaan Rendah Emisi” diluncurkan di departemen San Martín bulan Agustus lalu, dengan melibatkan lebih dari 45 organisasi bisnis, serikat petani, pemerintah daerah, dan organisasi non-pemerintah. Koalisi ini berkomitmen untuk mengatasi deforestasi hutan tropis sembari meningkatkan produksi pertanian dan pengakuan atas hak-hak masyarakat hutan.

 

2. Untuk sektor bisnis yang telah memiliki komitmen keberlanjutan: bergeraklah dari ikrar “deforestasi nol” unilateral menuju kemitraan dengan pemerintah daerah dan sektor pertanian

 

Merebaknya ikrar dan rencana implementasi “deforestasi nol” membawa peluang untuk mendorong penurunan deforestasi hutan tropis skala besar, tapi membawa risiko yang juga tak kalah besar, sebagaimana kami ulas dalam publikasi tahun 2016 berjudul “Membuat ikrar deforestasi perusahaan berjalan” yang baru-baru ini dilaporkan. Agar berbagai ikrar ini berdampak positif terhadap hutan tropis sekaligus menyediakan kapital yang dibutuhkan oleh para pemimpin politik progresif untuk mewujudkan tujuan-tujuan keberlanjutan mereka, kemitraan kolaboratif dengan pemerintah daerah dan sektor-sektor pertanian di wilayah-wilayah penghasil komoditas perkebunan sangatlah dibutuhkan.

 

Hutan Kalimantan Tengah, terbabat bersiap berganti sawit. Foto: Save Our Borneo

 

Di tahap-tahap awal kolaborasi, pertemuan di antara gubernur dan pemimpin bisnis yang menghasilkan foto, berita utama, dan narasi “keberlanjutan-sama-dengan-peluang-baru” dapat berkontribusi pada kapital politik ini. Seiring dengan berjalannya waktu, photo ops harus menampilkan pula fitur-fitur mengenai kemitraan aktual yang telah berhasil dan berbagai manfaat yang didapatkan negara bagian atau penduduk provinsi dari kemitraan-kemitraan ini.

Berbagai kemitraan di atas tidak memerlukan dana dalam jumlah besar. Sebagai contoh, kemitraan Unilever dengan Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah, Indonesia, yang diperantarai oleh sebuah lembaga penelitian non-profit, INOBU, telah membantu memetakan ribuan petani sawit skala kecil dengan investasi yang tidak terlalu besar, yang memungkinkan para petani ini untuk ikut serta dalam ekonomi formal dan mengakses program pertanian dari pemerintah. Salah satu kelompok petani ini baru saja menerima sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan di bawah RSPO dan menjual sertifikasi RSPO mereka, yang kemudian menghasilkan suntikan kapital yang signifikan. Manfaat keberlanjutan yang dapat dilihat mulai dirasakan oleh semakin banyak penduduk Kabupaten Kotawaringin Barat.

Bermitra dengan pemerintah di wilayah hutan tropis kini semakin mudah. Peluang untuk bermitra dengan pemerintah di wilayah hutan tropis yang juga anggota satuan tugas Gubernur untuk Iklim dan Hutan (GCF) dapat dilihat di platform GCFImpact.org, yang dilengkapi dengan volume produksi lebih dari enam puluh tanaman perkebunan dan kehutanan serta berbagai kebijakan, program, ikrar, dan inovasi lain yang dijalankan pemerintah. Pada akhir tahun ini, “Dana Inovasi GCF” akan diluncurkan oleh Sekretariat GCF berkolaborasi dengan UNDP dan Pemerintah Norwegia, yang akan menyediakan pendanaan krusial bagi pemerintah anggota GCF untuk mempertajam dan menjalankan berbagai strategi pertumbuhan hijau serta sebagai wadah bagi kelompok bisnis untuk memberikan donasi kepada wilayah-wilayah dari mana mereka mengadakan barang guna menunjukkan komitmen keberlanjutan mereka.

