Mongabay.co.id

Pemeliharaan, Tantangan Tingkat Tinggi Konservasi Orangutan

Anggun berbaring di lantai, bergelung selimut merah muda. Tubuhnya lemas, matanya nanar. Orangutan betina ini tergolong bayi. Dia dipelihara Komang, warga Desa Indotani, Kecamatan Sungai Melayu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Keberadaan Anggun diketahui tim Wildlife Rescue Unit – Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang dari call center BKSDA Kalbar.

Saat tim mendatangi kediaman Komang, 2 April 2018, ia berkeras tidak ingin melepaskan Anggun yang dipelihara bak manusia. Makan makanan manusia. Komang merengkuh tubuh ringkih Anggun saat dievakuasi petugas. Sebelumnya, petugas yang diantaranya anggota Kepolisian Sektor Sungai Melayu, Polres Ketapang, harus menjelaskan ancaman hukuman yang dihadapi Komang jika tidak menyerahkan Anggun.

“Saya sayang (Anggun),” tukasnya berurai air mata. Topi kotak-kotak yang dikenakan Komang, menutupi derai air mata di wajahnya. Seolah paham kesedihan Komang, Anggun membalas pelukan Komang sebelum ikut petugas konservasi. Dari pemeriksaan sementara dokter hewan dari Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia, Anggun didiagnosa terkena gejala diare.

Anggun dibawa ke pusat rehabilitasi orangutan. Di sini, ia belajar hidup liar. Tidak satu dua tahun. Mungkin, lima hingga sepuluh tahun lamanya, hingga dia memiliki kemampuan beradaptasi di habitat aslinya.

Pertengahan Maret, tim juga menyelamatkan orangutan, masih di Ketapang. Kali ini di Kecamatan Simpang Hulu. Keduanya peliharaan warga Dusun Patehada, Desa Semandang Hulu, bernama Utu dan Joy dari pemilik berbeda.

Untuk alasan tertentu, nama kedua pemelihara disamarkan: GG dan CC. Utu dipelihara oleh GG hampir lima tahun. Ia ditempatkan di kandang kayu 1,5 x 1 meter, diberi makan nasi dan buah-buahan. Induk Utu ditembak mati dan dijadikan makanan. Selain orangutan, GG juga pernah memelihara kukang, namun mati diserang semut.

Sementara Joy, dipelihara CC, sekitar lima tahun juga. CC membelinya dari pemburu di desa tepi hutan lindung seharga Rp300 ribu. Joy ditempatkan di kandang kayu 1,5 x 1 meter dan diberi makan tebu, nasi campur gula, pisang serta ubi.

Baca: Ingat! Orangutan Itu Bukan Satwa Peliharaan

 

Utu, orangutan yang dipelihara hampir lima tahun lamanya. Utu sudah dievakuasi dari pemiliknya. Foto: IAR Indonesia

 

Walaupun pemeliharaan orangutan merupakan pelanggaran hukum, namun kasus ini masih dianggap hal biasa di Kabupaten Ketapang. Terutama, di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Adanya pembeli, menyebabkan pasar untuk perdagangan dan perburuan satwa dilindungi ini terjaga. Padahal, ini ilegal sesuai aturan hukum Indonesia.

“Mengingat prinsip ekonomi supply and demand, pemeliharaan menyebabkan perdagangan tetap terjadi. Artinya, perburuan di habitat pun terus berlangsung,” beber Manajer Operasional IAR Indonesia, Adi Irawan.

Ada fakta mengerikan terhadap setiap kasus pemeliharaan bayi orangutan. Hampir dapat dipastikan, induknya dibunuh terlebih dahulu untuk mendapatkan anaknya. Normalnya, bayi orangutan tinggal bersama induknya sampi usia 6 hingga 8 tahun. Selama anaknya belum cukup mandiri, sang induk mati-matian menjaga.

“Besar kemungkinan induk Joy dibunuh pemburu. Jika ada bayi orangutan usia dibawah 6 tahun sendirian, bisa dipastikan induknya mati,” ungkap Adi.

