Mongabay.co.id

Jelang Pilkada, KPK Diminta Selidiki Transaksi Izin Sumber Daya Alam

Tahun 2018 untuk sejumlah daerah di Indonesia merupakan tahun politik, termasuk Sumatera Selatan (Sumsel). Selain gubernur baru, ada juga pemilihan bupati dan wali kota periode 2018-2023 seperti di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Muaraenim, Lahat, Pagaralam, Empatlawang, dan lainnya. Dikhawatirkan, pilkada yang akan berlangsung Juni ini sarat dengan transaksi pemberian izin sumber daya alam (SDA). Koalisi masyarakat sipil di Sumsel pun meminta KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyelidiki indikasi tersebut.

“Selain itu, kami mendesak juga review perizinan sektor perkebunan dan kehutanan, dan secara tegas mencabut izin-izin yang terbukti melanggar atau tidak patuh terhadap kewajibannya,” kata Hairul Sobri, Direktur Walhi Sumsel, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel bersama Pinus (Pilar Nusantara), HaKI (Hutan Kita Institut), dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Palembang, Sabtu (28/4/2018).

Selanjutnya, ada transparansi dan akuntabilitas mekanisme perizinan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, agar publik dapat mengetahui dan menilai siapa dan untuk apa SDA tersebut dikelola.

Terakhir, mengajak seluruh masyarakat Sumsel untuk tidak memilih kepala daerah yang terindikasi melakukan transaksi pemberian izin usaha sektor tambang, sawit dan kehutanan. “Atau pemimpin yang tidak mendukung terciptanya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, transparan, dan berkeadilan.”

Baca: Pantau Pengelolaan Minerba, Sumatera Selatan Kembangkan Sistem Pelaporan

 

Pengelolaan sumber daya alam Indonesia harus dilakukan dengan baik agar memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Dijelaskan Hairul, kebakaran hutan dan lahan secara masif di Sumsel pada 2015, berada di wilayah izin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). “Dalam catatan koalisi, pada 2016 lalu, total 837.520 hektar lahan dan hutan terbakar. Sekitar 427,181 hektar dari lokasi terbakar itu berada di kawasan gambut yang dikeringkan untuk kepentingan industri skala besar seperti perkebunan sawit dan HTI,” jelasnya.

Selain bencana lingkungan, dua sektor tersebut memicu terjadinya konflik lahan dengan masyarakat setempat. Pada sektor HTI, sampai 2017, di Sumsel teridentifikasi 109 konflik. Lebih 50 persen merupakan konflik kasat mata, sisanya adalah wilayah yang sangat rentan untuk terjadinya konflik terbuka.

Ironinya, di tengah sengkarut pengelolaan gambut oleh industri skala besar tersebut, pemerintah bukannya mencabut atau menciutkan izin perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan pelanggaran hukum. Namun, memberikan fasilitas lahan pengganti.

“Pemberian lahan pengganti ini, yang pertama akan disetujui untuk tiga konsesi HTI di Kabupaten OKI. Dikhawatirkan, akan mengulang praktik korupsi sektor kehutanan melalui transaksional pemberian izin baru, khususnya pada tahun politik sekarang ini.”

Sebab, berdasarkan penelusuran koalisi terhadap sebagian besar izin perkebunan sawit, minerba dan HTI, sejak 2004, kebanyakan izin dikeluarkan menjelang peristiwa politik besar seperti pilkada atau pemilihan umum.

“Di sektor sawit, terdapat lebih kurang 1,1 juta hektar yang tersebar di hampir semua kabupaten. Selain masalah kebakaran hutan dan konflik, yang juga memprihatinkan ada beberapa perkebunan sawit di kawasan hutan,” jelas Hairul.

Berdasarkan data HaKI (2017), lebih dari 50.000 hektar perkebunan besar sawit berada di kawasan hutan, bahkan, di kawasan suaka margasatwa (SM). Sebut saja di SM Dangku terdapat perkebunan sawit dengan luas indikatif lebih dari 6.000 hektar.

 

Batubara yang tumpah di pantai dari kapal pengangkut. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tambang

Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus, saat yang sama menjelaskan permasalahan pertambangan mineral dan batubara. Menurut dia, Pemerintah Sumsel melakukan upaya penertiban izin usaha pertambangan (IUP) sejak 2014 dalam rangka koordinasidan supervisi (korsup) KPK.

Pada 2014, sebanyak 359 IUP minerba diketahui ada di Sumsel, akibat otonomi daerah yang memberikan kewenangan pada bupati tanpa adanya pengawasan. Selama proses penataan, sebagian besar perusahaan pemegang IUP tersebut terbukti melanggar dengan tidak patuh membayar kewajiban untuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Lalu, IUP tidak dilengkapi izin pinjam pakai kawasan hutan, tambang beroperasi di luar izin, tidak melaksanakan kegiatan reklamasi, hingga pada pelanggaran lingkungan dalam kegiatan pertambangan.

Dari penataan itu akhirnya dicabut 228 IUP. Hingga saat ini, tercatat 131 IUP yang sudah CnC dengan total luas izin sekitar 490 ribu hektar, jauh menurun dari luas izin tambang di tahun 2014 yang mencapai lebih dari dua juta hektar.

“Namun, pekerjaan belum selesai. Penataan di sektor minerba perlu dilanjutkan pada mekanisme perizinan transparan dan akuntabel. Dengan begitu, IUP baru yang akan diterbitkan tidak kembali diberikan kepada rente-rente yang hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tanpa memberikan keuntungan kepada daerah dan masyarakat,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version