Mongabay.co.id

Garam Rakyat Didorong Penuhi Standar Internasional, Bagaimana Caranya?

Pemerintah berjanji terus mendorong pengembangan produksi garam rakyat untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi nasional. Produksi garam rakyat juga didorong agar kualitasnya terus meningkat hingga berstandar garam industri. Sehingga suatu saat kebutuhan garam industri nasional bisa dipasok dari dalam negeri.

Demikian diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono di Jakarta, akhir pekan lalu. Pemerintah memang sudah berkomitmen mengembangkan garam rakyat. Tetapi, selama kebutuhan garam industri belum bisa dipasok dari dalam negeri, maka impor adalah jadi jalan terbaik.

“Pemerintah harus mengambil jalan tengah. Produksi garam rakyat terus kita kembangkan, sementara kebutuhan garam untuk industri juga harus dipenuhi. Saat ini kita memang harus impor (garam industri), karena produksi (industri) tidak boleh berhenti, terutama untuk farmasi,” ujarnya.

baca : Kenapa Pemerintah Tak Juga Perbaiki Tata Kelola Garam Nasional?

 

Inilah garam rebus yang dihasilkan Arifin dengan kelompoknya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2017, kebutuhan garam nasional mencapai 4,4 juta ton, sementara produksi nasional maksimal 1,2 juta ton. Di sisi lain, mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian No.88/2014, kadar senyawa kimia natrium chlorida (NaCl) garam industri minimal harus mencapai 97 persen.

“Sementara, kadar NaCl garam untuk industri farmasi kadarnya lebih tinggi lagi yakni minimal 99,5 persen serta memenuhi standar internasional atau pharma grade,” tuturnya.

Garam farmasi merupakan bahan baku untuk sediaan infus, produksi tablet, pelarut vaksin, sirup, oralit, cairan pencuci darah (hemodialisis). Kebutuhan garam industri untuk produksi farmasi tersebut, tidak bisa dihentikan ataupun dilarang dengan berbagai alasan.

Agar kebutuhan garam industri terpenuhi dan produksi garam rakyat bisa terus stabil, Agung menyebut, Pemerintah terus bekerja secara terintegrasi. Salah satu caranya, adalah dengan menjaga stabilitas keduanya secara baik, yaitu dengan meningkatkan daya saing dan jual garam rakyat, sementara kebutuhan garam industri terus dipenuhi tepat waktu.

“Jangan dibenturkan seolah-olah industri adalah musuh garam rakyat. Pemerintah harus menjaga, baik kebutuhan industri juga perkembangan garam rakyat,” tegasnya.

baca : Kenapa Harus Impor Garam Lagi?

 

Petani di Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali mengolah air laut menjadi garam. Petani garam di Amed makin terjepit lahannya oleh bangunan perkembangan industri pariwisata. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Diversifikasi Produk

Untuk meningkatkan nilai jual garam rakyat, Kemenko Maritim bersama kementerian/Lembaga terkait mengembangkan diversifikasi produk garam seperti produk garam spa yang tengah dilakukan di Cirebon dan Bali. Diversifikasi dipilih karena selain bisa meningkatkan kualitas dan mendorong produksi garam rakyat.

“Ini variasi garam home industry. Produknya kita link-kan dengan hotel-hotel, juga bisa diekspor. Jadi kita fokus pada kesejahteraan rakyat,” kata Agung.

Dengan melaksanakan diversifikasi, usaha garam rakyat yang sudah berlangsung turun temurun di Indonesia, bisa terus berkembang dan tetap bisa bersaing dengan garam industri yang mempunyai pasar berbeda. Sehingga para petani garam didorong bisa memproduksi garam rakyat dengan kadar NaCl minimal mencapai 94 persen.

“Bagaimana garam rakyat ini bisa dimanfaatkan diantaranya untuk industri spa. Kualitasnya juga bisa bersaing dengan garam impor,” ucapnya.

baca : Bangkit dari Keterpurukan, Indonesia Targetkan Swasembada Garam pada 2019. Bagaimana Strateginya?

 

Priyanto memperlihatkan garam hasil produksi rumah tangga miliknya. Foto : Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Diversifikasi produk, mendorong para petani garam di Indonesia lebih kreatif membuat dan memasarkan produksinya. Dia mencontohkan, petani bisa saja menciptakan kristal garam untuk industri spa.

Dorongan diversifikasi produk, menurut Agung, menjadi bagian dari tanggung jawab Pemerintah untuk menjaga dan melindungi petani garam rakyat dari para tengkulak yang bisa mengontrol dan merugikan mereka. Sehingga Pemerintah akan mengawasi dengan ketat produksi dan pemasaran garam rakyat di Indonesia.

