Mongabay.co.id

Akhirnya, Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

Orang Mentawai di Dusun Puro, Siberut Selatan sedang mencari daun-daun obat untuk pengobatan dan ritual adat. Mereka hidup bergantung hutan, tetapi wilayah adat berlum ada pengakuan dan perlindungan dari negara. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

Kementerian Dalam Negeri kembali mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) susulan terkait Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU-PPMHA) kepada Kementerian Sekretaris Negara, Senin (16/1/18). Kementerian ini memastikan mendukung kelanjutan pembahasan RUU Masyarakat Adat, setelah sebelumnya memberikan usulan kalau rancangan aturan ini belum perlu.

Baca juga: Menyoal Surat Mendagri, Bagaimana Nasib RUU Masyarakat Adat?

Dalam surat bernomor 410/2347/SJ, Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo mengatakan, DIM yang disampaikan sebelumnya merupakan hasil kajian awal bersama enam kementerian dan lembaga.

“Pada hakikatnya kami mendukung dan melaksanakan kebijakan Bapak Presiden Joko Widodo untuk penyusunan RUU Masyarakat Hukum Adat,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta.

Mengenai rumusan DIM sebelumnya, kata Hadi, ada beberapa pasal harus dihapuskan karena bersifat teknis, hingga tak perlu masuk dalam peraturan setingkat UU. Alasan lain, katanya, ada pasal bertentangan dengan peraturan lebih tinggi.

Poin utama lain, yang diajukan Kemendagri, ada beberapa pasal harus disesuaikan karena sudah ada peraturan perundang-undangan berlaku.

Namun, Hadi tak merinci pasal mana saja yang disarankan dihapus dan disesuaikan.

“Selanjutnya kita serahkan pada rapat terbatas,” katanya.

Nata Irawan, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Dirjen Pemdes) Kemendagri mengatakan, DIM dan pembahasan Kemendagri terkait RUU MHA ini tak serta merta jadi keputusan.

“Kami melihat aspek hukum, sosiologis, empiris dan yuridisnya,” katanya.

Dia mengacu pada sejumlah aturan perundang-undangan lain yang mengatur persoalan masyarakat adat seperti UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Kala masih kurang, Kemendagri siap menerima saran dan pertimbangan dari pihak lain. Yang jelas, kata Nata, Kemendagri tetap berkomitmen mendukung Presiden dan tetap akan membahas RUU ini.

Dalam pembahasan bersama enam kementerian dan lembaga, katanya, akan ada kesepakatan bersama setelah pembahasan normatif dan substantif.

Enam kementerian dan lembaga itu adalah Kemendagri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) dan Kementerian Hukum dan HAM.

“Kemarin masih normatif. Masih dasar. Masih mentah dan sederhana sekali,” katanya.

Menurut Kemendagri, RUU ini bisa jadi koreksi atas UU yang sudah ada. Kemendagri memberikan DIM tersendiri di luar DIM bersama enam kementerian dan lembaga.

Kecuali Kemenkumham, kementerian lain sudah menyerahkan DIM kepada Kementerian Sekretaris Negara untuk dibahas di rapat terbatas. Dari DIM berbagai kementerian ini baru akan diputuskan apakah RUU ini jadi kebutuhan atau tidak.

Selanjutnya,  setelah rapat terbatas akan ada pembahasan bersama DPR.

“Kalau sudah dibahas di DPR baru terbuka masukan dari masyarakat atau organisasi sipil,” kata Nata.

Sebelumnya, seperti berita di Mongabay, kabar dari Kemendagri sempat membuat heboh karena menyatakan, pembahasan RUU-PPMHA,  tak perlu lanjut.

Dalam surat tiga lembar tertanda Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo kepada Menteri Sekretaris Negara, Praktikno, menjelaskan, RUU ini masih belum diperlukan dengan dua alasan, pertama, sudah ada peraturan dan UU mengatur masyarakat adat, kedua, akan membebani anggaran.

Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMA Dahniar Andriani mengatakan,  pengaturan RUU-PMHA memang tersebar dalam berbagai peraturan sektoral seperti UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Desa dan lain-lain. Dalam berbagai UU itu, katanya, masih terbatas definisi soal masyarakat adat dan haknya.

“Ia belum mengurai tentang bagaimana mereka dilindungi dan hak-hak apa saja yang dijamin. Apalagi urusan sektoral itu membuat pengurusan mereka tersebar kemana-mana. Misal pengurusan hutan adat di KLHK, urusan kelembagaan di Kemendes dan Kemendagri. Sebagai kelompok rentan perlu tindakan affirmative,” ucap Dahniar.

Hal penting lain, katanya, jika rezim ini berbicara keragaman, maka saat yang tepat untuk memastikan hak sang penanda keragaman itu terjaga.

 

Foto utama: Orang Mentawai di Dusun Puro, Siberut Selatan sedang mencari daun-daun obat untuk pengobatan dan ritual adat. Masyarakat adat perlu perlindungan dengan aturan kuat agak hak-hak mereka tak terlanggar. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Exit mobile version