Mongabay.co.id

Alasan Ini Mengapa Perlu Kembalikan Kejayaan Kelapa, Tinggalkan Sawit…

Foto: Sapariah Saturi

 

“Tanah airku Indonesia…Negeri elok amat kucinta…

Tanah tumpah darahku yang mulia…Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur…Pulau kelapa yang amat subur

Pulau melati pujaan bangsa…Sejak dulu kala

Melambai lambai…Nyiur di pantai…Berbisik bisik…Raja Kelana…”

Itu sebagian lirik lagu wajib nasional,” Rayuan Pulau Kelapa.” Begitu berjayanya kelapa era sebelum 70-an, sampai-sampai ada lagu nasional tercipta untuk tanaman tempatan ini.

Baca juga: Fokus Liputan: Nestapa Petani Kelapa Gane Setelah Kehadiran Kebun Sawit (Bagian IV)

Kelapa adalah tanaman asli Indonesia, dulu pernah jadi tumpuan hidup banyak petani sejak zaman kolonial hingga sekitar 1970an. Pada zaman itu,  satu kilogram kopra (daging kelapa yang dikeringkan) setara tiga kilogram beras.

“Zaman itu, hanya petani kepala yang naik haji lewat Singapura. Banyak petani kelapa punya gigi emas,” kata Mawardin M Simpala, Ketua Sahabat Kelapa Indonesia (SKI) dalam sebuah diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Gambaran Mawardin soal betapa petani kelapa kaya senada catatan pesat industri kelapa sejak 1920-an. Tak heran, karena semua bagian dari kelapa membawa manfaat, dari daun sebagai lidi, dan buah terutama jadi minyak makan dan industri sabun mandi, kala itu.

Baca juga: Perambahan di SM Rawa Singkil jadi Kebun Sawit Masih Terjadi

Kini, kelapa berganti sawit. Minyak kelapa pun seakan jadi asing di negerinya sendiri. Minyak sawit mendominasi, menggantikan kelapa.

Sawit, adalah tanaman asal benua Afrika, berawal dari penghias jalan di Deli dan Kebun Raya Bogor.

Penamaan sawit juga dinilai SKI tak tepat. “Sawit bukan kelapa,” kata Mawardin.

 

Kelapa vs sawit

Sawit mula-mula jadi komersil pada 1911, masih relatif kecil, sekitar 5.000 hektar.

Luas kebun kelapa mencapai puncak pada 1998 dan terus turun. Sebaliknya,  sawit naik 4,3 kali lipat kini. Kini, luas kebun kelapa 2,88 juta hektar, sawit 12,33 juta hektar. Proporsi kepemilikan rakyat, kelapa 98,2%, sawit 36,8%.

“Kelapa membangun ekonomi kerakyatan, sawit bangun ekonomi konglomerat,” kata Mawardin.

Industri kelapa menyerap tenaga kerja lebih banyak dibanding sawit, dan lebih ramah lingkungan karena bisa berdampingan dengan tanaman lain. Tanpa pupuk, kelapa akan berbuah sepanjang tahun. Pupuk kelapa cukup garam, karena itu ia tumbuh subur di pesisir nusantara.

Pendapatan petani kelapa, misal, dari gula kelapa bisa hingga Rp30 juta perbulan, sawit sekitar Rp4 juta. Wilayah kelapa yang dimasuki sawit akan mengalami berbagai persoalan, mulai penurunan produktivitas dan serangan hama kumbang.

Data SKI mencatat,  sawit pesisir tak menguntungkan petani rendemen 16-18% dan fat fatty acid (FFA) yang tinggi bikin harga murah.

Banyak kisah hama sawit menyerang kelapa, misal di tiga Kecamatan Reteh, Keritang dan Enok pada Mei 2014 karena masuk sawit PT. Bumi Palma Lestari. Perusahaan hanya bisa bayar Rp200 juta untuk ganti rugi Rp247.000 per pohon usia lebih tujuh tahun.

Januari 2016, warga Desa Rambaian di Kecamatan Gaung Anak Serka harus menghadapi dampak sawit PT. Citra Anak Palma.  Di Desa Sungai Bela, Kecamatan Kuindra, sawit PT. Indogreen Jaya Abadi pada Maret 2017 bahkan bikin 300.000 kelapa mati.

Begitu juga di Desa Sungai Nyiur Kecamatan Tanah Merah, kelapa harus berhadapan dengan sawit milik PT. Khresna Kerta Kencana pada September 2017.

Catatan SKI soal konflik lahan petani kelapa dengan sawit juga tak sedikit, misal di Desa Pungkat Kecamatan Gaung Anak Serka, konflik lahan petani kelapa vs sawit PT. Setia Agro Lestari pada Juni 2014, Sembilan alat berat perusahaan dibakar dan 19 masyarakat kena penjara delapan bulan.

Di Desa Air Bagi dan Sungai Berapot, Kecamatan Concong, penyerobotan lahan petani kelapa juga terjadi. Terbaru pada Januari 2018 juga konflik antara petani Desa Lubuk Besar, Kemuning Muda dan Tuk Jimun dengan PT. Sari Hijau Mutiara.