“Dengan pengawasan ketat, pemerintah bisa mengontrol harga sekaligus menolong para petani garam dan menghindari kelangkaan garam,” tegasnya.

Dorongan produksi garam rakyat berkualitas standar garam spa, akan meningkatkan pendapatan para petani. Untuk setiap kilogram garam spa, harga terkini mencapai Rp260 ribu. Sementara, harga garam rakyat yang dijual ke tengkulak, antara Rp1.000 hingga Rp5.000/kg.

“Kreativitas para petani garam memang sangat diandalkan untuk memproduksi garam spa. Apalagi, potensi ekspor untuk garam spa ini dinilai cukup besar,” ungkapnya.

Dengan gambaran potensi tersebut, Agung berharap para petani garam bisa termotivasi meningkatkan kualitas produksinya memenuhi kebutuhan garam spa. Jika berhasil, maka bakal diikuti para petani garam rakyat lainnya di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, kesejahteraan petani garam perlahan terangkat.

“Inovasi produk turunan garam agar bisa bersaing dengan garam impor akan kita wujudkan,” tandasnya.

baca : Ada Praktik Kartel dalam Tata Niaga Garam Nasional?

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Untuk pemasaran produk garam spa, masih didominasi negara di Asia, Amerika Serikat, dan Australia. Potensi besar tersebut, harus bisa dimanfaatkan semaksimalnya oleh para petani garam rakyat demi peningkatan pendapatan.

Sejauh ini, perusahaan Indonesia yang sudah memproduksi garam spa ada di Cirebon (Jabar), dan Buleleng (Bali). Diharapkan secepatnya Indonesia bisa memunculkan lebih banyak lagi perusahaan garam rakyat yang mampu memproduksi garam spa.

“Pemerintah berkeyakinan bahwa pengembangan industri garam spa ini akan bisa diwujudkan, tentunya dengan sinergi dan kerja holistik antara berbagai pihak terkait,” pungkas Agung.

 

Integrasi Lahan

Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi pada 2017 pernah mengungkapkan bahwa Indonesia harus berani menyiapkan solusi jangka panjang untuk memecahkan persoalan pasokan garam industri dan konsumsi. Salah satu langkah yang bisa diambil, adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area.

“Untuk kebutuhan tersebut, lahan yang dibutuhkan minimal seluas 400 hektare dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan 5.000 hektare,” jelasnya.

baca : Benarkah Teknologi Pengolahan Garam Sudah Dikuasai Indonesia?

 

Hamparan lahan garam di Desa Mallasoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Rabu (24/5/2017). Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Di atas lahan seluas itu, proses produksi akan dilakukan di empat area dan meliputi area untuk penampungan air laut, area untuk penguapan atau evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area rekristalisasi. Di dalam area tersebut, ada juga pabrik garam dengan skala produksi mencapai sepuluh ton per jam.

Dengan teknologi yang sudah dikuasai BPPT tersebut, petani garam yang sebelumnya harus menghabiskan waktu minimal 10-21 hari saat melaksanakan panen, bisa menghemat lebih banyak waktu karena ada integrasi lahan untuk produksi garam di satu area saja. Dengan menerapkan konsep tersebut, petani garam dapat menigkatkan produktivitas, sekaligus kualitas garam lebih bagus.

“Dari pabrik garam itu, tidak hanya dihasilkan satu jenis garam, tapi bisa berbagai jenis. Itu kita sebut multi purpose plan, satu pabrik ada beberapa produk,” ucapnya.

Eniya menuturkan, kemampuan meningkatkan produksi dan kualitas dalam waktu yang sama, sudah diuji oleh tim khusus di BPPT dan dipublikasikan kepada masyarakat umum pada 2016. Kemampuan tersebut, bisa membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia sudah mampu memproduksi garam untuk kebutuhan industri, farmasi, dan konsumsi secara bersamaan.

“Karena kita sudah membuktikan bahwa kita itu sudah bisa membuat garam dengan kadar 99,5 persen untuk garam bahan baku obat atau garam farmasi. Sementara, untuk garam kebutuhan industri dan olahan pangan, pengasinan ikan contohnya, itu kadarnya hanya 94 hingga 96 persen,” jelas dia.

Secara teknis, Eniya memaparkan, untuk bisa mengurangi ketergantungan impor, konsep integrasi lahan yang di dalamnya mencakup produksi garam pada empat area, bisa ditingkatkan lagi luasnya dari 400 ha menjadi 5.000 ha. Dengan jumlah tersebut, maka produksi di pabrik garam bisa mencapai 500 ribu ton per tahun.

Untuk bisa menambah jumlah lahan, kata Eniya, itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu melakukan intensifikasi atau menaikkan produktivitas di lahan yang sudah ada dan atau melakukan ekspansi lahan ke kawasan Indonesia Timur.

 

Exit mobile version