Mongabay.co.id

Eksploitasi Karst Citatah, Kegiatan Merusak yang Mengundang Bencana

Kelestarian karst Citatah di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, terus diusik. Kepentingan ekonomi yang kental, tanpa sungkan terus menggerogoti kawasan perbukitan batu gamping tertua di Jawa ini.

Karst Citatah yang luasnya 10.320 hektar, terbagi atas lahan sawah 1.794 hektar dan darat 8.526 hektar. Namun, hampir sebagian besar luas itu disesaki perusahan pertambangan, ditambah warga lokal yang menggantungkan hidupnya dari hasil menambang.

Ketua Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC), Deden Syarif Hidayat mengatakan, keuntungan rupiah yang didapat dari hasil menambang karts masih jauh dari sejahtera. Rata-rata, penghasilan masyarakat berkisar Rp50.000 – Rp70.000.

Tiap hari, ratusan ton kapur dihasilkan. Seiring dengan mengepulnya asap hitam dari cerobong pabrik. “Dulu sering pakai dinamit, sekarang agak berkurang. Satu lubang bisa menghasilkan 5-10 ton,” kata Deden.

Sepanjang jalan Padalarang – Cianjur kerusakan karts nampak nyata. Karst Citatah hampir rata dengan tanah. Hanya sedikit kawasan yang masih jauh dari ancaman kerusakan, itu pun karena gerakan masyarakat setempat yang melindungi. “Di Gunung Hawu dan Tebing 125 masih utuh, karena masyarakat memanfatkan dengan cara lain,” paparnya.

Baca: Opini: Karst, Habitat Biota dengan Fungsi Ekologis Penting yang Harus Dilindungi

 

Karst Citatah merupakan kompleks perbukitan batu gamping tertua di Jawa. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Catatan Walhi Jawa Barat menunjukkan, ada 30 lebih perusahaan pertambangan di karst ini yang hampir seluruhnya, habis masa izin ekplorasi dan ekploitasinya. Jumlah itu belum ditambah dengan pertambangan ilegal.

“Akibat tata kelola yang tidak serius, degradasi lingkungan karst makin melebar. Izin perusahaan yang sudah habis pun belum menunjukkan penghentian operasional. Ironisnya, ditengah situasi yang tidak menguntukan bagi keberlangsungan karst, jelang pilkada sekarang ini, pertambangan dijadikan “modal” politik,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan, baru-baru ini.

Baca: Bagaimana Kondisi Ekologi Pulau Jawa Hari Ini?

 

Karst Citatah kondisinya kritis, eksploitasi terus dilakukan dengan dalih kepentingan ekonomi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Balai Arkeologi Bandung Lutfi Yondri mengatakan, kondisi karst Citatah sudah sangat kritis. Hampir tidak ada lagi keistimewaan yang dapat dinikmati sekalipun ada zona konservasi. “Sebetulnya masih banyak situs arkeologi selain di Goa Pawon. Tapi, karena awalnya tidak ada kajian kawasan, kemungkinan besar sudah rusak ditambang,” jelasnya.

Karts Citatah merupakan bentang alam yang menjadi bukti Cekungan Bandung pernah menjadi dasar sebuah laut dangkal, pada 25 juta tahun silam. Kondisi yang terjadi akibat aktivitas geologi. Perbukitan gamping ini juga berperan penting dalam sejarah pengeringan Danau Bandung Purba, rumahnya manusia prasejarah yang melakukan migrasi dari daratan Asia yang luas.

Dugaan itu, diperkuat dengan ditemukannya fosil manusia purba homo sapiens yang diperkirakan berusia 10.000-5.000 tahun, di Goa Pawon pada penggalian 1999-2003. Di goa ini pula ditemukan alat-alat batu, gerabah, bongkah andesit sebagai alat tumbuk dan tulang-tulang binatang (gigi, kuku, rahang).

Kawasan Citatah yang meliputi Goa Pawon, Pasir Pawon, Pasir Masigit, Pasir Bancana, Karangpanganten, Gunung Manik, Pasir Pabeasan, dan Gunung Hawu, kini diambang kehancuran akibat kegiatan manusia moderen dengan dalih ekonomi.

Baca juga: Mongabay Travel : Asyiknya Bermain Sekaligus Konservasi di Tebing Padalarang

 

Seorang pemanjat tebing berada di goa di Citatah, Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat, beberapa waktu lalu dengan latar pabrik-pabrik besar yang mengolah marmer dan bahan komestik, dari kapur yang ditambang dari kawasan karst Citatah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Politik pilkada

Tahun 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Penelitian dan Pengembangan merilis laporan Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada. Laporan itu menyebutkan, ongkos menjadi wali kota atau bupati berkisar Rp20-30 miliar, sedangkan untuk gubernur mencapai Rp20-100 miliar. Sementara laporan LHKPN menunjukkan, rata-rata total harta kekayaan calon kepala daerah hanya Rp6,7 miliar.

“Disinilah potensi konflik kepentingan bisa terjadi,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada acara Jawa Barat Dalam Kepungan Bisnis Tambang di Bandung, pekan lalu.

Menurut Bagus, aktivitas bisnis pertambangan sebangun dengan proses politik pilkada. Pasalnya, terbitnya izin usaha pertambangan (IUP) yang baru, kerap muncul menjelang perhelatan pesta demokrasi. Setidaknya, ada 34 IUP baru yang sudah diajukan dan sudah diterbitkan oleh Gubernur Jawa Barat, pada 31 Januari 2018.

“Hal ini perlu dicermati, mengingat pengajuan izin baru (bila) sesuai regulasi, paling lambat satu tahun sebelum izin itu habis. Sekarang, ada sekitar 260-an izin tambang yang habis per November 2017,” ucapnya. Sejauh ini, infromasi audit tentang potensi kerusakan dan keuntungan ekonomi pertambangan belum dilaksanakan.

Dadan Ramdan menambahkan, dalam konteks pemilu di Jawa Barat yang akan digelar di 17 kabupaten dan 1 provinsi, memang ada 34 IUP yang sudah dikeluarkan. Rinciannya, 4 IUP ekplorasi, 7 IUP produksi perpanjangan, 21 WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), dan 2 izin produksi baru. “Kita harus pantau perizinan ini semua,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version