Mongabay.co.id

Banggai Cardinal Jadi Ikan dengan Perlindungan Terbatas di Indonesia

Popularitas ikan capungan Banggai atau Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni) di dunia dalam beberapa dekade terus memperlihatkan peningkatan sangat signifikan. Di Amerika Utara, ikan yang sering dijadikan hiasan akuarium itu selalu menjadi perburuan bagi pecinta ikan hias. Perburuan itu, biasanya melibatkan Indonesia sebagai negara asal ikan endemik tersebut.

Eksploitasi yang terus menerus dilakukan terhadap ikan yang masuk dalam keluarga cardinalfish tropis kecil Apogonidae dan merupakan satu-satunya anggota dari genusnya itu, bagi Pemerintah Indonesia bisa mengancam keberlangsungan populasinya. Apalagi, hingga saat ini tidak banyak lembaga yang sukses melakukan budidaya ikan tersebut alias pasokannya masih bergantung kepada alam.

Untuk menjaga keberadaan ikan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara resmi telah menetapkan status ikan tersebut sebagai dilindungi terbatas. Pengesahan status tersebut dilakukan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 49/KEPMEN-KP/2018. Di dalam Kepmen tersebut, dijelaskan bahwa perlindungan dilakukan secara terbatas berdasarkan tempat dan waktu.

baca : Banggai Cardinalfish, Ikan Asli Indonesia

 

Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni), ikan laut yang dinamakan dari Pulau Banggai, Sulawesi Tengah. Terlihat anakan ikan dalam mulut indukannya. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, pekan lalu, menjelaskan bahwa tempat dan waktu tertentu yang disebutkan di dalam Kepmen, adalah berlaku hanya di wilayah Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan hanya pada bulan Februari-Maret dan Oktober-November.

Menurut Brahmantya, status yang termaktub di dalam Kepmen, dibuat berdasarkan hasil rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Riset Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP). Sesuai rekomendasi kedua lembaga tersebut, ikan capungan Banggai mencapai puncak musim pemijahan pada waktu-waktu yang disebutkan di atas.

“Keluarnya Kepmen tersebut menjadi bentuk komitmen dari Pemerintah untuk mengelola ikan endemik Indonesia melalui kaidah-kaidah pengelolaan secara berkelanjutan,” ungkapnya.

Brahmantya menjelaskan, selain untuk menjaga kepentingan keberlanjutan kegiatan perikanan nasional, itu juga menjadi bukti bahwa Indonesia berkomitmen dalam menjaga sumber daya hayati dan lingkungannya. Dengan demikian, pemanfaatan ikan capungan Banggai bisa dilakukan secara lestari dan terus berlanjut hingga ke generasi berikutnya.

baca : Banggai Cardinal ditengah Meningkatnya Kepopuleran dan Ancaman Populasinya

 

Banggai cardinalfish merupakan jenis ikan mouthbrooder jantan atau memelihara anak di mulutnya. Foto : Wisuda

 

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Andi Rusandi menambahkan, ikan capungan Banggai biasanya hidup berasosiasi dengan bulu babi dan anemon. Untuk itu, dalam melakukan konservasi, perlu dilakukan secara terintegrasi dan secara menyeluruh. Dengan demikian, perlindungan dan pemanfaatan ikan tersebut bisa dilakukan secara bersamaan dan tetap dalam koridor yang aman.

“Paling penting, harus ada juga perlindungan mikrohabitat ikan capungan Banggai melalui pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah,” tegasnya.

Salah satu dukungan yang penting untuk dilakukan dalam melaksanakan konservasi ikan capungan Banggai, menurut Andi, adalah keterlibatan pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Laut dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Keterlibatan mereka, akan berdampak besar pada proses konservasi yang akan dan sudah dilakukan.

“Dukungan pemerintah daerah dalam upaya perlindungan ikan capungan Banggai sangat besar pengaruhnya,” tandas dia.

baca : Serunya  Melihat Keluarga Banggai, Ikan Endemik Sulawesi yang Terancam Punah

 

Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni) merupakan jenis ikan yang populer dipelihara di akurium. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Peran Daerah

Andi mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah daerah sendiri bukan tidak ada. Belum lama ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah melakukan pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Daerah Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten Banggai Laut (BANGGAI DALAKA) dengan luas kawasan mencapai 869.059,94 hektare.

Upaya tersebut, bagi Andi, menjadi bukti dari keseriusan pemerintah daerah dalam melindungi hayati laut yang statusnya terancam. Oleh itu, bentuk apapun dalam upaya perlindungan dan konservasi, harus terus dilakukan dan diapresiasi oleh semua kalangan.

Selain pencandangan, Andi menyebutkan, KKP bersama Pemprov Sulteng tengah berupaya menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKP3K Daerah BANGGAI DALAKA sebagai acuan bagi pengelola dakam melaksanakan kegiatan perlindungan, peestarian, pemulihan, pemanfaatan (berkelanjutan) sumber daya kelautan dan perikanan.

“Ini dalam konteks siklus pengelolaan adaptif, agar target-target pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai,” sambung dia.

