Mongabay.co.id

Cerita Alam dan Krisis Lingkungan Lewat Batik Lukis Tatang Wibowo

Foto: Tommy Apriando

 

 

Tatang Elmi Wibowo, begitu nama pria 41 tahun ini. Akhir Februari lalu, di galeri miliknya,  Leksa Ganesha,  di Dusun Tembi, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta, dia sedang mengajari tamu dari India membatik.

Bapak dua anak ini, terus menyuarakan lingkungan dengan cara berbeda.  Walaupun tak lagi bergabung di Walhi, kini melalui batik lukis bertema isu lingkungan ditambah pewarna berbahan alami,  karya Tatang diminati kolektor dari berbagai negara, Eropa, Asia, dan Amerika. Tatang berusaha melawan derasnya arus batik warna sintetis dengan pewarna alam,  yang lebih ramah lingkungan.

“Lewat karya batik bisa sedikit berkontribusi pada gerakan lingkungan dengan berdonasi dari keuntungan penjualan dan ikut mengkampanyekan isunya,” katanya, kepada Mongabay.

Pada 2010, dia memutuskan kembali ke Jogja, agar bisa berkumpul bersama keluarga, namun kepedulian terhadap alam tak hilang. Dia memilih menekuni wisata alternatif tentang kebencanaan dan alam serta belajar membatik. Tawaran bekerja di Friends of Earth (FoE) Belanda, dia tolak. Alasannya,  ingin berkarya lewat cara lain, dari film dokumenter sampai membatik.

Setiap hari, Tatang mengampanyekan pelestarian lingkungan dan mendidik pembeli untuk tak merusak lingkungan, paling tidak lewat sosial media yang dia miliki.

Tatang bilang, tak ada bakat menggambar. Awalnya, dia hanya mewarisi pengetahuan dari keluarganya yang berjualan batik dan pemandu wisata. Berawal dari menjual batik ke rekan-rekan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jakarta, dia ditawari belajar membatik. Kala itu oleh pebatik di Kasihan Bantul, juga kakak sepupu seniman Butet Kertarajasa.

Mula-mula Tatang tak tertarik, karena masih bekerja di Jakarta. Akhirnya, dia bulatkan tekat keluar dari Walhi, memilih jadi perajin batik pewarna alam. Dia ingin mewujudkan cita-citanya, bisa bermanfaat bagi masyarakat, walau dengan membatik.

“Dulu, guru batik saya bilang, bisa menjual batik akan lebih baik lagi bisa membatik,” tiru Tatang.

Dia tak yakin waktu itu akan jadi perajin batik. Hingga akhirnya sang guru meyakinkan Tatang, bahwa pasti bisa jadi pebatik. Tiga hingga empat tahun dia nyantri alias belajar membatik. Sangat sulit belajar batik kala itu. Tiap hari dia belajar, sembari membantu mewarnai, memasang frame, hingga ikut menjual.

Sekarang, Leksa Ganesha tak pernah sepi pengunjung, apalagi di hari libur. Banyak wisatawan belajar membatik, bahkan membeli berbagai produk batik karya Tatang.

“Banyak yang belajar membatik, intinya,  mereka saya ajak tahu isu lingkungan dan ikut melestarikan alam,” katanya.

 

Tatang tengah bercerita kepada pengunjung di galerinya. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

***

Tatang terbilang lama bergelut sebagai aktivis lingkungan. Itu bermula ketika menjadi Mahasiswa Pecinta Alam di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, sekitar 1994.

Menurut Tatang, program dan aktivitas Mapala di sana, berbeda dengan Mapala di kampus lain. Mereka punya program turun langsung atau bersentuhan dengan masyarakat, seperti mencari solusi pengelolaan sampah, atau budidaya lahan pertanian dan perikanan.

Selepas lulus kuliah, bersama kolega Mapala menyewa lahan di Kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah. Biat awalnya membangun kemandirian ekonomi lewat bertani, sampai kini kegiatan itu masih lanjut.

Tahun 1997, dia bergabung di Keluarga Pecinta Alam (Kapala) di Yogyakarta. Bermula dari situlah dia mengenal Walhi dan bergabung di Walhi Yogyakarta sebagai eksekutif daerah pada 2004. Pada 2000-2002, dia sudah ikut aktivis Walhi mendampingi masyarakat di Gunung Kidul, Sleman dan Bantul.

Kala itu, tak ada rekan Walhi Jogja tahu, bahwa selain jadi aktivis dia punya kerja sampingan jadi pemandu wisata lepas. Ketika waktu luang,  dia mengantar tamu wisata alam.

Tatang ingat pesan seniornya di Mapala, bahwa jika memutuskan tekuni dunia aktivis, harus penuhi dulu syarat utama, “membangun sendiri dan cukupi logistik keseharianmu.”

