Mongabay.co.id

Ketika Pabrik Smelter Datang, Warga Morowali Utara Tertimpa Beragam Masalah Ini

 

Warga Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah,  mengeluhkan dampak operasi nikel PT Central Omega Resources Industri (CORII). Perusahaan ini membangun smelter nikel berkapasitas 100 metriks ton (MT) pertahun seluas 295 hektar, di tengah-tengah pemukiman masyarakat.

Arman Marunduh, pegiat lingkungan di Morowali mengatakan, keluhan masyarakat karena terjadi penurunan kualitas air bersih yang biasa untuk konsumsi masyarakat di Dusun V Lambolo, Desa Ganda-ganda.

”Air minum konsumsi masyarakat sudah bercampur lumpur dan tak layak konsumsi. Untuk air wudhu sholat pun sudah keruh,” katanya.

Padahal, katanya, perusahaan berjanji menyediakan air bersih buat warga tetapi sampai sekarang tak ada.

Tak hanya pencemaran air, polusi udara dari asap dan debu juga mengganggu masyarakat. Debu dan polusi dari lokasi tambang dan pabrik berterbangan ke pemukiman penduduk.

“Rumah penduduk di bagian ruang tamu yang baru dibersihkan setengah hari saja, sore sudah penuh debu,” katanya.

Dalam beberapa kali pertemuan, perusahaan mengakui kondisi ini terjadi karena ada kerusakan pada blower dan penyaring udara.

“Rupanya ini akal akalan perusahaan. Sampai saat ini debu dan asap tetap bertebangan. Hasil  investigasi kami ternyata blower dan penyaring udara itu tak mempunyai fungsi signifikan terhadap kualitas udara,” katanya.

Debu flay ash–material yang memiliki ukuran butiran halus berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara–sangat berbahaya karena dipakai sebagai tungku dan pembangkit listrik batubara.  Apalagi, katanya, pabrik cuma dibatasi tembok dengan perumahan penduduk, dengan radius nol sampai lima meter.

“Polusi suara atau kebisingan,dengan radius nol sampai lima meter dengan perumahan penduduk,” katanya.

Setelah pabrik smelter CORII beroperasi, SDN Lambolo, yang bersebelahan dengan pabrik akhirnya ditutup.  Perusahaan berjanji merelokasi,  tetapi sampai sekarang tak terealisasi.

CORII, kata Arman,  diduga tak punya pengolahan limbah cair dan padat serta tak ada tempat penumpukan batubara layak sesuai persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Air rembesan dari tempat penumpukan batubara dan limbah cair langsung dialirkan melalui saluran khusus ke laut,” katanya.

Laut ikut tercemar. Nelayan, katanya, mengeluhkan kondisi ini karena sulit mencari ikan di sepanjang pantai.  “Terjadi pendangkalan laut,  nelayan kesulitan tambat perahu, lumpur di garis pantai sampai se dada orang dewasa,” ucap Arman.

Saat ini, katanya, daerah terdampak meliputi  lima dusun di Desa Ganda-ganda,  Dusun V Lambolo, paling parah karena rumah penduduk berbatasan langsung dengan tembok pagar pabrik, menyusul Kelurahan Kolonodale, Bahoue  Bahontula, Kaya,  Gililana, Tana Uge dan dan Tokonanaka. Data sementara, nelayan terdampak sekitar 500 orang.

“Kami sudah berkali-kali demo ke DPRD, pemda, perusahaan, Dinas Lingkungan Hidup dan mengirim laporan ke Bapak Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan gubernur. Perusahaan menempatkan oknum marinir sebagai sekuriti. Bila ada masalah, masyarakat sering diintimidasi,” katanya.

 

Pabrik smelter CORII. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Temuan lapangan…

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng dalam laporan investigasi lapangan 2018 menemukan fakta, mencengangkan. CORII Indonesia diduga mencemari lingkungan sekitar Pantai Teluk Tomori. Pembuangan limbah cair dari pabrik smelter langsung ke laut. Perusahaan juga terindikasi tak mengantongi izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

“Perusahaan membuang limbah, baik lumpur, cairan, hingga B3 langsung ke Teluk Tomori, di Kolonedale,”  kata Taufik, Manajer Kampanye Jatam Sulteng.

Temuan Jatam Sulteng, katanya, sejalan dengan surat dari Pemerintah Morowali, melalui  Dinas Lingkungan Hidup. Ia menindaklanjuti surat dari Kementerian Sekretaris Negara bernomor B-4776 tentang dugaan pencemaran lingkungan oleh pabrik smelter pemurnian bijih nikel milik PT Central Omega Resources Industri Indonesia di Dusun V Lambolo, Desa Ganda-ganda, Kecamatan Petasia, Morowali Utara tertanggal 15 Desember 2017.

Surat yang ditandatangani Kepala Dinas Lingkungan Hidup Morowali Utara, H. Patta Toba, menemukan delapan fakta hasil verifikasi lapangan. (lihat tabel)

Berdasarkan hasil temuan lapangan, katanya, aparat penegak hukum harus menindak CORII yang didugat kuat melanggar ketentuan perundang-perundangan. CORII,  telah melakukan tindak pidana kejahatan lingkungan hidup karena tak mengantongi izin pengelolaan limbah B3.

