Mongabay.co.id

Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

Masyarakat pesisir yang mendiami seluruh pulau di Indonesia membutuhkan perlindungan dari Negara. Hal itu untuk menghalau berbagai ancaman yang datang silih berganti kepada masyarakat di kawasan tersebut. Ancaman tersebut, bisa berupa kriminal, kesejahteraan, sosial, dan lainnya. Yang paling mendasar, masyarakat pesisir saat ini banyak yang terancam akan kehilangan ruang penghidupannya di laut.

Fakta tersebut, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, sangatlah miris mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang tak bisa dilepaskan dari struktur masyarakat pesisir. Tak hanya itu, masyarakat pesisir kemudian semakin tersudutkan karena menghadapi berbagai ancaman setelah pembangunan ramai dilaksanakan di wilayah pesisir.

“Dalam konteks relasi dengan Negara, masyarakat pesisir terancam harus berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah berupa reklamasi, pertambangan pesisir, dan pariwisata yang mengakibatkan masyarakat pesisir tergusur dari ruang penghidupannya tanpa ada perlindungan yang pasti atas keterikatannya dengan wilayah pesisir dan laut,” ucapnya pekan lalu.

baca : Susan Herawati: Masalah Nelayan bukan Hanya Cantrang

 

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Agar masyarakat pesisir bisa tetap bertahan hidup dengan rasa aman dan nyaman, Susan menyebut, Negara harus hadir untuk mendampingi, memberdayakan, dan sekaligus menjamin hak-hak konstitusional mereka. Proses tersebut, diyakini bisa memberi kekuatan untuk masyarakat pesisir dalam menghadapi berbagai tekanan dan ancaman.

Akan tetapi, menurut Susan, walau sangat dibutuhkan kehadirannya, hingga saat ini Negara masih belum terlihat hadir dan memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir. Padahal, dalam konteks tersebut Negara wajib untuk selalu hadir mendampingi.

Susan memaparkan, ketidakhadiran Negara bisa dilihat saat proses penetapan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang masih belum mempertimbangkan dan memasukan kepentingan masyarakat pesisir. Proses tersebut, terlihat saat penyusunan perda di delapan provinsi yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Sulawesi Tengah.

“Sementara itu, ada lima provinsi yang berada dalam tahap akhir yaitu Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat,” ungkapnya.

baca : Tambang Pasir Laut Itu Membuat Nelayan Pantai Labu Menderita

 

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di luar itu, Susan menambahkan, tiga provinsi hingga saat ini masih dalam tahap proses perbaikan yaitu Sulawesi Selatan, Banten, dan Kalimantan Utara. Selain provinsi yang disebut di atas, hingga saat ini sisanya atau sebanyak 19 provinsi masih belum memiliki Perda RZWP3K. Semua dokumen yang sudah disusun, lebih mempertimbangkan kepentingan pemodal bukan masyarakat pesisir.

Pengakuan Nelayan

Selain pembuatan Perda RZWP3K, Susan menjelaskan, ketidakhadiran Negara bisa juga dilihat dari pengakuan terhadap peran serta kontribusi nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Indonesia. Dari total 8.077.719 rumah tangga perikanan, hanya ada 1.108.852 kartu nelayan yang disiapkan oleh negara.

“Dari angka tersebut, hanya ada 21.793 kartu nelayan yang diperuntukkan untuk perempuan nelayan. Artinya, hanya dua persen saja kartu nelayan untuk perempuan nelayan,” tuturnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Susan mengatakan, pemberian asuransi nelayan yang menjadi mandat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, hingga saat ini baru diberikan sekitar 143.600 asuransi kepada nelayan. Padahal, pemerintah telah menargetkan 1 juta asuransi nelayan.

baca : Revisi Perpres Jabodetabekpunjur Potensial Cederai Masyarakat Pesisir?

 

Nelayan di Kusamba, Klungkung, Bali menunjukkan Kartu Nelayan dan kartu peserta Asuransi Nelayan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Selain dua fakta di atas, Susan memaparkan, fakta ketiga bahwa Negara tidak hadir di masyarakat pesisir, adalah berkaitan dengan kebijakan peralihan alat tangkap yang masih berjalan di tempat. Permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan, menjadi persoalan serius saat ini.

“Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda,” tandas dia.