“Jadi freelance guide bentuk memenuhi logistik keseharian, agar independensi dan idelialisme sebagai aktivis terjaga,” katanya.

Tatang mengajak wisatawan datang ke lokasi dampingan Kapala dan Walhi Jogja, rata-rata lokasi yang dulu terkena bencana. Dia menyebut, wisata alternatif atau minat khusus.

Baginya, berwisata itu bertukar pengetahuan, bukan hanya bersenang-senang. Wisatawan mengenal lokasi, dimana masyarakat bertahan dalam ancaman bencana, karena yang dibangun hubungan jangka panjang dengan wisatawan dan berbagi ilmu pengetahuan.

 

Karya tentang ikan dan petani Kendeng di Galeri Tatang. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pilihan pemandu wisata tak lepas dari latar belakang orangtua Tatang juga pemandu wisata di Tamansari. Jadi pemandu wisata, baginya paling mudah, sembari membagi waktu di Walhi.

Kala itu, berbekal jaringan yang dipunyai, dia tawarkan paket wisata. Kedekatan dengan masyarakat dampingan di Depok, Bantul, Gunung Kidul dan Sleman, membuat Tatang membangun sistem wisata berkelanjutan dan saling menguntungkan.  Dia pernah mengajak wisatawan datang ke lokasi pengungsian, selain belajar dan bertukar pengetahuan, wisawatan juga berkontribusi nyata kepada para korban. Memberikan donasi dan penyerahan secara transparan.

Saat ini, dia bikin wisaya Green Tour Tembi, mengajak wisatawan bersepeda sembari melihat pemandangan alam, melihat pembibitan ikan, pertanian hingga selesai di makam raja-raja di Imogiri. Sudah empat tahun bisnis ini berjalan, prospeknya bagus. Sembari wisata pengenaltahuan tentang konservasi dan pertanian dibagi dengan peserta wisata.

“Aku hanya memodifikasi wisata dengan sesuatu yang baru, selain wisatawan dikenalkan isu lingkungan namun juga diajak peduli terhadap alam,” kata Tatang.

Setahun di eksekutif daerah Walhi Jogja, dia diajak Chalid Muhammad,  jadi pengurus di Walhi Nasional. Dia fokus menangani manajemen dan pengendalian risiko kebencanaan.

Dia memutuskan kembali ke Jogja, dan menekuni pemandu wisata dan jadi konsultan program untuk isu kebencanaan sembari belajar membatik. Hingga akhirnya pada 2011, dia membuka galeri dan fokus usaha batik.

Tatang bersama koleganya, Didit dan Sofyan Eyank,  juga mendirikan Bingkai, sebuah lembaga yang fokus pada pembuatan film-film bertema lingkungan hidup dan kebencanaan.

Bermodalkan otodidak dan handicam, dia membuat film pertama tentang pertanian pangan lokal di lahan kering Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada tahun 2000,  mereka bekerja sama dengan stasiun televisi RCTI untuk membuat program “Lembar Hijau,” film mereka berjudul Gumuk Pasir di Parangtriris menang sebagai yang terbaik.

 

Karya-karya bertemakan satwa dan pepohonan dipajang di Galeri Leksa Ganesha. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Pewarna alam

Di balik cerita kritik sosial, Tatang juga mengkampanyekan penggunaan warna batik dari alam. Hampir seluruh lukisan batik dia yang berciri khas kontemporer dan abstrak ini pakai pewarna alam dari kayu dan kulit tanaman di sekitar.

Data Universitas Gajah Mada, hingga Januari 2015,  Indonesia masih mengimpor pewarna sintetis untuk tekstil hingga 80.000 ton per bulan sekalipun penggunaan pewarna sintetis tekstil dalam kapasitas sangat besar sudah dilarang.

Padahal, Indonesia memiliki kemampuan sebagai penghasil pewarna alami `blue indigo` terbesar di pasar dunia dan pewarna alami memiliki manfaat yang baik untuk tubuh.

Dari data itu, aneh dan tak etis bagi Tatang,  jika menggambar tema lingkungan, namun pewarna masih sintetis.

Dia gunakan pewarna alami dari daun indigo untuk warna biru, mahoni merah untuk kecoklatan, kulit nangka buat kuning, jalawe kuning tua atau hitam, kadang pakai akar mengkudu, suren, sawo untuk coklat.

“Untuk warna dari akar mengkudu aku belum bisa, yang harusnya menghasilkan warna merah. Untuk hasilkan karya warna merah, aku sesekali masih pakai pewarna sintetis,” katanya.

Bagi Tatang, tak ada tantangan membatik bertema isu lingkungan dengan pewarna alam. Walaupun harus lakukan pencelupan berulang kali, dia menilai itu bagian yang menyenangkan dan seni. Menurut dia, bisa menyambi kegiatan lain sembari menunggu hasil celupan.

Menariknya, dia bisa dapatkan pewarna alam dari sekitar kampung dekat galeri.

