Mongabay.co.id

Negara Harus Percaya, Rakyat Bisa Kelola Lahan dengan Baik

Petani di Desa Agusen, Gayo Lues, bergotong royong menanam padi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Sebelum datangnya kolonialisme di Indonesia atau Nusantara, pemanfaatan lahan dan laut sepenuhnya dikuasai rakyat. Penguasa atau pemerintahan pada saat itu berfungsi mengatur perdagangan hasil pemanfaatan lahan dan laut, dengan kompensasi memungut pajaknya. Tapi, lahan dan laut sepenuhnya dikuasai rakyat. Ini fakta yang melahirkan bangsa Indonesia yang hidup sejahtera, sehingga terbangun sistem nilai egaliter, terbuka, dan toleran.

“Tapi setelah hadirnya kolonialisme, dominasi pemerintah atau penguasa begitu kuat, sehingga penguasaan lahan dan laut tidak lagi di tangan rakyat. Akibatnya, kehidupan rakyat jauh dari sejahtera. Sistem nilai berabad yang membentuk bangsa Indonesia egaliter, terbuka dan toleran, perlahan terkikis. Kenapa ini terjadi? Karena kolonialisme itu tamak, rakus,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, dari UIN Raden Fatah Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (26/4/2018).

Ketika Republik Indonesia berdiri hingga saat ini, penguasaan lahan dan laut pun tidak diserahkan kembali ke rakyat. Konsensus kebangsaan menyerahkannya ke negara, tetapi negara tampaknya lebih percaya kepada kekuatan modal untuk mengelolanya. Akibatnya, rakyat cenderung sebagai sekrup dari sebuah mesin pengelolaan sumber daya alam. “Jika dibutuhkan tetap dipakai, jika tidak, pasti akan dibuang atau terbuang,” katanya.

Dengan kondisi ini, kata Yenrizal, negara harus kembali percaya kepada rakyat. Tetapi, negara jangan memandang atau mengukur rakyatnya seperti sebuah perusahaan. “Negara harus percaya kepada masyarakat, karena negara berfungsi melindungi dan menjamin kehidupan rakyat, bangsanya. Jaminan terpenting, rakyat tidak tamak atau rakus,” kata Yenrizal.

Baca: Benarkah Perhutanan Sosial Upaya Menjaga Peradaban Indonesia?

 

Negara harus memberi kepercayaan bahwa rakyat dapat mengelola lahan dengan baik. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jangan setengah hati

Sebenarnya, dalam pemerintahan Jokowi-JK ini ada upaya memberikan kepercayaan lagi kepada rakyat untuk mengelola lahan dan laut. Misalnya, melalui skema perhutanan sosial. Namun, apakah kepercayaan itu sudah sepenuh hati?

“Sebagai negara berkembang yang masih dominan agraris, selayaknya rakyat berdaulat atau berhak mengusahakan tanah yang digarapnya. Lahan-lahan produktif yang tidak bernilai sebagai areal kawasan lindung, seharusnya memiliki subjek pengelola yang didominasi rakyat. Baik sebagai individu, berkelompok, maupun mitra dengan pihak lain yang akan meningkatkan kapasitas mereka,” kata Dr. Edwin Martin, peneliti dari BP2LHK Palembang, Jumat (27/4/2018).

Namun, dalam pelaksanaan perhutanan sosial, salah satu skema yang dijalankan pemerintah, harus tetap mengedepankan prinsip keadilan. Negara harus hadir dan mendampingi kelompok masyarakat marjinal, yang rentan dibelenggu kelompok elite. “Perhutanan sosial saat ini sebetulnya sudah on the track, dengan catatan, target pehutanan sosial tidak boleh hanya berhenti pada jumlah izin dan luasan lahan. Tetapi, harus menjangkau pembinaan dan peningkatan kapasitas masyarakat pasca-keluarnya izin pengelolaan,” lanjutnya.

Baca: Hampir 70 Persen Gambut di Sumatera Selatan Dikuasai Perusahaan. Masih Adakah untuk Masyarakat?

 

Negara harus percaya kepada masyarakat untuk mengelola lahan, karena negara berfungsi melindungi dan menjamin kehidupan bangsanya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tidak utuhnya proses “devolusi” ini berdampak pada kinerja perhutanan sosial yang telah dikelola rakyat, seolah-olah buruk. Pada gilirannya, beberapa aktor penyelenggara negara menjadi setengah hati melepas lahan untuk rakyat, dengan mengambil dalih kasus perhutanan sosial yang buruk tadi. “Mereka pun, seakan memperkuat kembali kepercayaan pengelolaan lahan kepada pelaku usaha,” katanya.

“Mereka seakan lupa, jika para pelaku usaha itu memiliki kesulitan mengelola nafsunya untuk tidak tamak. Ancaman terbesar itu, bukan orang bodoh, tapi orang tamak. Orang bodoh dididik menjadi baik, orang tamak dididik membodohi orang baik,” kata Edwin.

Sebagai informasi, Sumatera Selatan (Sumsel) telah memiliki Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) yang saat ini dipimpin Prof. Dr. Rujito Agus Suwignyo. Sesuai target dari Presiden Jokowi pada 2018 ini, tersalurkan dua juta hektar lahan melalui skema perhutanan sosial di Indonesia, dan Sumatera Selatan ditargetkan 200 ribu hektar.

Guna melanggengkan kerja perhutanan sosial, terutama terkait targetnya, PPS Sumsel juga mengupayakan lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) Perhutanan Sosial.

Dikatakan Rujito, pada Lokakarya Pokja PPS Sumsel pada awal April 2018, selain Sumsel, ada provinsi di Kalimantan yang tengah menyusun naskahnya tapi belum disahkan menjadi pergub. “Semoga Sumsel yang pertama melahirkan Pergub Perhutanan Sosial seperti halnya Perda Gambut,” katanya.

Baca juga: Perhutanan Sosial di Aceh yang Masih Terbentur Kewenangan

 

Potensi satu juta hektar lahan kelola masyarakat Sumatera Selatan Peta: HaKI

 

Target 200 ribu hektar, tentu sangat sedikit. Jika ditambah dengan lahan yang sudah terealisasi seluas 56.383 hektar, angka itu jauh dari target wilayah kelola masyarakat sipil di Sumsel yang ditargetkan sekitar satu juta hektar.

Target program perhutanan sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan Peta Indikator Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) untuk wilayah Sumsel, ada potensi seluas 586.393 hektar (Data PIAPS, 2015).

HaKI (Hutan Kita Institute) yang mewakili masyarakat sipil di Sumsel menyatakan, luasan tersebut tidak sebanding dengan kondisi kebutuhan. Dalilnya, BP DAS Musi (Sekarang BP DAS HL) ada lebih dari 699 desa definitif yang berada di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan. Total luas wilayah desa tersebut sekitar 2 juta hektar atau 53 persen dari total luas kawasan hutan di Sumatera Selatan (BP DAS, 2013).

Berdasarkan kajian yang dilakukan HaKI, potensi kelayakan pengembangan perhutanan sosial di Sumsel seluas 1.009.791,91 hektar. Sementara Edwin Martin berpendapat, seharusnya luasan tersebut sekitar 10 persen dari luasan kawasan hutan di Sumsel.

 

 

Exit mobile version