Mongabay.co.id

Menyoal Surat Mendagri, Bagaimana Nasib RUU Masyarakat Adat?

Protes warga di perkebunan PTPN II Arso. Foto: Harun Rumbarar/ Mongabay Indonesia

 

“Mengenai UU Masyarakat Adat, saya kira ini inisiatif DPR. Saya sampaikan pemerintah akan terus mendorong agar itu segera diselesaikan. Saya dengar sudah masuk ke Prolegnas 2017. Saya tinggal keluarkan nanti segera supres (surat presiden-nya-red), agar itu bisa segera diselesaikan.”

Begitu pernyataan Presiden Joko Widodo kala berpidato di hadapan sekitar 100 masyarakat adat di Istana Negara Jakarta, 22 Maret 2017.  Kala itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), baru usai Kongres V di Sumatera Utara.

Presiden Jokowi, melalui Menteri Sekretaris Negara, bulan lalu juga sudah mengeluarkan surat presiden soal pembahasan RUU Masyarakat Adat ini dengan menugaskan beberapa kementerian mewakili presiden membahas RUU ini. Beberapa kementerian dan lembaga, dengan koordinator Kementerian Dalam Negeri, diminta membuat daftar inventarisasi masalah (DIM).

Selang setahun lebih beberapa hari dari pidato presiden itu, dari Kementerian Dalam Negeri, muncul kabar mengejutkan AMAN. Pada 11 April 2018, Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Mensesneg, Praktikno, perihal penyampaian daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPMHA).

Surat tiga lembar itu, menjelaskan RUU inisiatif DPR itu masih belum diperlukan dengan dua alasan, pertama, sudah ada peraturan dan UU mengatur masyarakat adat, kedua, UU akan membebani anggaran.

”Benar, itu hasil koordinasi Ditjen (Direktorat Jenderal) Pemdes (Pemerintah Desa) dengan enam kementerian dan lembaga,” kata Hadi Prabowo, Sekretaris Jenderal Kemendagri melalui pesan singkat kepada Mongabay. Nata Irawan, Dirjen Pemdes, membenarkan. Dia bilang, isi RUU sudah dibahas bersama.

Kemendagri, merupakan koordinator mewakili pemerintah dalam menyiapkan dan menyusun DIM bersama dengan enam kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang /BPN, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi serta perwakilan pemerintah daerah.

Penyusunan DIM berlangsung sejak 4-6 April 2018 dan finalisasi 9 April 2018. Dalam resume DIM menyebutkan, soal pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat telah diatur dalam beberapa peraturan perundangan. Yakni, Permen ATR/BPN Nomor 10/2016 mengenai tata cara penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dalam kawasan tertentu, dan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 8/Permen-KP/2005 tentang tata cara penetapan wilayah kelola masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil.  Juga UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan sampai UU Nomor 6/2014 tentang Desa.

”Jadi rancangan UU Masyarakat hukum adat belum kebutuhan konkrit yang khawatir akan menimbulkan permasalahan baru terkait masyarakat hukum adat,” kata Tjahjo, dalam surat itu.

RUU-PPMHA ini dianggap bisa menambah beban berat bagi APBN dengan ada konsepsi pemberian kompensasi terhadap hak ulayat bagi masyarakat adat.

Penyusunan DIM ini menyusul surat dari DPR soal RUU Masyarakat adat kepada pemerintah pada 20 Februari 2018. Prosesnya, setelah pemerintah menyerahkan DIM ke DPR, RUU akan dibahas di pimpinan parlemen, kemudian lanjut ke badan musyawarah (Bamus) untuk menentukan anggota DPR yang akan membahasnya.

Tampaknya Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berpandangan beda dengan Mendagri.

“Kalau soal kesimpulan Kemendagri sebagai koordinator itu kan cara melihat koordinator dan itu ke Mensesneg,” kata Siti Nurbaya, Menteri LHK di Manggala Wanabhakti Jakarta.

KLHK turut menyampaikan pandangan. Dia bilang, secara praktik masyarakat adat sudah berjalan dengan aturan yang ada. Meski begitu, secara teknis pengakuan adat masih sulit karena proses pemerintah daerah dan peraturan daerah tak bisa cepat. ”Tapi itu soal apa tataran atau norma.”