Usaha membuat batik dengan warna alam ini diyakini sebagai bentuk kampanye agar tak merusak lingkungan dengan pewarna sintetis. Meskipun, dia tetap memenuhi permintaan pasar dengan membuat warna sintetis. Tak hanya itu, kesadaran atas lingkungan, untuk pembuangan limbah Tatang membuat sendiri instalasi pembuangan air limbah (IPAL) di depan galerinya.

 

Karya Tatang soal Reklamasi Teluk Jakarta. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Selembar kain berwarna biru dengan paduan coklat dibentangkan Tatang di ruang galeri,  hari itu. Kain batik tulis berukuran sekitar 1,5 x 1,75 meter ini bercorak tak biasa.

Tatang merancang lukisan di kain sutera itu dengan lukisan berisi kritik sosial terhadap eksploitasi gila-gilaan alam di Kalimantan. Dia menampilkan dua backhoe— merupakan alat mengeruk hasil tambang—berpadu wajah-wajah manusia dan anak kecil.

“Saya ingin menunjukkan banyak anak yang jadi korban karena tenggelam di lubang bekas penambangan di Kalimantan,” katanya.

Tak hanya tentang anak mati di lubang bekas tambang, Tatang bahkan baru menyelesaikan katalok berisikan karya-karya lukisan batik bertemakan penyelamatan karst Pegunungan Kendeng.

Dia mengajak para perajin batik senior untuk membatik tentang isu itu sembari berkontribusi membantu perjuangan menjaga ekosistem di Pegunungan Kendeng. Untuk menyelesaikan karya-karya idealis bertema lingkungan ini, dia perlu waktu paling cepat tiga minggu.

Tak semua karya Tatang lingkungan, satwa dan alam. Dia punya strategi sendiri, untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dia juga membatik tema umum dengan mengikuti keinginan pasar atau pembeli.

Untuk isu lingkungan, dia buat tergantung kedekatan dengan siapa dan sedang mengangkat isu apa, disitulah dia berkolaborasi. Dia mencontohkan, dekat dengan Jaringan Advokasi Tambang, hingga banyak membuat karya bertemakan penyelamatan lingkungan dari gempuran pertambangan.

“Saat ini, saya lagi bikin karya tentang harimau Jawa untuk sebagian didonasikan pada kegiatan Ekspedisi Harimau Jawa,  bulan depan di Taman Nasional Ujung Kulon,” katanya.

 

Karya Tatang bertemakan perjuangan petani Kendeng. Dia gunakan perpaduan warna merah sintesis dengan warna alam. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dia dekat dengan Didik Raharyono, peneliti harimau Jawa. Dia bahkan pernah mencari harimau di Pegunungan Slamet,  sampai seminggu lebih. Tatang juga orang yang yakin harimau Jawa,  belum punah. Dia mendukung gerakan penyelamatan hutan di Jawa dan berbagai aktivitas untuk membuktikan, karnivor Jawa itu memang masih ada.

Ada karya-karya lain Tatang,  misal, tentang Jogja Ora Didol, bercerita ancaman krisis air karena pembangunan hotel, apartemen dan villa di Yogyakarta. Adapula tentang Bali Tolak Reklamasi, pembalakan liar, konflik agraria, perjuangan penolakan bandara baru di Kulonprogo di lokasi rawan bencana. Lainnya, dia menggambar tentang petani, satwa, alam dan abstrak.

“Walau tidak lagi di lembaga lingkungan, tapi masih bisa ikut mengkampanyekannya lewat batik,” ucap Tatang.

Tatang juga membuat tema ringan seperti vertical garden atau motif sayuran digantung, motif jahe, mengkudu, kumis kucing, cabe, tomat, dan lain-lain. Tatang,  bukan orang yang suka menggambar ulang terhadap karya yang laku dijual. Dia menggambar batik tergantung suasana hati. Saat ini,  ada sembilan orang bekerja di galerinya dan ikut membatik.

Kolektor batik milik Tatang banyak dari luar negeri. Bahkan karya yang dianggap spesial oleh Tatang, selalu cepat dibeli orang. Dengan menggambar dan membatik, dia hanya ingin berkontribusi menyebarkan informasi.

Tolak ukur kesuksesan karyanya, kata Tatang, ketika dia berhasil mengajak koleganya sesama pebatik ikut membuat karya tentang isu lingkungan hidup.

Karya pertama Tatang adalah selendang kecil dibeli oleh orang Amerika pada awal-awal dia membatik. Kala itu, selendang pewarna alam menarik hati orang Amerika yang menebus dengan Rp200.000.

Bagi Tatang,  sekecil apapun, dia ingin berkontribusi secara nyata bagi alam dan lingkungan lewat karya-karyanya…

 

Tatang Elmi Wibowo, pelukis batik pewarna alam. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version