“Berdasarkan verifikasi lapangan, CORII telah melanggar Pasal 104 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebutkan, “setiap orang yang melakukan dumping (pembuangan) limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dipidana, dengan penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.”

CORRI,  kata Taufik, seharusnya memperhatikan masyarakat di sekitar pabrik yang terdampak langsung pembakaran nikel.

Selama pabrik dibangun pada 2014 dan beroperasi 2016, CORRI diduga mengabaikan hak-hak keperdataan dan lingkungan masyarakat sekitar tambang.

Apalagi, jarak lokasi tambang dan pabrik smelter nikel milik CORRI hanya sekitar lima kilometer dari Kolonedale, ibukota Morowali Utara. Sedang lokasi pabrik CORRI langsung berhadapan dengan Teluk Tomori, pusat kegiatan aktivitas nelayan mencari ikan.

Zaenab Ishak, Kepala Bidang Sampah dan Pengelolaan Limbah B3, Badan Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah menerangkan, CORII, telah memiliki izin lingkungan Nomor 660.338 terbit 2014, oleh Gubernur Sulteng.

Dalam izin lingkungan, katanya,  memutuskan bagian tiga, bahwa CORII harus memenuhi izin lingkungan, harus mengurus izin limbah B3. “Setelah izin keluar, segala kegiatan lapangan, mulai konstruksi sampai produksi harus mengurus izin penyimpanan limbah,” katanya.

Pada pengawasan lapangan 23 November 2017, menemukan, CORII belum mengantongi izin pengelolaan dan penyimpanan limbah B3.

“Temuan tim saat itu tercatat, flay ach, slag nikel, bottom ach, disimpan masih dalam pabrik tapi belum ada izin. Juga oli bekas, dan filter bekas, semua disimpan dalam workshop, itu kan tidak boleh,” katanya.

Saat itu, katanya, tim pengawas dari BLHD Sulteng telah membuat berita acara temuan dan memberikan rekomendasi pada CORII, agar segera mengurus izin penyimpanan di Morowali Utara. Sebab,  katanya, aturan perundang-undangan mewajibkan perusahaan harus mengurus izin.

“Kewenangan memberikan izin di kabupaten sesuai aturan perundang-undangan. Kalau tidak dilaksanakan tentu ada sanksi. Mungkin saat ini sanksi administratif karena CORII sudah memiliki izin lingkungan,” katanya.

 

Warga protes smelter CORII yang sebabkan banyak masalah. Foto: jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Tak reklamasi pasca tambang

Sejak CORII bersama anak perusahaan beroperasi, keluhan warga soal air bersih meningkat karena tak ada reklamasi terhadap galian tambang. Lubang galian dan tumpukan tanah nikel (ore) dibiarkan menumpuk, dan meluber kemana-mana.

“Sumber air bersih warga jauh dari kata layak.”

Bicara pembuatan bak penampungan air bersih, katanya, hanya dari drum plastik dengan pipa menjulur ke sungai dan kalau musim penghujan bercampur dengan lumpur hasil galian tambang. “Karena bak air bersih hanya berjarak sekitar tiga meter dari jalan hauling tambang,” katanya.

Hasil investigasi Jatam Sulteng 2018,  juga menemukan fakta, lahan bekas galian ore Itamatra  ditinggalkan begitu saja tanpa ada upaya reklamasi.

“Memang ada di beberapa lokasi kami temukan milik PT Itamatra yang direklamasi, menurut kami jauh dari apa yang diamanatkan Permen ESDM Nomor 7 tahun 2014. Karena ada beberapa lokasi itu, kita masih menemukan empat titik lubang tambang dan lima tumpukan tanah masih dibiarkan,” kata Taufik.

Masyarakat Desa Ganda-ganda terutama Dusun Lambolo,  khawatir jika lahan tambang ini tidak tereklamasi, bisa saja sewaktu-sewaktu menyebabkan longsor. “Khusus PT Itamatra Nusantara,  lokasi cek dam lumpur mengalir ke sungai. Saat hujan datang, lumpur bercampur air sungai,” katanya.

Yanmart Nainggolan,  Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral, membantah tuduhan Jatam yang menyebut Itamatra dan Mulia Pacific Resources (MPR), anak usaha CORII, tidak reklamasi. Reklamasi pasca tambang, katanya,  sudah dilakukan tetapi belum kelihatan.

“Iya, memang masih banyak lahan yang belum direklamasi. Masih terlihat tumpukan top soil, mine out, di lapangan. Tetapi perusahaan sudah reklamasi. Hasilnya,  belum terlihat, tetapi sekarang  dan perlu, lima sampai 10 tahun ke depan. Menanam pohon itu lama,” katanya.

Menurut Yanmart, Itamatra dan MPR memang baru memulai proses reklamasi lahan tambang. Perusahaan, katanya telah menanam pohon-pohon pionir yang diharapkan tumbuh bagus dalam beberapa tahun ke depan.