“Saya kira itu yang akan didalami lagi kalau masih terjadi dispute posisi. Kita kembalikan ke mekanisme proses RUU oleh pemerintah,” katanya.

Sebelum itu, pada 8-9 April 2018, KLHK mengumpulkan 13 pakar membahas RUU-PPMHA. Masukan mereka sudah terangkum dan dikirimkan kepada Kemendagri.  (Laporan pertemuan para pakar di KLHK)

”Saya sudah mengajukan tertulis rangkuman diskusi.”

Siti pun mengatakan, kalau masih ada pihak belum sejalan, akan dirapatkan kembali di Sekretariat Negara. ”Pasti posisi berbeda-beda melihatnya.”

 

Stefanus Salimu, salah satu sikerei di Mentawai. Tabib atau sikerei akan kesulitan cari ramuan obat kalau hutan mereka hilang. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Kata Presiden…

Berulangkali presiden mengatakan komitmen mendukung dan mendorong RUU Masyarakat Adat. Salah satu pada pertemuan dengan AMAN di Istana Jakarta, Maret 2017 itu,  Jokowi menyatakan betapa penting penyelesaian RUU Masyarakat Adat bagi masyarakat maupun pemerintah.  UU ini penting, katanya, menyangkut keperluan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan terutama berkaitan dengan lahan.

“Jadi, payung hukumnya kalau itu selesai kita juga lebih cepet. Juga tolong didorong perdanya. Jangan hanya UU. SK bupatinya juga didorong. Karena banyak hal itu ada di bupati, ada di perda,” kata Jokowi, kala itu dalam video yang diunggah Setkap.go.id.

 

Sesat pikir

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menanggapi surat Mendagri ini. Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN dalam rilis kepada media mengatakan, logika berpikir Mendagri sesat fatal.

Peraturan perundang-undangan soal masyarakat adat, katanya, masih tumpang tindih dan saling menyandera. “Belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat adat bahkan jadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap mereka,” katanya di Jakarta.

Dengan begitu, katanya, UU Masyarakat Adat diharapkan jadi jawaban beragam persoalan mendasar pemerintah dalam mengurus masyarakat adat. Terpenting, katanya, UU ini menjamin kepastian hukum bagi masyarakat adat, pemerintah dan dunia usaha.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN, mengatakan, data Mahkamah Agung ada 16.000 kasus belum selesai sejak 1945, lebih separuh kasus mangkrak ini merupakan konflik lahan dan masyarakat adat. Bukan itu saja,  Komnas HAM pun pernah lakukan Inkuiri Nasional Masyarakat Adat dengan mengambil  40 studi kasus konflik masyarakat adat di kawasan hutan.

Temuan Komnas HAM, telah terjadi beragam pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan karena ketiadaan hukum dan tumpang tindih pengaturan perundang-undangan soal masyarakat adat.

“Itu seharusnya jadi dasar pemerintah segera mempercepat pengesahan RUU Masyarakat Adat.”

Menurut Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional, UU Masyarakat Adat merupakan hak konstitusional mereka. Ia harus dimaknai sebagai langkah konkrit pemulihan hubungan negara dengan masyarakat adat

Abdon mengingatkan, pembentukan UU Masyarakat Adat merupakan komitmen Nawacita dan perintah Presiden Jokowi dalam dua kali pertemuan dengan AMAN. AMAN pun menuntut pemerintah melanjutkan proses pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama DPR.

“AMAN menuntut proses pembahasan terbuka untuk memastikan koreksi mendasar dari substansi RUU Masyarakat Adat saat ini.”

RUU PP-MHA sudah pernah jadi inisiatif DPR pada parlemen periode lalu tetapi tak selesai karena leading sector kala itu, Kementerian Kehutanan, terkesan tak serius. Alhasil, RUU ini maju lagi lewat inisiatif DPR dan masuk program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini. Akankah kali ini mengalami kejadian serupa periode lalu karena sikap Kemendagri ini?

 

Foto utama: Protes warga adat di perkebunan PTPN II Arso. Foto: Harun Rumbarar/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version