Mongabay.co.id

Walhi: Kondisi Indonesia Masih Darurat Ekologis

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, selama ini telah terjadi ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, Indonesia mengalami kondisi darurat ekologis.

Hal ini dikatakan Nur Hidayat, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, saat menjadi pembicara dalam dialog nasional di Medan, Sumatera Utara, Senin (23/4/18). Kegiatan ini merupakan rangkaian peringatan Hari Bumi dan Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) 2018.

Yaya, biasa disapa, menjelaskan Walhi dalam konferensi nasional lingkungan hidup di Cibubur, 13 Desember 2017, telah menyatakan Indonesia dalam kondisi darurat ekologis. Secara sederhana bisa didefinisikan sebagai situasi atau keadaan genting akibat kerusakan lingkungan hidup. Ini bersumber dari aktivitas monopoli penguasaan sumber daya alam tidak ramah lingkungan yang berdampak pada hilangnya akses masyarakat terhadap sumber penghidupan.

“Revolusi mental belum berhasil membawa rakyat lepas sepenuhnya dari upaya pembungkaman, kriminalisasi, kekerasan, dan perampasan hak mereka. Potret ini menyebabkan terjadinya   ketimpangan penguasaan ruang, sementara penegakan hukum masih berfokus pada pelayanan investasi.”

Baca: Masuki Tahun Politik, Walhi: Pilih Pemimpin Peka Lingkungan

 

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Sumatera Utara, di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. Toba Pulp Lestari. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Dalam catatan Walhi, sekitar 159.178.237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30,65% wilayah Indonesia (darat dan laut). Sebagai gambaran, luas daratan Indonesia sekitar 191.944.000 hektar dan luas laut mencapai 327. 381.000 hektar. Sebaran izin tersebut, 59,77% ada di darat dan 13,57% di laut. Penggunaan ruang bisa lebih besar, apabila data perizinan daerah dapat teregistrasi atau dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian atau lembaga.

Walhi   juga mencatat, ada   302 konflik   lingkungan hidup dan Agraria terjadi sepanjang 2017, serta 163 orang dikriminalisasi. Data ini bersumber dari 13 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur,   Sulawesi Selatan, dan Papua.

Berdasarkan data   Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana   ekologis, disebabkan meningkatnya frekuensi angin puting beliung sebagai dampak perubahan iklim.

“Reduksi   penyelesaian   konflik, deregulasi peraturan percepatan pembangunan infrastruktur, dan perpres penanganan   dampak sosial masih represif, mengakomodir kepentingan   invetasi.”

 

Gambaran penguasaan ruang investasi di Indonesia. Sumber: Walhi

 

Soal penerapan   hukum, menurut Yaya, dari hasil analisis dan pembahasan dilakukan, penindakan kepada korporasi belum maksimal. Putusan badan peradilan masih   dominan menguntungkan korporasi.

Kasus prioritas di KLHK terhenti pada tahap eksekusi atau penjatuhan sanksi saja.   Tercatat, ada perkara register 40 di Sumut, pemulihan kerusakan ekologis senilai Rp16 triliun oleh PT. Merbau Pelalawan Lestari, serta Rp366 miliar denda untuk PT. Kalista Alam di Aceh.

“Tren peningkatan pelepasan kawasan hutan di tahun politik, sudah dimulai pemilu 1987. Peningkatan penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk korporasi, dimulai sejak 1993. Biasanya dilakukan tiga tahap, setahun sebelum pemilu, tahun pemilu, dan  setelahnya,” terangnya.

 

Petani yang harus memanen padinya lebih cepat akibat banjir yang menggenangi sawah mereka di Kabupaten Langkat, Sumut, beberapa waktu lalu. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Tahun politik

Risma Umar, Ketua Dewan Nasional Walhi mengatakan, menjelang tahun politik 2018, Walhi menegaskan bahwa Indonesia belum mampu lepas dari posisi darurat ekologis.

Posisi yang menegaskan Indonesia masih dalam situasi genting, yaitu dominasi penguasaan ruang oleh investasi yang luar biasa dahsyat. “Dampaknya, konflik tidak berhenti dan bencana ekologis meningkat.”

 

 

Penegakan hukum terhadap korporasi perusak lingkungan, menurut Risma, masih rendah, cenderung dijadikan alat kompromi. Negara masih menjadi investasi sebagai alat utama pembangunan.   “Perencanaan pembangunan saat ini memang lebih mengakomodir kepentingan rakyat, tapi lagi-lagi, tetap menjadikan investasi sebagai motor terdepannya. Kita bisa lihat bagaimana percepatan pembangunan infrastruktur lebih dominan melayani kebutuhan investasi, bukan rakyat,” jelasnya.

Tahun politik menjadi penentu masa depan bangsa. Sayangnya, tahun politik juga menjadi tahun ancaman bagi lingkungan hidup dan sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan kajian, perizinan industri ekstraktif selalu meningkat signifikan pada tahun-tahun politik sebelumnya.

“Walhi memandang, keadilan ekologis merupakan solusi untuk melepaskan Indonesia dari kondisi darurat dan memastikan keselamatan rakyat dari praktik buruk industri ekstraktif. Rakyat harus menjadi aktor utama penentunya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version