“Perusahaan sudah  menanam sejumlah pohon pionir, dan menyusul pohon-pohon lokal. Kita sudah studi reklamasi di Bintang Delapan Mineral (perusahaan nikel-red), hasilnya juga sama. Pohon-pohon belum terlalu tumbuh bagus,” katanya.

 

Lahan yang tergali tambang nikel. Foto: jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Tunggakan ganti rugi lahan

Warga Ganda-ganda, Haris sehari-hari sebagai petani nelayan Dusun Lambolo, pernah mengalami kerugian dampak tambang. Banjir tahun 2017 yang bercampur lumpur tambang merendam 200 tanaman lada miliknya. Kerusakan ini tak pernah diganti rugi perusahaan.

Masyarakat juga mengeluhkan tidak tersalurkan dana tanggung jawab perusahaan hingga mereka yang terdampak tidak bisa memperabiki kualitas hidup.

‘Kami menyarankan agar ada tindakan. Tuntutan CSR dari masyarakat harus segera direalisasikan sebagai janji investasi,” kata Taufik.

MPR menunggak utang pembayaran lahan warga di Desa Tontowea, Kecamatan Petasia Barat, Morowali Utara. Lokasi tambang ini masuk hutan produksi. Warga yang bermukim di desa itu menyebutkan mereka memiliki alas hak tanah berupa surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT).

Chris, warga Desa Tontowea kecewa dengan CORII karena lahan mereka yang digarap jadi tambang nikel tak diganti rugi. Sebanyak 200 hektar, dari 100 pemilik lahan digarap, tak satu pun menerima pembayaran lahan dari perusahaan.

Perusahaan,  katanya, hanya berjanji kalau diolah, akan diganti rugi. Faktanya, hingga kini, perusahaan tak kunjung menunaikan janji.

“Kami sangat menyesalkan tindakan MPR terhadap warga Desa Tontowea yang tak memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang lahan telah diolah sebagai lokasi tambang nikel,” kata Taufik.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi kepada CORII, soal beragam permasalahan ini, lewat pesan singkat dan telepon tetapi sampai berita ini terbit belum memberikan jawaban.

 

Aksi protes di depan pabrik smelter CORII. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

***

CORII membangun smelter berkapasitas 100.000 ton NPI per tahun dengan teknologi blast furnace. Bangunan smelter terdiri dari empat tungku, masing-masing memiliki kapasitas produksi 25.000 ton NPI per tahun. Perusahaan diklaim PT Central Omega Resources, Tbk, sebagai anak perusahaan dari konsorsium antara PT Jinsheng Mining yang menanamkan 75,16% saham dengan Credit Suisse AG Singapore Trust 24,85% saham.

Laporan publik PT Omega Central Resources 2017 menyebutkan, pada 23 Februari 2016, CORII menandatangani perjanjian kredit investasi US$40 juta dan kredit modal kerja US$18,5 juta dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesian Eximbank).

Perusahaan ini  telah produksi ferro nikel (FeNi) sejak Maret 2017. Dari smelter telah ekspor perdana pada Juli 2017 sebanyak 7.000 ton FeNi ke Tiongkok.

Jatam Sulteng menyebutkan, smelter CORII beroperasi dengan suplai dari tambang nikel dua anak perusahaannya. Kedua perusahaan itu, masing-masing MPR berdasarkan SK. DESDM No. 540.3/SK.009/DESDM/I/2011, seluas 4.780 hektar. Lalu, Itamatra dengan SK. No. 54.02/SK/003/DESDM/III/2012, seluas 974 hektar.

Yanmart membenarkan itu. Dia bilang, dua perusahaan pemegang IUP itu menyuplai bahan keperluan pembakaran feronikel. Dia berdalih, kewenangan ESDM putus pada rantai pasokan bahan baku hingga mulut pabrik.

“Kami hanya mengawasi tambang dan suplai bahan baku, mengambil pajak dan royalti. Kami tak punya kewenangan kalau urusan pabrik smelter.”

Menurut Yanmart, perusahaan pemegang IUP di Morowali dan Morowali Utara,  yang tak mampu membangun pabrik, menyuplai bahan baku ke pabrik tambang nikel.

“Iya, hampir semua perusahaan pemegang IUP menyuplai bahan baku ke pabrik, seperti Bumanik, Hengjaya, dan lain-lain. Mereka menambang dan menjual hasil ke pabrik nikel, seperti yang terjadi di IMIP (PT Indonesia Morowali Industrial Park0red) dan CORII,” katanya.

Selain menyuplai keperluan smelter, MPR, juga ekspor bijih nikel kadar rendah (Ni<=1,7%) berdasarkan rekomendasi ekspor bijih mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar 700.000 WMT per tahun.

“Itamatra Nusantara, menyusul. Pengapalan atas ekspor bijih nikel sejak September 2017 dengan target satu juta ton pada 2018,” kata Taufik.

PT Central Omega Resources di Morowali Utara datang pada 2008, dan resmi menambang pada 2011. Sampai 2018, perusahaan sudah produksi bijih nikel 6,3 juta ton.

 

Foto utama: Begini tampilan tepian pantai setelah ada pabrik smelter. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Begini tampilan tepian pantai setelah ada pabrik smelter. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version