Protes petani kelapa terutama karena sumber mata pencaharian hilang. Kondisi ini bikin banyak petani kelapa pindah kota atau kabupaten, beralih jadi nelayan, kuli pelabuhan atau pasar dan pencari pusuk daun nipah muda.

Ada juga yang jadi pengolah gula nipah.

“Adaptasi ini tak mudah,” kata Mawardin. Dia contohkan, dua petani tewas dipatuk ular mangrove karena beralih dari kelapa ke nelayan, atau terpaksa berpisah dengan keluarga karena mencari kerja lain.

Kerusakan habitat satwa juga jadi cerita sendiri kala perkebunan kelapa dimasuki sawit.

Menurut SKI, hak guna usaha sawit di pesisir harus kembali ke petani kelapa, karena memang habitat aslinya.

“Peremajaan sawit yang tak dikelola baik menghancurkan kelapa. Sawit pesisir berdampingan kelapa dikembalikan bertahap ke aslinya. Menjaga kelapa sama dengan mempertahankan budaya dan kearifan lokal.”

 

Sawit, komoditas dengan kuasa terbesar korporasi, menguasai pasar menggantikan kelapa. Saatnya, kembalikan masa kejayaan kelapa. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 Peran pemerintah daerah

Mengembalikan kejayaan kelapa perlu peran besar pemerintah daerah. Kenapa?  Dia bilang, di tangan pemerintah daerah perubahan peruntukan lahan terjadi. Pemda garda terdepan  penjaga lahan.

Tahun ini, 248 kabupaten bergabung dalam Kerjasama Koalisi Penghasil Kelapa (Kopek) Indonesia. Tujuannya, mendorong regulasi perkebunan berpihak kepada industri kelapa.

Penurunan produktivitas kelapa dan makin berkurangnya lahan perkebunan jadi alasan utama pembentukan Kopek Indonesia.

Di Buol, Sulawesi Tengah, misal, produksi kelapa 20 tahun lalu antara 7.000-10.000 ton per bulan.

“Sekarang 12.000 ton per tahun,” kata Bupati Buol, Amiruddin Rauf.

Luas kebun kelapapun menurun drastis, dari sekitar 100.000 hektar tingga; 12.000 hektar.

Amiruddin mengatakan, penurunan lahan perkebunan masyarakat karena masuk konsesi sawit. Di Buol, mulai dengan kehadiran PT. Central Cipta Murdaya (CCM ) dengan konsesi sekitar 22.000 hektar.

Perusahaan yang menyeret mantan Bupati Buol, Amran Batalipu jadi tahanan KPK karena kasus suap ini, belakangan juga diketahui menanam di luar HGU yang diberikan, sekitar 5.000 hektar.

Izin konsesi sawit yang jadi kasus, kata Amiruddin,  hanya menyorot suap anak perusahaan milik Hartati Murdaya itu kepada mantan Bupati Buol, Amran.

“Lahan yang menjadi obyek hukum tak pernah diangkat,” katanya seraya menambahkan meski kegiatan menanam di luar HGU juga bisa kena pidana.

Menurut Amiruddin, industri sawit masuk Buol, tak terbukti memberi kesejahteraan bagi masyarakat, pun pendapatan daerah.

“Tidak pernah ada kesejahteraan untuk petani plasma.”

Sebab, sertifikat tanah masyarakat dipakai perusahaan untuk jadi jaminan ke bank. Uang bank dipegang perusahaan. Masyarakat seringkali tak tahu kebun sawit ada di mana. Pengembalian tipis, bahkan, katanya, ada yang menerima hanya Rp100.000 per bulan selama delapan tahun.

Perusahaan berdalih keuntungan untuk bayar utang bank. Masyarakat tak pernah tahu berapa utang dan biaya operasional kebun mereka.

Saat ini, kata Amiruddin, Pemda Buol mendorong masyarakat plasma mandiri dengan memberdayakan kebun sawit yang ada. Dia menjamin,  tak ada lagi konsesi sawit baru di Buol.

Kontribusi ekspor sawit, katanya, mungkin besar, tetapi praktik perkebunan keliru bikin masyarakat susah, mereka  bahkan tak terlibat dalam menentukan harga.

Salah satu program Buol untuk redistribusi lahan kepada masyarakat yakni tanah untuk rakyat (taura) telah berjalan tiga tahun. Program ni meberikan sertifikat seluas 8.800.341 hektar kepada 4500 keluarga rumah tangga miskin dan tersebar pada 11 kecamatan.

Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo, yang terpilih jadi Ketua Kopek Indonesia, mengatakan, petani kelapa harus diperkuat dengan asosiasi. Asosiasi penting dalam mendorong pemerintah pusat yang fokus pengembangan industri pangan, seperti jagung dan beras, untuk mengintegrasikan kebijakan industri kelapa.

“Perlu berkoordinasi, missal, kelapa dengan padi gogo, atau kelapa dengan jagung,”katanya, seraya bilang, banyak subsidi pemerintah untuk tanaman pangan, bisa dimanfaatkan petani kelapa.