 

Beberapa orangutan yang terjebak di hutan yang terfragmentasi diantara perkebunan kelapa sawit di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Foto: Centre for Orangutan Protection

 

3. Untuk pemerintah wilayah hutan tropis: ciptakan kejelasan pengaturan dan efisiensi administratif yang dapat menarik investor dan mitra dagang

 Sinyalemen pasar dari para pembeli komoditas saja tidaklah cukup untuk mendorong peralihan menuju pembangunan berkelanjutan. Untuk memenangkan suara guna mendukung pelestarian hutan tropis, diperlukan bukti yang dapat dilihat bahwa jalan menuju keberlanjutan adalah juga jalan menuju kemakmuran, pendidikan, dan layanan kesehatan yang lebih baik. Di berbagai wilayah hutan tropis, hal ini berarti pengerahan kreativitas dan kekuatan perekonomian hijau untuk menciptakan usaha-usaha baru yang menciptakan kemakmuran dan pekerjaan dengan cara yang menguatkan kemajuan.

Tapi, bagaimana pengaruh deforestasi terhadap investasi hijau?

Para investor hijau menghindari wilayah hutan tropis di mana terdapat risiko tinggi dikaitkannya mereka dengan meluasnya deforestasi, merebaknya kebakaran hutan, pelanggaran hak asasi manusia, pekerja paksa, atau ekstraksi mineral yang merusak. Mereka juga menghindari wilayah-wilayah dengan birokrasi yang menyulitkan atau korup.

Di sisi lain, para investor hijau tertarik pada wilayah dan proyek-proyek dengan risiko rendah, efisiensi tinggi, dan potensi balik-modal yang tinggi. Mereka tertarik pada wilayah-wilayah dengan pemerintahan yang kuat, yang berkomitmen pada pelestarian lingkungan hidup, keadilan sosial, dan transparansi. Mereka tertarik pada wilayah-wilayah di mana insentif fiskal dan administratif berpihak pada pendirian usaha-usaha baru yang berkelanjutan. Mereka mengharapkan aturan yang jelas dan penegakan yang adil dari aturan-aturan tersebut. Mereka ingin dapat bercerita tentang harapan dan optimisme terkait dampak investasi mereka.

 

Jika curah hujan di kawasan tropis berubah, maka hutan hujan seperti di Kalimantan ini akan merasakan dampak yang parah. Foto: Rhett Butler/Mongabay Indonesia

 

4. Untuk NGO dan Donor: jangan lupakan insentif

 Sangatlah sulit menjadi petani, pengelola hutan, atau nelayan yang berkomitmen terhadap praktik-praktik produksi yang berkelanjutan di wilayah-wilayah di mana deforestasi tropis sedang berlangsung secara aktif. Pertama, mereka harus menghadapi tantangan dan hambatan birokrasi regional. Mematuhi peraturan pemerintah yang rumit seringkali sulit dan memakan biaya; produsen yang mematuhi peraturan dapat menjadi sasaran hukuman agen pemerintah yang mengharapkan suap. Tekanan pihak luar dapat menghadirkan hambatan lain. Ketika definisi internasional mengenai sistem produksi yang “berkelanjutan” terlalu mahal untuk dijalankan atau dicapai, atau terlalu berisiko jika Anda adalah petani hutan miskin pinggiran yang bergantung pada metode tebang-bakar, banyak produsen akhirnya memilih jalan dengan hambatan yang paling sedikit: praktik-praktik yang tidak berkelanjutan.

Strategi hutan tropis yang positif dan dapat memenangkan suara menjawab tantangan utama ini melalui dua cara. Pertama, strategi tersebut akan mencari solusi regional skala besar untuk mengatasi deforestasi yang menyediakan jalan yang dapat ditempuh oleh rumah tangga dan komunitas yang menjalankan metode tebang-bakar untuk dapat melampaui kebergantungan mereka terhadap deforestasi. Strategi tersebut akan memberikan pengakuan dan penghargaan pada produsen yang telah menjalankan langkah-langkah berani untuk mematuhi hukum (yang gagal dilakukan Moratorium Kedelai Brasil 2006). Strategi ini akan berusaha menjawab situasi para aktor yang ada saat ini untuk mengembangkan mekanisme yang sesuai dengan budaya mereka untuk menggerakkan mereka menuju pengelolaan yang mempertahankan hutan dan memulihkan lahan. Keberhasilan Brasil dalam memperlambat deforestasi Amazon dicapai dengan membuat petani merasa takut – takut akan dikucilkan dari pasar dan pendanaan, didenda, atau dipenjarakan (lihat ulasan dalam Scienceiii). Langkah selanjutnya haruslah membangun rasa bangga petani.

