Mongabay.co.id

Menanti Putusan Gugatan, Masyarakat Jawa Timur Diingatkan Bahaya Sampah Popok

Sejumlah aktivis lingkungan hidup dari Ecoton melakukan aksi teatrikal disertai orasi, di depan gedung Pengadilan Negeri Surabaya, Jalan Arjuno, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (12/4/2018). Aksi memakai topeng dengan sejumlah poster itu, menyerukan penegakan hukum terkait pengelolaan Sungai Brantas dari ancaman popok bayi yang dibuang sembarang.

Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengungkapkan, Gubernur Jawa Timur selaku kepala daerah memiliki kewajiban dan kewenangan mengelola sampah popok yang dibuang ke Sungai Brantas maupun Sungai Surabaya.

“Ini kan otonomi, ada kekuasaan yang dilimpahkan ke provinsi. Masalah lingkungan hidup adalah domain gubernur,” jelasnya.

Masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah, terutama popok bayi ke sungai, merupakan bentuk pembiaran. Gubernur Soerkarwo dianggap tidak memiliki perangkat maupun strategi untuk menjaga sungai dan lingkungan. “Gubernur mengabaikan edukasi, pencegahan, dan penegakan hukum di Jawa Timur.”

Baca: Dianggap Abai Tangani Sampah Popok, Gubernur Jawa Timur Digugat Warga

 

Begini aksi pegiat lingkungan Ecoton yang ingin Sungai Brantas bebas sampah popok bayi, di depan Pengadilan Negeri Surabaya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Prigi mengatakan, popok bayi mengandung 100 persen bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti absorben polymer dengan senyawa kimia sodium poliacrylate microplastic, dan microbeads. Popok juga mengandung selulosa atau bubur kayu dengan senyawa kimia tributilin, styrene, xylene, dan dioxin. Ecoton menemukan 25 persen ikan di Sungai Brantas mengalami inter sex.

Ecoton memperkirakan, hampir tiga juta popok dibuang ke sungai oleh masyarakat. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur 2013, jumlah bayi di Jawa Timur sekitar 1,5 juta, dan bila 50 persen tinggal di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Brantas dan sekitar, terdapat sekitar 750 ribu bayi. Bila satu bayi memakai minimal empat popok sehari, diperkirakan tiga juta popok yang dipakai, yang hampir seluruhnya dibuang ke sungai.

“Di Jawa Timur ada Unicharm yang memproduksi Mamy Poko, hampir 9 juta per hari. Juga, Softex yang memproduksi Sweety hampir 5 juta per hari. Artinya, secara volume ini besar sekali. Kalau bicara 20 persen dari populasi Jawa Timur, sekitar 20 juta popok yang dipakai bayi setiap hari,” papar Prigi.

Hasil kajian dan patroli sungai yang dilakukan Ecoton menunjukkan, aktivitas masyarakat membuang sampah ke sungai masih tergolong tinggi. Dari keseluruhan jumlah sampah yang dibuang ke sungai, 42 persen adalah sampah plastik, dan 37 persen popok bayi.

Sampah popok bayi menjadi ancaman nyata kehidupan masyarakat, yang bergantung pada Sungai Surabaya maupun Sungai Brantas untuk bahan baku air minum PDAM. Dari survei yang dilakukan, terdapat 11 kabupaten/kota di Jawa Timur yang dinilai tidak maksimal menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/kota dalam mengelola sampah, termasuk popok.

“Ada namanya extended produsen responsibility, yang merupakan tanggung jawab produsen. Kami sedang menyasar regulasinya. Pemerintah harus mendorong produsen, karena memang tidak ada standar keamanan dan produk bagi kesehatan,” tuturnya.

 

Sampah popok bayi yang dibuang langsung ke sungai harus dicarikan solusinya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Sidang gugatan

Aksi ini juga merupakan dukungan kepada tiga warga Jawa Timur, yang melayangkan gugatan citizen law suit, di Pengadilan Negeri Surabaya. Sidang gugatan memasuki agenda pembacaan jawaban tergugat, dalam hal ini Gubernur Jawa Timur, yang diwakili kuasa hukum dari Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Jawaban pihak tergugat, diwakili Adi selaku staf Biro Hukum Pemerintah Provinsi Jawa Timur, menyatakan bahwa gugatan itu kabur dan tidak berdasar. Tuntutan membersihkan sampah popok, menurut tergugat, seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas, bukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

“Saya hanya mendapat kuasa untuk menghadiri sidang, kalau saya memberikan keterangan saya salah, mohon maaf,” ucap Adi usai sidang.

Baca: Suarakan Bahaya Sampah Popok Sungai Brantas ke Kementerian sampai Istana Presiden

 

Popok sekali pakai ini bertebaran di sungai yang mencemari air dan lingkungan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kuasa hukum tiga penggugat, Rully Mustika mengatakan, jawaban kuasa hukum tergugat sudah dapat diduga sebagai upaya lepas tangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur .

“Dasar kuat penggugat adalah Pemprov Jawa Timur mempunyai peraturan pengelolaan sampah regional di Jawa Timur yang merupkan kewenangan dan tanggung jawabnya.”

Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, mengikutkan peraturan pengelolaan sampah regional Jawa Timur, seharusnya ada kewenangan dan tanggung jawab mengelola Sungai Brantas. Meski, Brantas merupakan sungai strategis nasional yang merupakan kewenangan pusat,” terang Rully.

Dalam gugatannya, Gubernur Jawa Timur dituntut memperbaiki kondisi Sungai Surabaya secara khusus, dan Sungai Brantas secara umum. Terutama membebaskan sungai dari bahaya sampah popok sekali pakai. Sidang selanjutnya, akan digelar 26 April 2018, dengan agenda pembacaan putusan sela oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya. “Nanti akan ada pembuktian, kami memiliki data yang akan diajukan,” terangnya.

Mega Mayang Kencana, warga Sidoarjo, sebagai salah satu penggugat, mengaku kecewa dengan jawaban kuasa hukum tergugat. Ada kesan lepas tangan mengelola lingkungan hidup di Jawa Timur. “Harusnya, ada kontribusi Jawa Timur sebelum dilempar ke pusat. Perbuatan membuang popok bayi ke Sungai Brantas harus diselesaikan,” tuturnya.

Mega bersama dua penggugat, mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuat aturan tegas. “Selama ini, popok dibuang begitu saja, tidak ada solusi. Terkesan pembiaran. Sanksi denda dan larangan harus ada,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version