Saat ini, industri kelapa bisa dikatakan jalan sendiri-sendiri. Industri kelapa juga hadapi masalah bibit yang belum teridentifikasi.

Nelson mengakui, kini devisa kelapa kecil dibanding sawit, sekitar Rp 19 triliun berbanding Rp130 triliun.

“Harus diingat, luas (kebun kelapa) juga lima kali lebih kecil dibanding sawit.”

Hal sama terjadi di Tanjung Jabung Timur. Lahan kebun kelapa makin lama tergerus selain oleh kebun sawit, juga erosi air laut. Dalam kondisi ini, masyarakat tak mau lagi menanam kelapa dan beralih ke dodol sawit.

Robby Nahliansyah,  Wakil Bupati Tanjung Jabung Timur, mengatakan, banyak bahan baku dari kelapa terbuang percuma di kabupaten ini. Jutaan ton limbah sabut hanya teronggok di tepi jalan tanpa ada perusahaan pengolahan mau memanfaatkan.

Sawit, katanya, selalu mengundang sengketa lahan dan tumpang tindih dengan kawasan hutan. Pemda pun bingung antara menghambat investasi dan membiarkan konflik lahan terjadi.

 

kebun kelapa warga di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, mulai terserang hama kumbang, sejak kehadiran kebun sawit perusahaan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Perlindungan lahan

Tumpang tindih lahan dan masalah regulasi perkebunan, dinilai Gunawan, Direktur Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), jadi landasan perlu perda perlindungan lahan dan  pemberdayaan petani sebagai turunan dari UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan).

“Selama ini, yang dianggap petani hanya petani tanaman pangan, di luar itu disesuaikan UU,” katanya.

Sedangkan, program reforma agraria Presiden Joko Widodo baru sebatas pemberian sertifikat sebagai legalitas lahan petani. Distribusi lahan kepada petani tak berlahan masih tertinggal jauh. Banyak desa masuk kawasan hutan kemudian ditengahi dengan program perhutanan sosial.

Selain itu, industri kelapa masih hadapi tantangan kampanye hitam soal kolesterol dalam minyak kelapa, kekurangan daging kelapa kering untuk industri nata de coco dan kesulitan bibit unggul.

Dikutip dari Jaringan Pemberitaan Pemerintah (jpp.go.id), September 2017, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Perkebunan, berencana mengembalikan kejayaan kelapa nasional.

Bambang, Dirjen Perkebunan Kementan mengatakan, kondisi kelapa belum optimal dari segi produksi maupun produktivitas. Produktivitas kebun kelapa rata-rata nasional hanya satu ton per hektare dalam satu tahun. 1.298

Dari sisi produksi, pada 2016 sekitar 2,89 juta ton dengan luas kelapa 3.566.103 hektar, pada 2015 sebanyak 2.92 juta ton, dengan luas sekitar 3.585.599 hektar.

Menurut dia, terjadi penurunan areal empat tahun terakhir seluas 49.012 hektar dan produksi turun 56.410 ton per kopra pertahun. Untuk peremajaan dan perluasan volume rata-rata pertahun 15.000 hektar.

Dia bilang, pemerintah akan melakukan tiga langkah percepatan pengembangan kelapa yakni intensifikasi, peremajaan dan ekstensifikasi tanaman.

Benih bersertifikat, katanya, memang jadi masalah karena terbatas bahkan tak tersedia. Untuk itu, Kementan akan membangun kebun induk di daerah sentra kelapa sebagai sumber benih dari varietas unggul.

 

Tanaman sisipan

Untuk peningkatan produksi, Kementan akan mengembangkan kelapa di areal kakao seluas 1,7 juta hektar. Ia sekaligus berfungsi sebagai penaung.

“Bila 500.000 hektar saja kakao dibuatkan penaung kelapa, akan ada tambahan luas areal cukup signifikant tanpa perlu membuka lahan baru,” katanya.

Begitu juga di areal kopi. Ada 1,3 juta hektar kebun kopi yang sebagian besar belum dinaungi, seperti di Sumut, Lampung dan daerah lain. ‘

“Jika satu hektar perkebunan kopi ada 50 kelapa, tambahan populasi naik signifikan menggantikan penurunan yang selama ini terjadi.”

 

Foto utama: Warga sedang menarik kelapa setelah petik untuk dibawa ke tempat pengolahan jadi kopra di Kecamatan Sei Kakap, Kubu Raya. Kelapa tumbuh bersama tanaman atau tumbuhan lain, seperti langsat, kopi, durian dan lain-lain. Kini, kebun-kebun kelapa warga sekitar, sebagian sudah berganti jadi kebun sawit dengan monokultur. Dengan kelapa, warga bisa jual kopra, buah muda atau buat tua untuk santan. Warga juga bisa bikin minyak kelapa sendiri dengan mudah. Kalau sawit, pasar warga, bisa dikatakan 100% tergantung pada pembeli besar (perusahaan). Sawit pun tak bisa langsung dimanfaaatkan, warga tak bisa bikin minyak sawit sendiri atau sawit tak bisa langsung dimakan layaknya kelapa.  Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Exit mobile version