 

Joy, orangutan yang dipelihara warga. Kemungkinan besar, sang induk dibunuh pemburu saat Joy ditangkap. Foto: IAR Indonesia

 

Proses rehabilitasi dan persiapan untuk dikembalikan ke habitat aslinya pun, bukan perkara mudah nan murah. Ada waktu dan biaya besar yang harus dikeluarkan. Direktur Program IAR Indonesia, Karmele L. Sanchez, mengatakan, rehabilitasi cukup sulit untuk individu bayi orangutan. Lantaran, jika induknya masih ada, ia belajar bertahan hidup dan mencari makan langsung dari induknya. “Risiko terburuknya adalah mereka sudah terlalu tua untuk direhabilitasi sehingga akan selamanya tidak bisa pulang ke habitat aslinya,” ujarnya.

IAR berharap, pemelihara satwa dilindungi dapat ditindak sesuai UU No. 5 Tahun 1990. Tujuannya, agar tidak ada lagi pemeliharaan terlebih perdagangan orangutan. Efek jera diiharapkan dapat memutus siklus perdagangan-perburuan, dengan menghentikan dari sisi permintaan.

“Ini saatnya, semua orang yang memelihara orangutan menyadari perbuatan itu melanggar hukum. Sebaiknya, orang yang mengetahui ada pihak yang menjual orangutan segera melaporkan ke pihak berwajib,” jelasnya.

Baca juga: Strategi Konservasi Orangutan Harus Perhatikan Segala Hal, Mengapa?

 

Kasus pemeliharaan orangutan merupakan tantangan konservasi yang nyata. Foto: IAR Indonesia

 

Menuju alam bebas

Sepanjang Maret, beberapa individu orangutan dikembalikan ke alam liar. Satu individu dilepasliarkan ke Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Kabupaten Kayong Utara. Lima lainnya, menempati Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kabupaten Melawi.

Tomang, orangutan jantan dewasa, harus evakuasi oleh tim IAR Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) SKW I Ketapang resort Sukadana dan Balai Taman Nasional Gunung Palung (TNGP). Pasalnya, Tomang memasuki kebun warga di Dusun Semanjak, Desa Benawai Agung, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara pada Senin, 12 Maret 2018.

Karena Tomang berasal dari kawasan TNGP, tim memutuskan untuk mengevakuasinya ke lokasi semula. Evakuasi dilakukan karena dikhawatirkan akan menimbulkan konflik dengan warga sekitar.

Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sadtata Noor, mengapresiasi langkah masyarakat yang melaporkan Tomang. “Kesadaran warga perlu diapresiasi. Artinya, sudah ada pemahaman yang benar bahwa satwa ini perlu dilindungi,” katanya.

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung, Dadang Wardhana, menyatakan akan meningkatkan patroli rutin dan penyuluhan ke masyarakat, mengantisipasi satwa dilindungi ini masuk permukiman. “Terutama di desa rawan konflik orangutan, sehingga permasalahan dapat diantisipasi.”

 

Translokasi orangutan hanya solusi sementara atas konflik yang terjadi. Foto: IAR Indonesia

 

Sementara itu, lebih dari 200 killometer jauhnya, Jack, Galang, Dio, Pungky, dan Gembar telah berupaya menyesuaikan diri di alam liar. Mereka dilepasliarkan pada 8 Maret 2018, di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR).

Meskipun sukses dan lancar, translokasi bukanlah solusi utama. “Translokasi hanya solusi sementara atas konflik yang terjadi. Konflik akan berulang jika permasalahan terkait bentang alam belum teratasi,” ujar Karmele.

Untuk program konservasi secara lansekap, kita perlu kerja sama dengan seluruh stakeholder. Bukan hanya warga dan pemerintah, tetapi juga perusahaan yang mempunyai lahan perkebunan di dalam atau di sekitar habitat orangutan. “Ini memang harus kita lakukan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version