Berdasarkan peta persoalan tersebut, KIARA meminta Pemerintah untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir dan mengimplementasikan amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Pusat Data dan Informasi KIARA pada 2017 mencatat jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari seluruh desa tersebut, tercatat ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

Susan mengatakan, jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang, maka ada lebih dari 25 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan. Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari 5 orang, maka ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.

“Permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu permasalahan yang bersumber dari alam, permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan permasalahan sosial ekonomi politik,” tegasnya.

baca : Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan Nelayan dan Pesisir Mendesak

 

Sebagian nelayan di Bali tidak bisa mendapatkan Asuransi Nelayan karena tidak punya Kartu Nelayan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pesisir Jawa Tengah

Ancaman yang ada di masyarakat pesisir, ternyata dirasakan langsung oleh sebagian besar masyarakat yang mendiami pesisir Jateng. Di sana, nelayan dan masyarakat semakin lama semakin terusir dan tersingkir dari ruang-ruang kehidupan dan penghidupan mereka karena adanya kebijakan-kebijakan yang tidak memperhatikan masyarakat.

Pegiat Lingkungan Masyarakat Pesisir Nico Wauran mengatakan, persoalan yang ada di Jateng dewasa ini memang semakin tak bisa dibendung. Menurutnya, fakta tersebut menjadi cerminan bahwa Pemerintah baik di pusat maupun di daerah tidak serius dalam mengelola wilayah pesisir Indonesia dan tidak mementingkan nelayan dan masyarakat pesisir khususnya di Jawa Tengah.

Adapun, Nico yang mewakili Layar Nusantara, menyebut ada berbagai persoalan di wilayah pesisir Jateng, yaitu:

  1. Adanya pembangunan PLTU Batubara di kabupaten Cilacap, Rembang, Jepara, dan Batang membuat hak akses masyarakat nelayan menjadi terkurangi dan dibatasi ditambah dengan adanya asap PLTU Batubara yang mengancam kesehatan mereka;
  2. Adanya rencana Kampung Bahari, Tanggul Laut dan Tol Laut yang terdapat dalam draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Jateng akan mengancam keberlangsungan hidup, keberlangsungan tempat tinggal dan mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir di Jateng;
  3. Adanya normalisasi sungai banjir kanal timur (BKT) yang akan menggusur nelayan dan masyarakat pesisir di kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang tanpa adanya keadilan bagi warga yang terdampak normalisasi tersebut;
  4. Adanya tarik-ulur peraturan pelarangan alat tangkap tidak ramah lingkungan dan perebutan jalur tangkap menjadikan ketidakpastian yang berakibat munculnya konflik horizontal antara nelayan di Jawa Tengah;
  5. Sulitnya proses membuat kartu nelayan, kartu asuransi nelayan dan klaim apabila terjadinya kecelakaan terhadap nelayan membuat nelayan semakin jauh dari keadilan dan kesejahteraan; dan
  6. Belum diakuinya nelayan perempuan yang benar-benar mencari ikan di laut dengan segala resiko yang ada sebagai seorang nelayan membuat nelayan perempuan tidak dapat mengakses kartu nelayan dan asuransi nelayan.

baca : Pemprov Jateng Langgar Undang-Undang dalam Pembahasan Zonasi Pesisir?

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Berangkat dari beberapa permasalahan Nelayan dan masyarakat pesisir Jateng di atas, jaringan masyarakat Jateng menuntut Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk :

  1. Pemprov Jateng segera membuat peraturan penataan ruang yang partisipatif dan berkeadilan yang menjamin hak-hak Nelayan dan Masyarakat Pesisir dengan berpedoman pada UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia;
  2. Pemprov Jateng segera membuat peraturan daerah turunan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dan mengakui nelayan perempuan sebagai seorang nelayan dan memiliki hak yang sama untuk mengakses kartu nelayan dan asuransi nelayan;
  3. Menghentikan pembangunan maupun kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan dan merampas hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir;
  4. Melibatkan masyarakat secara nyata dalam setiap kebijakan pemerintah baik dalam tingkat perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan yang bertujuan untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
  5. Pemerintah Kota Semarang tidak menjauhkan nelayan dan masyarakat pesisir dari wilayah laut dan memberikan hak-hak masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945, UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No.2/2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan prinsip pembangunan yang harus memperhatikan hak-hak masyarakat terdampak, baik ganti rugi; keadilan sosial; dan kesejahteraan sosial.

 

Exit mobile version