 

Pembukaan hutan oleh perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Ketika para produsen yang mematuhi hukum dan berorientasi pada keberlanjutan melihat bahwa upaya-upaya mereka diakui, bahwa ada manfaat yang dapat mereka lihat dari praktik-praktik produksi yang berkelanjutan dan pelestarian hutan, dan ketika mereka melihat bahwa komunitas dan wilayah mereka semakin makmur dengan pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik dengan adanya agenda keberlanjutan, mereka akan terus menempuh jalan tersebut.

Dan yang lain akan mengikuti jejak mereka.

 

Kesimpulan

Hutan tropis dapat menghasilkan seperempat dari penurunan emisi yang dibutuhkan pada tahun 2030 untuk menghindarkan perubahan iklim yang membawa bencanai. Untuk mewujudkan potensi ini, sangat dibutuhkan penyesuaian berbagai strategi yang ada saat ini untuk memperlambat dan pada akhirnya membalikkan tingkat deforestasi. Deforestasi hutan tropis harus dirajut ke dalam visi pembangunan yang lebih luas, yang dapat menjadi sumber kebanggaan regional dan diakui secara luas sebagai jalan terbaik menuju kemakmuran, pertumbuhan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini harus menjadi bagian dari visi yang dapat memenangkan suara dalam pemilihan.

***

 

Ucapan terima kasih: Tulisan ini didukung oleh dana bantuan dari Norad kepada Earth Innovation Institute. João Shimada, Silvia Irawan, Juan Ardila, Triyoga Widiastomo, John Watts, David McGrath, William Boyd, Claudia Stickler, Monica de los Rios Leal, Charlotta Chan memberikan kontribusi usulan dan ide-ide penting.

 

[i] Lambin, E. et al. 2018. The role of supply-chain initiatives in reducing deforestation. Nature Climate Change https://doi.org/10.1038/s41558-017-0061-1

[ii] Griscom, B. et al. 2017. Natural climate solutions. PNAS www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1710465114

[iii] Nepstad, D et al. 2014. Slowing deforestation in the Amazon through public policies and interventions in beef and soy supply chains. Science 344:1118-1123

[iv] Nepstad, D. et al. 2014. Slowing Amazon deforestation through public policy and interventions in beef and soy supply chains. Science 344:1118-1123; Nepstad, D. C., W. Boyd, C. M. Stickler, T. Bezerra, and A. A. Azevedo. 2013. Responding to climate change and the global land crisis: REDD+, market transformation and low-emissions rural development. Philosophical Transactions of the Royal Society B-Biological Sciences 368.

[v] Sistem kinerja yurisdiksional atau sistem kinerja wilayah pertama kali dipresentasikan dalam Nepstad et al. 2014 Carbon Management. Lihat pula Nepstad et al. 2014, Science.

[vi] Nepstad, McGrath, Stickler, Alencar, et al. 2014 Science.

[vii] Asumsikan, secara konservatif, bahwa satu ton CO2 menyebabkan kerugian terhadap ekonomi global sebesar $30. Lihat “The Social Cost of Carbon”, US Environmental Protection Agency, 2017.

[viii] Nepstad et al. 2009. The end of deforestation in the Brazilian Amazon. Science 326: 1350-1351.

[ix] Meskipun luas Acre relatif kecil dalam skala Brasil – hanya 160.000 kilometer persegi – luasnya sama dengan tiga kali luas Kosta Rika.

 

Exit mobile version