Diketahui, ikan capungan Banggai adalah jenis ikan hias air laut endemik Indonesia. Ikan tersebut pertama kali ditemukan di perairan laut Pulau Banggai pada 1920. Selanjutnya, diketahui bahwa penyebaran endemik sangat terbatas dan sebagian besar berada di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut Provinsi Sulawesi Tengah.

Sebagai ikan endemik, capungan Banggai diketahui memiliki jangkauan yang sangat terbatas dalam suatu wilayah geografis dan diperkirakan hanya mencapai 5.500 kilometer persegi dengan total populasi kecil diperkirakan tak lebih dari 2,4 juta ekor.

baca : Sanggupkah Indonesia Mengejar Singapura dalam Industri Ikan Hias Dunia?

 

Pasangan Banggai, si jantan mengerami telur di mulutnya di area budidaya ikan hias oleh Yayasan LINI, Desa Les, Tejakula, Buleleng, Bali. Foto Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Selain di kepulauan Banggai, sebaran capungan Banggai juga ada di kepulauan lain. Sebuah populasi kecil ikan tersebut diketahui ditemukan di Luwuk, Sulawesi Tengah dan kemudian ditemukan lagi populasi tambahan di Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Fakta tersebut menegaskan bahwa capungan Banggai adalah terdiri dari populasi terisolasi dan terkonsentrasi.

Meskipun endemik, akibat pelepasan pada jalur pedagangan sebagai ikan hias, populasi introduksi ikan tersebut dapat ditemukan di lokasi lainnya, seperti di perairan Luwuk, Bitung, Ambon, Kendari, Teluk Palu, dan Gilimanuk. Walau demikian, dari hasil penelitian, ikan capungan Banggai di kepulauan Banggai memiliki struktur genetika tertinggi dan memiliki corak warna yang khas, dibanding jenis di luar kepulauan Banggai.

Ciri-ciri dari capungan Banggai, adalah ikan yang memiliki tubuh dengan panjang maksimal sekitar 8 centimeter. Dengan ukuran yang kecil, ikan tersebut tetap mudah dikenali karena memiliki sirip punggung berumbai di bagian pertama dan memanjang sampai ke ekor. Kemudian, pada sirip punggung kedua, diketahui berdiri sangat tegak dengan pola warna yang tegas yaitu tiga garis hitam di kepala dan tubuh.

Ciri-ciri yang hanya ada pada capungan Banggai itu, semakin dipertegas melalui perbedaan antara jantan dan betina. Antara kedua jenis kelamin itu, terdapat rongga mulut yang mencolok besar dan itu hanya bisa terlihat saat mereka sedang diam.

 

Berkelompok

Ciri-ciri lain yang bisa ditemui dari ikan capungan Banggai, mereka adalah ikan yang aktif pada pagi dan sore hari dan merupakan ikan laut tropis demersal yang biasa berkelompok hingga jumlahnya rerata 9 ekor. Saat berenang, ikan tersebut biasanya ada di perairan dangkal pada kedalaman antara 1,5 hingga 2,5 meter saja.

Sebagai ikan yang habitat utamanya di perairan dangkal, ikan capungan Banggai biasa mendiami habitat terumbu karang, padang lamun, dan daerah terbuka pasir. Selain itu, habitat dengan perairan yang tenang dan terlindungi oleh pulau-pulau lebih besar, biasanya juga menjadi habitat paling disukai oleh ikan tersebut.

Di luar habitat-habitat tersebut, ikan capungan Banggai biasanya juga bisa ditemukan pada bulu babi, anemon laut, dan karang bercabang. Untuk makanan utama, ikan tersebut biasanya memakan planktonik, demersal, dan organisme bentik. Copepoda merupakan bagian terbesar dari sasaran mereka.

Keunikan dari ikan capungan Banggai, adalah saat proses pemijahan. Biasanya, pasangan jantan dan betina akan membangun wilayah pemijahan beberapa meter dari kelompok utama. Kemudian, telur-telur yang ukuran diameternya 2,5 milimeter ditempatkan pada rongga mulut indukan jantan untuk jangka waktu tak terbatas hingga menetas.

Tak hanya itu, sebagai spesies unik yang hidup di perairan terbatas, capungan Banggai juga membedakan dirinya dari ikan laut lain karena tidak memiliki tahapan plankton. Kemudian, sepanjang hidupnya, ikan tersebut bisa bertahan maksimal hingga 4 tahun di penangkaran dan 2 tahun di laut lepas.

Di sisi lain, Andi Rusandi menjelaskan, perdagangan ikan capungan Banggai sebagai ikan hias dan di waktu bersamaan terjadi kerusakan mikrohabitat, mengakibatkan terjadinya penurunan kepadatan populasi ikan tersebut di habitat alaminya. Lembaga konservasi dunia the International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah memasukan ikan capungan Banggai ke dalam daftar merah (red list) dengan kategori spesies yang terancam punah.

Selanjutnya pada konferensi penandatangan (conference of parties/COP) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ke-17, dihasilkan keputusan yang mewajibkan Indonesia untuk mengimplementasikan upaya konservasi dan pengelolaan ikan capungan Banggai. Tujuannya, adalah untuk memastikan perdagangan internasional mempertimbangkan prinsip yang berkelanjutan serta melaporkan kemajuan dari upaya yang telah dilakukan pada pertemuan ke-30 Animal Committee CITES, pada 2018.

 

Exit mobile version